Saatnya Negara Membela Pembela HAM
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Saatnya Negara Membela Pembela HAM

Minggu, 13 Jul 2025 18:05 WIB
Rosita Miladmahesi
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi Hak Asasi Manusia
Ilustrasi / Foto: detikcom/Ari Saputra
Jakarta -

Dalam setiap demokrasi yang matang, selalu ada ruang, betapa pun sempit dan sunyinya, bagi mereka yang memilih bersuara saat mayoritas memilih diam. Mereka yang menyuarakan nurani, bukan karena jabatan, tetapi karena keberanian untuk menolak lupa dan menolak tunduk. Dalam lanskap Indonesia, merekalah yang kita kenal sebagai pembela hak asasi manusia (HAM). Namun, peran ini jarang membawa prestise, apalagi perlindungan. Menjadi pembela HAM di Indonesia bukan hanya berarti menantang kekuasaan, tetapi sering juga berarti menjadi target kriminalisasi, stigmatisasi, bahkan kekerasan. Dari nama-nama yang telah gugur seperti Munir Said Thalib, Marsinah, hingga Golfrid Siregar, hingga mereka yang masih bertahan hari ini. Semua menyisakan pertanyaan fundamental: Siapa yang membela para pembela HAM?

Infrastruktur Demokrasi yang Tak Terlindungi

Jika kita sepakati bahwa demokrasi tak semata tentang prosedur elektoral, tetapi juga tentang ruang kritis dan perlindungan terhadap keberanian sipil, maka pembela HAM adalah bagian dari infrastruktur demokrasi itu sendiri. Mereka hadir sebagai pengacara rakyat, jurnalis investigatif, aktivis lingkungan, pendamping korban kekerasan seksual, hingga pembela tanah adat. Perannya tak hanya sebagai katalis perubahan, tapi juga sebagai penyangga nilai konstitusional yang sering diabaikan negara. Namun ironinya, negara yang mestinya menjadi pelindung malah acap kali menjadi pengamat pasif.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Laporan dari Human Rights Watch dan Komnas HAM menunjukkan tren peningkatan represi terhadap pembela HAM dalam dua dekade terakhir, terutama mereka yang bersuara soal lingkungan hidup, masyarakat adat, dan kebebasan berekspresi. Ancaman datang dalam berbagai bentuk: doxing digital, gugatan hukum yang absurd, kriminalisasi berbasis pasal karet, bahkan kekerasan fisik. Secara yuridis, pembela HAM tidak mendapat pengakuan eksplisit dalam sistem hukum pidana nasional. Mereka bukan "korban" dalam KUHP, bukan "saksi" dalam KUHAP, dan belum dianggap subjek perlindungan hukum oleh LPSK, kecuali dalam kasus tertentu yang ditafsirkan luas. Maka celah hukum ini menjadikan mereka rentan, secara struktural dan sistemik.

Pembela HAM: Dari Individu Moral ke Kekuatan Kelembagaan

ADVERTISEMENT

Fenomena pembela HAM di Indonesia mengalami evolusi penting. Dari semula hadir sebagai individu moral yang menantang ketimpangan kekuasaan, kini mereka telah membentuk jaringan kolektif: LSM, serikat buruh, organisasi masyarakat adat, hingga lembaga bantuan hukum. Bahkan secara institusional, kini ada lembaga negara seperti Komnas Perempuan, Komnas HAM, LPSK, serta berbagai watchdog independen yang menjadi perpanjangan tangan advokasi. Namun meski kelembagaan pembela HAM mulai terbentuk, kerangka hukumnya belum mengimbangi realitas tersebut. Dalam banyak kasus, mereka justru menjadi korban dari sistem hukum yang hendak mereka koreksi. Ada paradoks akut di sini: sistem yang tak adil tidak hanya menolak dikritik, tetapi juga mencederai yang mengkritik.

Harapan Legislasi: Dari Teknis ke Etis

Deklarasi PBB tentang Pembela HAM (1998) dengan tegas mewajibkan negara menyediakan perlindungan komprehensif bagi setiap individu atau kelompok yang memperjuangkan HAM secara damai. Maka upaya Komisi XIII DPR RI untuk mendorong revisi Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban adalah momen penting. Di balik teknis legislasi, tersimpan misi etis yang besar: mengakui dan melindungi pembela HAM secara legal, bukan hanya moral. Langkah ini tidak hanya penting secara hukum, tetapi juga sejalan dengan standar internasional.
Kita sampai pada simpul etis terakhir: ini bukan semata soal undang-undang, tetapi soal keberpihakan dalam sejarah. Negara tidak akan dikenang karena jalan tol atau pertumbuhan ekonomi semata, tetapi karena siapa yang ia pilih untuk dilindungi saat suara keadilan paling dibungkam. Komisi XIII DPR-RI, bersama mitra-mitranya, memiliki kesempatan langka untuk membalik arah sejarah legislasi kita, dari sekadar prosedural menjadi transformasional. Tapi itu hanya akan terjadi jika para legislator berani mengambil posisi yang, secara politik, mungkin tak populer: berpihak kepada yang tidak bersuara. Jika langkah ini berhasil, Indonesia tidak hanya akan mengukir preseden hukum baru, tetapi juga menyatakan kepada dunia bahwa negara ini tidak takut pada suara kritis, karena ia paham bahwa mereka yang bersuara untuk keadilan adalah mereka yang menjaga nyala konstitusi tetap hidup.

Harapan untuk Komisi XIII DPR-RI

Mungkin pertanyaannya tak lagi: "Siapa yang membela pembela HAM?" Tetapi: Apakah kita masih bangsa yang layak disebut demokratis jika membiarkan mereka berjuang sendirian? Komisi XIII DPR-RI muncul sebagai awal jawaban dan kini berada di titik krusial untuk membuktikan hal itu. Sebagai salah satu komisi strategis dalam urusan legislasi perlindungan HAM, Komisi XIII DPR-RI sebagai komisi baru, memiliki mandat sejarah yang paling tua. Kita berharap Komisi XIII DPR-RI tak hanya menyusun rumusan yang normatif, tetapi juga berani menjaga semangat konstitusional dalam setiap pasal: perlindungan tak boleh bersyarat, dan pembela HAM tak boleh terus dibiarkan jadi korban tanpa pengakuan. Jika Komisi XIII DPR-RI berhasil menunaikan ini dengan integritas dan keberanian, maka ia tidak hanya akan dikenang sebagai lembaga legislatif, tapi sebagai pionir dalam memulihkan keadilan yang selama ini tersumbat di ruang-ruang senyap demokrasi. Karena pada akhirnya, sejarah tidak akan mengingat kita karena berapa banyak undang-undang yang kita sahkan, tapi karena siapa yang kita pilih untuk dilindungi ketika keadilan paling membutuhkan keberpihakan, dan para pembela HAM tersebut, tidak berjalan sendirian.


Rosita Miladmahesi. Peneliti di Indonesia South-South Foundation & Tenaga Ahli DPR-RI.

Tonton juga video "Respons Menteri Pigai soal Usulan Lembaga HAM Jadi Satu Kamar" di sini:

(imk/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads