Tahun 2024, sektor pertanian diawali dengan permulaan yang bagus, dimana dalam sejarah terjadi surplus stok beras yang melimpah di Indonesia. Atas fenomena yang demikian, tidak salah kalau banyak kalangan yang menyebut sektor pertanian merupakan mulai bangkit dan slogan lumbung pangan dunia bukan hanya khayalan semata.
Tetapi akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan fenomena kemarau basah yang terjadi di Indonesia, saat ini yang seharusnya kalau dalam kondisi normal masuk musim kemarau, tetapi justru bulan Mei, Juni dan Juli intensitas hujannya tinggi bahkan di beberapa wilayah terjadi banjir. Inilah yang harus diwaspadai oleh pemerintah, selain faktor terjadinya bencana hidrometeorologis seperti banjir dan longsor, terkait dengan pangan tentunya pemerintah harus waspada.
Merujuk pada informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), bahwa kemarau basah diprediksi akan terjadi selama 3 bulan ke depan, yaitu sampai Oktober 2024. Dampak kemarau basah sendiri saat ini sangat terasa bagi petani, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, dimana di bulan Mei-Juni, petani sudah bisa menanam komoditas hortikultura seperti cabai atau bawang merah, di tahun 2024 ini malah sebaliknya, di bulan Mei, Juni dan Juli ini intensitas hujan masih tinggi. Petani banyak yang mengalami gagal tanam, diakibatkan perhitungan petani yang "meleset" dianggap bahwa di bulai Mei-Juni, yang notabene secara normal masuk musim kemarau, curah hujan sudah menurun dan petani bisa menanam, ternyata justru sebaliknya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meningkatnya intensitas hujan akan menyebabkan banjir di lahan, sehingga akan menyebabkan kegagalan saat tanam yang pada akhirnya petani tidak bisa melakukan penanaman atau pemanenan (puso). Tetapi selain dampak negatif, kemarau basah ini juga bisa berdampak secara positif untuk pertanian, yaitu peningkatan intensitas curah hujan ini akan menguntungkan untuk wilayah-wilayah yang kering dan tadah hujan, sehingga ini akan membuat ketersediaan air di wilayah-wilayah tersebut cukup dan petani di wilayah tersebut bisa melakukan aktifitas penanaman, seperti di wilayah Papua dan Indonesia bagian Timur lainnya.
Pencegahan dan antisipasi terkait dengan kemarau basah ini sangat perlu dilakukan, beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan adalah, antara lain:
(1) adanya prediksi cuaca masa depan secara nasional dan mendetail sampai pada level desa atau lahan, kemudian disampaikan ke masyarakat, terutama terkait dengan anomali cuaca (La NiΓ±a). Prediksi ini juga dapat membantu kita untuk mengurangi kerugian dan biaya yang ditimbulkan oleh bencana hidrometeorologis sebagai dampak dari La NiΓ±a. Prediksi awal terjadinya La NiΓ±a ini bermanfaat dalam membantu perencanaan dan pengelolaan berbagai sektor seperti sumber daya air, energi, transportasi, pertanian, kehutanan, perikanan serta menghindari atau mengurangi potensi kerugian yang lebih besar,
(2) edukasi secara kontinyu mengenai La NiΓ±a dan fenomena anomali cuaca lainnya serta dampaknya kepada masyarakat atau dalam hal ini adalah petani melalui penyuluh pertanian yang ada di wilayah masing-masing,
(3) penyediaan asuransi pertanian terkait kegagalan panen petani akibat La NiΓ±a atau fenomena anomali iklim lainnya, serta (4) memastikan kesiapan penyiapan sarana dan prasarana untuk menghadapi La NiΓ±a, seperti ketersediaan pompa untuk pompanisasi in-out dari sawah, rehabilitasi jaringan irigasi tersier/kuarter, menggunakan benih tahan genangan seperti Inpara 1-10, Inpari 29, Inpari 30, Ciherang, dan lainnya.
Semoga kemarau basah tahun ini bisa menjadi keuntungan positif bagi pertanian di Indonesia sehingga capaian surplus stok beras tetap terjaga atau bahkan bisa ditingkatkan lagi, sehingga cita-cita lumbung pangan dunia dapat tercapai.
Bayu Dwi Apri Nugroho. Ketua Dewan Pakar DPP Pemuda Tani Indonesia
Lihat juga Video Mendes PDT: Ada Dana Rp 16 Triliun untuk Ketahanan Pangan