Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto membuka babak baru dalam pembangunan ekonomi kerakyatan dengan menggulirkan program Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih). Target mendirikan hingga 80.000 koperasi desa aktif dalam lima tahun ke depan bukan sekadar angka, melainkan refleksi dari sebuah kehendak politik untuk membangun kemandirian ekonomi dari bawah, berbasis gotong royong dan partisipasi warga.
Langkah ini layak diapresiasi. Dalam sejarah Indonesia, koperasi bukan sekadar entitas ekonomi, melainkan simbol perlawanan terhadap ketimpangan dan bentuk konkret dari semangat kolektif yang diwariskan para pendiri bangsa. Selama ini, koperasi sering terpinggirkan dalam diskursus pembangunan, kalah pamor dari model-model korporatis dan birokratis. Kini, Prabowo mengembalikan koperasi ke panggung utama, dan ini adalah keputusan strategis yang patut didukung.
Kemanfaatan publik melalui hadirnya koperasi tercermin dari upaya pemerintah dalam mensinergikan potensi desa dan kapasitas masyarakatnya. Dalam jangka panjang, koperasi-koperasi tersebut akan menjadi pilar penopang pertumbuhan perekonomian yang signifikan, sehingga pembenahan tata kelola koperasi perlu dilakukan dengan melibatkan berbagai komponen yang melekat pada ekosistem ekonomi desa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, membangun koperasi yang hidup dan berdaya tidak bisa dilakukan dengan logika proyek semata. Kita membutuhkan pendekatan institusional, bukan sekadar administratif. Koperasi harus dibina, bukan sekadar dibentuk. Yang dibutuhkan bukan sekadar seremoni peluncuran, melainkan sistem pendampingan yang berkelanjutan: pelatihan manajemen, pembiayaan yang ramah, digitalisasi, hingga integrasi dengan ekosistem UMKM nasional.
Saya percaya, jika dilakukan dengan benar, Kopdes Merah Putih dapat menjadi warisan besar Prabowo dalam demokratisasi ekonomi. Apalagi, Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dalam pemerataan kesejahteraan dan penguatan ketahanan pangan. Koperasi desa bisa menjadi simpul penguatan ekonomi lokal: dari koperasi tani, koperasi peternak, hingga koperasi digital berbasis komunitas.
Tentu ada risiko jika pendekatan ini tergelincir menjadi sekadar target kuantitatif. Kita punya pelajaran dari masa lalu, saat koperasi dibentuk secara masif tapi tanpa roh kewirausahaan. Banyak yang mati suri karena tak punya sistem tata kelola yang andal, atau sekadar dijadikan alat politik musiman.
Untuk menghindari jebakan tersebut, dibutuhkan sinergi lintas sektor: Kementerian Koperasi dan UKM harus bekerja erat dengan Kemendagri, Bappenas, serta pemerintah daerah. Pendekatan top-down mesti dikombinasikan dengan bottom-up agar koperasi benar-benar menjadi milik warga desa, bukan semata titipan elite pusat.
Saya juga mendorong agar pemerintah mengembangkan mekanisme akuntabilitas dan dashboard pemantauan kinerja koperasi secara transparan. Masyarakat perlu tahu, koperasi mana yang tumbuh sehat, dan mana yang butuh intervensi. Ini bukan semata soal audit, tetapi tentang menciptakan budaya evaluasi yang sehat dan terus-menerus.
Terakhir, perlu ditegaskan: koperasi bukanlah entitas ekonomi sekunder. Dalam banyak negara maju, koperasi adalah tulang punggung ekonomi sektor riil. Di Finlandia, koperasi pangan mendominasi distribusi makanan. Di Jepang, koperasi petani memainkan peran vital dalam ketahanan pangan. Di Indonesia, kita punya fondasi sosial untuk menempuh jalan yang sama, dan Kopdes Merah Putih bisa menjadi langkah awal yang menjanjikan.
Kita butuh keberanian politik untuk berpihak pada rakyat kecil, dan langkah Presiden Prabowo ini adalah sinyal positif ke arah itu. Kini tinggal bagaimana kita merancang eksekusinya: bukan cepat, tapi tepat; bukan banyak, tapi berdampak.
Karena sejatinya, kedaulatan ekonomi Indonesia dimulai dari desa. Dan koperasi adalah pintunya.
Trubus Rahardiansah. Pakar kebijakan publik Universitas Trisakti.