Masyarakat saat ini dicirikan dengan apa yang disebut sebagai banjir informasi. Saya masih ingat, ketika saya masih kecil di akhir 1990an- awal 2000an, ibu saya yang adalah pedagang di pasar hanya punya satu topik pembicaraan baik dengan teman-teman sesama pedagangnya maupun dengan pembelinya yaitu tentang Sinetron Tersanjung. Di sana mereka tahu mana pihak yang baik dan mana pihak yang jahat. Sekarang, bahkan untuk satu hal yang sama, masing-masing orang bisa punya pahlawan yang berbeda. Konsumsi media membuat orang bisa terpapar berita yang berbeda dan membuat orang memiliki sudut pandang yang lain dalam memahami situasi.
Dalam bahasa Zigmunt Bauman, seorang sosiolog dari Polandia, situasi macam ini melahirkan masyarakat yang cair atau dalam bahasa umumnya Liquid society in the middle of Liquid modernity. Masyarakat di satu tempat yang sama tidak memiliki kesatuan ide tentang apa yang terjadi di sekitarnya, tentang mana yang benar dan salah.
Mengikuti Peter L. Berger, masyarakat saat ini tidak lagi memiliki Sacred Canopy, sebuah gambaran tentang tidak adanya imaginasi yang sama ketika membicarakan suatu realitas. Pada masanya, menurut Berger, agama merupakan sacred canopy. Agama mampu menjawab segala pertanyaan tentang kehidupan manusia, mulai dari kelahiran, pergulatan kehidupan sampai dengan kematian. Sekarang, masing-masing orang memiliki imaginasi yang berbeda-beda. Dalam arti tertentu, segregasi atau keterpecahan sekarang juga menjadi ciri dari agama. Jarak antara mereka yang beraliran kiri ekstrim dan yang kanan ekstrim terlalu jauh sehingga terjadi perbedaan pandangan. Kini, amat sulit untuk mengharapkan dunia bisa dipahami secara sama oleh warga masyarakatnya.
Salah satu tonggak yang ditengarai oleh sosiolog adalah lahirnya revolusi industri di abad 19 yang membuat masyarakat tradisional yang sebelumnya memiliki imaginasi dan peran sosial yang terwariskan turun temurun berubah menjadi masyarakat modern yang memiliki imaginasi dan peran sosial yang harus dicari dan diperebutkan. Revolusi industri saat ini sudah memasuki generasi yang keempat atau kelima yang membuat masyarakat makin mungkin terpecah belah. Maka, diperlukan kesadaran baru untuk memahami realita. Bagaimanapun, upaya untuk melihat yang baik sebagai baik dan yang buruk sebagai buruk tetaplah harus dipertahankan. Dalam hal inilah, literasi dan pola berpikir kritis semakin diperlukan, meski kian diabaikan.
Masyarakat Post-Truth
Bersamaan dengan makin berpengaruhnya pemberitaan media massa non-mainstream, dikenallah apa yang disebut sebagai post truth society. Hal ini menunjuk kepada situasi di mana masyarakat tidak lagi tertarik kepada kebenaran obyektif. Kebenaran bagi mereka adalah kebenaran yang menguntungkan atau membenarkan dirinya atau kelompoknya. Di dalam situasi inilah kita lalu bisa memahami betapa absurbnya situasi di masyarakat kita. Terdapat orang-orang yang antusias mengirimkan berita-berita bombastis yang menjelekkan agama atau kelompok lain. Apakah halnya benar atau tidak, orang tidak peduli.
Pola algoritma internet yang memungkinkan orang untuk hanya mengakses tema-tema yang suka dia akses (Epistemic Bubble), dan fakta adanya orang-orang yang menggaungkan berita tertentu secara bombastis guna menghindarkan orang dari berita yang benar (Echo Chamber), membuat orang terhubung dengan orang dengan keyakinan yang sama. Di sana tidak ada sikap kritis karena suatu klaim, meskipun salah, tetap didukung. Hal ini senada dengan ungkapan yang mengatakan, "Kesalahan yang dikatakan berulang-ulang oleh banyak orang akan dianggap sebagai kebenaran."
Literasi Dasar
Situasi masyarakat yang jatuh di dalam post truth sangat mencemaskan karena bisa saja berakibat fatal dalam bentuk berbagai macam permasalahan. Hal itu bisa dimulai dari pertengkaran di dalam keluarga, teman-teman di sekolah, di kampung sampai dengan konflik antar kelompok masyarakat. Sayangnya, kedua kelompok yang bertikai belum tentu benar karena bisa saja dimanipulasi oleh logika internet. Hal ini mirip dengan logika gossip di mana kedua kelompok memiliki kebenarannya masing-masing.
Internet bisa diibaratkan sebagai senjata. Dalam hal ini, perlu disadari bahwa senjata itu adalah alat di tangan manusia. Hukum umum yang berlaku adalah "Manusia adalah tuan atas senjata yang dipegangnya." Namun, bisa saja, tanpa ada kontrol, senjata menjadi tuan atas manusia. Internet bisa saja menentukan pilihan-pilihan tindakan manusia dan membuatnya tidak masuk akal. Dalam hal ini, orang perlu membiasakan diri dengan "Kemampuan Bertanya" menggunakan metode 5W1H (What, when, where, why, who dan How β Apa, kapan, di mana, mengapa, siapa, dan bagaimana). Kemampuan ini memungkinkan orang untuk menimbang suatu hal itu benar atau salah. Dalam menimbang suatu hal, orang tidak boleh hanya dikontrol oleh perasaan tetapi oleh kenyataan. Dalam hal ini, berlakulah semangat, "kebenaran bisa ditunda, tetapi tidak bisa dihapus."
Mewariskan Imaginasi Persaudaraan
Negeri ini tetap bertahan karena imaginasi tentang Gotong Royong yang dirumuskan oleh Bung Karno sebagia warisan generasi masyarakat yang sudah ada sebelumnya. Sampai hari ini, kita bersyukur atas generasi tersebut yang membuat bangsa ini lebih mudah menjaga persatuan dan persaudaraan di berbagai tingkatannya.
Kini, masyarakat kita sedang ada di persimpangan. Model berpikir yang memecah belah masyarakat mulai menjadi budaya sehingga konflik-konflik mulai dianggap biasa baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional. Pertanyaannya, apakah model ini yang akan kita wariskan kepada generasi berikut? Semoga tidak! Di sinilah kita memahami betapa menentukannya apa yang dikerjakan oleh generasi ini.
Semoga saja, warisan kemampuan bertanya dan menolak dipecah belah mencirikan warisan generasi ini. Semoga anak cucu dan generasi setelah kita berterima kasih karena di persimpangan ini, generasi kita berhasil melewati ujian zaman.
Martinus Joko Lelono. Pengajar di Universitas Sanata Dharma
(imk/imk)