Saat ini, kita hidup di era yang sifatnya dinamis, dimana perubahan tak lagi datang per dekade, melainkan per tahun, bahkan per bulan. Laporan World Economic Forum (WEF) tahun 2025 mempertegas arah perubahan itu. Menurut laporan tersebut, tiga keterampilan utama yang akan sangat dibutuhkan di tahun 2030 adalah Artificial Intelligence (AI) dan big data, literasi teknologi, serta kemampuan berpikir secara kreatif. Hal ini bukan sekadar prediksi, tapi sudah tampak secara nyata. Di Indonesia, pekerjaan di bidang AI and Machine Learning, Big Data, hingga Business Development menunjukkan pertumbuhan signifikan. Sebaliknya, profesi seperti petugas entri data dan pekerja pabrik mengalami tren penurunan. Data tersebut dipaparkan dalam prospek pekerjaan di Indonesia menurut WEF.
Arah dunia sudah semakin jelas: teknologi bukan lagi pelengkap, melainkan menjadi bagian inti dari kehidupan dan pekerjaan. Maka, pertanyaannya bukan lagi "perlukah anak belajar AI?", tapi "kapan anak mulai diperkenalkan pada AI?".
Sayangnya, masih banyak kekhawatiran yang beredar. Ada anggapan bahwa AI sangat berbahaya untuk anak karena dapat mengurangi kreativitas, atau bahkan membuat anak malas berpikir. Kekhawatiran ini tidak sepenuhnya keliru, namun juga tidak sepenuhnya benar. Sama seperti pisau yang bisa digunakan untuk memasak maupun menyakiti, AI pun bergantung pada siapa yang menggunakannya, dan untuk tujuan apa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kita tentu tak bisa menutup mata bahwa AI bisa disalahgunakan. Teknologi ini mampu memproduksi video hoaks yang sangat meyakinkan, atau memalsukan dokumen dengan tingkat presisi tinggi. Namun, di sisi lain, AI juga dapat menjadi mitra belajar dan bekerja yang sangat membantu. Bayangkan seorang siswa yang sedang belajar pemrograman dan menemui error dalam kodenya. Jika harus mencari secara manual, bisa butuh waktu belasan menit. Tapi dengan bantuan AI, kesalahan bisa ditemukan dalam hitungan detik, dan bukan hanya itu, AI juga bisa menjelaskan di mana letak logikanya yang salah.
Pada contoh terapan lainnya, siswa yang sedang belajar matematika seringkali kebingungan saat mengerjakan soal cerita yang panjang dan kompleks. Namun dengan memanfaatkan AI, siswa dapat memindai soal, mendapatkan penjelasan langkah demi langkah, dan memahami konsep di balik jawaban, bukan sekadar diberi hasil akhir saja.
Lebih dari itu, AI bisa menjadi teman diskusi virtual yang cerdas. Ia mampu membantu menyusun ide, merumuskan argumen, hingga mengasah kreativitas. Namun tetap, satu hal harus diingat: AI hanyalah alat. Yang mengendalikan tetaplah manusia.
Di sinilah peran pendidikan menjadi sangat penting. Alih-alih melarang atau menjauhkan anak dari AI, kita justru perlu membekali mereka dengan pemahaman yang tepat. Anak perlu diajarkan konsep dasar terlebih dahulu, baru kemudian dibiasakan menggunakan AI sebagai alat bantu, bukan sebagai satu-satunya solusi.
Fenomena ini mengingatkan kita pada perdebatan lama tentang kalkulator. Dulu, kehadiran kalkulator di ruang kelas sempat memicu kekhawatiran serupa, anak dianggap akan kehilangan kemampuan berhitung. Namun waktu membuktikan, ketika penggunaannya dibatasi dengan bijak, anak tetap bisa berkembang optimal. Justru dengan kalkulator, siswa bisa fokus pada penyelesaian masalah yang lebih kompleks, bukan terjebak pada hitungan dasar yang memakan waktu.
Prinsip yang sama berlaku untuk AI. Kita tidak bisa (dan tidak seharusnya) menolaknya. Yang perlu kita lakukan adalah memastikan anak-anak tumbuh dengan literasi teknologi yang kuat, etika yang tertanam, dan keterampilan berpikir kritis yang terasah.
Pada akhirnya, dunia masa depan bukan lagi milik mereka yang paling kuat, tapi mereka yang paling adaptif. AI, jika dipahami dan digunakan dengan bijak, adalah kunci penting untuk membuka pintu masa depan itu.
Christopher Andreas, S.Stat., M.Stat. Dosen Prodi Informatika Universitas Ciputra Surabaya
Lihat juga video: Sekarang Ada Aplikasi Kalkulator di iPadOS