Kolom

AI, Guru, dan Masa Depan Pendidikan

Pormadisimbolon - detikNews
Kamis, 03 Jul 2025 12:13 WIB
Foto: Ilustrasi aplikasi AI Grok (Getty Images/alexsl)
Jakarta -

Kualitas pendidikan kita semakin menurun. Di tengah situasi demikian, kehadiran Kecerdasan Buatan (AI) dapat membawa dampak positif maupun dampak negatif. Maka pertanyaannya, bagaimana kita memanfaatkan kehadiran AI, dan peran guru untuk masa depan pendidikan kita?

Satu topik yang kian mendesak dalam dunia pendidikan kita adalah kehadiran Kecerdasan Buatan (AI). Tanpa kita sadari, AI telah meresap begitu dalam ke dalam kehidupan sehari-hari-mulai dari rekomendasi tontonan hingga navigasi perjalanan.

Tapi bagi kita, para pendidik, pertanyaannya lebih mendalam: Apakah AI akan menurunkan kualitas pendidikan, khususnya dalam mengasah daya kritis siswa, atau justru menjadi alat revolusioner yang memperkuatnya?

AI: Pedang Bermata Dua dalam Pendidikan

AI menjanjikan banyak hal yang luar biasa. Bayangkan, personalisasi pembelajaran yang sebelumnya hanya mimpi kini menjadi mungkin. AI mampu menganalisis gaya belajar, kecepatan, dan kebutuhan unik setiap siswa, sehingga materi pembelajaran bisa disesuaikan secara real-time. Hal ini membuka jalan bagi pembelajaran yang lebih efektif dan bermakna.

Di sisi lain, guru pun dapat terbantu dengan automasi berbagai tugas administratif seperti penilaian, penjadwalan, hingga pelaporan. Waktu yang semula tersita kini dapat dialihkan untuk membimbing siswa secara lebih mendalam dan membangun interaksi yang lebih manusiawi.

AI juga membuka akses yang lebih luas bagi siswa di daerah terpencil maupun mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Dengan teknologi pembaca layar, terjemahan otomatis, dan tutor virtual 24/7, hambatan geografis dan keterbatasan fisik dapat ditekan.

Bahkan, melalui analisis data besar, AI dapat memberi kita wawasan yang lebih tajam tentang pola belajar siswa, membantu guru dan sekolah mengambil keputusan berbasis data.

Namun, seiring dengan potensi cerah itu, terselip pula sisi gelap yang patut diwaspadai.

Ancaman Tersembunyi: Mengikis Daya Kritis dan Etika

Kekhawatiran utama adalah risiko menurunnya daya kritis siswa. Otak manusia, sebagaimana otot, perlu dilatih secara konsisten. Ketika kita terlalu bergantung pada kalkulator, kemampuan berhitung menurun.

Ketika siswa terlalu sering menyerahkan proses berpikir pada AI, proses kognitif mereka pun bisa melemah--sebuah fenomena yang dikenal sebagai cognitive offloading.

Siswa bisa terjebak menjadi konsumen pasif informasi, menerima begitu saja jawaban dari AI tanpa mempertanyakan sumber, bias, atau validitasnya. Ini berbahaya, karena model AI dilatih menggunakan data besar yang tidak lepas dari bias algoritmik, dan bisa memperkuat "ruang gema" (echo chamber) yang mengkerdilkan keberagaman pandangan.

Selain itu, penggunaan AI dalam pendidikan melibatkan pengumpulan data siswa dalam jumlah besar. Pertanyaannya: bagaimana data ini dikumpulkan, disimpan, dan digunakan?

Tanpa kebijakan etis dan perlindungan data yang kuat, kerentanan terhadap penyalahgunaan sangat besar.

Masalah plagiarisme pun tak kalah serius. AI generatif seperti ChatGPT bisa digunakan untuk membuat esai atau tugas secara instan. Jika tidak disikapi dengan bijak, integritas akademik--pilar utama pendidikan--bisa runtuh perlahan.

Dan yang tak kalah penting: AI tidak bisa menggantikan sentuhan manusia. Hubungan guru-siswa, interaksi antarsiswa, dan pengalaman belajar yang melibatkan empati, nilai, dan emosi tetap menjadi inti dari pendidikan sejati.

Solusi: AI sebagai Mitra, Bukan Pengganti

Lantas, haruskah kita menolak AI? Tentu tidak. Justru tantangan ini menjadi peluang untuk memperkuat peran guru dan menata ulang paradigma belajar.

Pertama, AI sebagai alat bantu, bukan pengganti otak. Kita perlu membekali siswa dengan keterampilan berpikir kritis, bukan sekadar kemampuan mencari jawaban. AI sebaiknya digunakan untuk mempercepat pencarian informasi atau membantu tugas-tugas teknis, tetapi pengambilan keputusan tetap harus berpijak pada nalar manusia.

Kedua, literasi AI untuk semua. Baik guru maupun siswa perlu memahami cara kerja AI, bias yang mungkin terkandung di dalamnya, serta pentingnya evaluasi informasi. Literasi ini harus menjadi bagian dari kurikulum masa depan.

Ketiga, melatih daya kritis melalui AI. Dorong siswa untuk bertanya, menguji, dan mendebat jawaban yang diberikan AI. Jadikan AI sebagai pemantik diskusi, bukan pemadam pemikiran.

Keempat, kebijakan yang kuat dan adaptif. Pemerintah dan institusi pendidikan perlu merumuskan kebijakan yang melindungi hak siswa, mengatur etika penggunaan AI, dan menyiapkan alat untuk menjaga integritas akademik.

Kelima, guru tetap sentral. Di tengah derasnya gelombang teknologi, peran guru justru semakin strategis. Guru adalah fasilitator pembelajaran yang membimbing, menginspirasi, dan membentuk karakter. AI tidak bisa menggantikan peran ini.

AI adalah kenyataan, bukan sekadar wacana masa depan. Ia bisa menjadi sekutu terbaik pendidikan, atau ancaman tersembunyi yang mengikis esensi belajar itu sendiri. Masa depan pendidikan ada di tangan para guru: akankah kita membiarkan teknologi mendikte arah belajar, atau justru mengarahkan teknologi untuk memperkuat kemanusiaan?

Dengan kesadaran kritis, literasi teknologi, dan komitmen pada nilai-nilai pendidikan sejati, kita bisa memastikan bahwa AI menjadi kekuatan transformatif yang memperkuat-bukan menggantikan-peran guru dan martabat pendidikan.

Pormadi Simbolon. Pemerhati Pendidikan dan kebudayaan, Pembimas Katolik Kanwil Kemenag Provinsi Banten.




(imk/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork