Dalam beberapa tahun terakhir, tren perkara cerai gugat, yakni perceraian yang diajukan oleh pihak istri menunjukkan peningkatan signifikan di lingkungan Peradilan Agama. Di beberapa wilayah Satuan Kerja Pengadilan Agama bahkan banyaknya perkara cerai gugat dibandingkan cerai talak dari total perkara perceraian.
Fenomena ini bukan hanya merefleksikan dinamika sosial dalam rumah tangga, tetapi juga menuntut sistem hukum acara yang lebih responsif terhadap kebutuhan keadilan perempuan sebagai pencari keadilan.
Salah satu persoalan mendasar adalah ketidaksesuaian antara praktik hukum acara dan realitas sosiologis perempuan pencari keadilan. Banyak dari mereka datang tanpa bantuan hukum (non-litigation by lawyer), minimnya pengetahuan hukum, dan terkendala akses pembuktian.
Padahal, sebagai penggugat, pihak istri memikul beban pembuktian untuk menunjukkan alasan perceraian seperti perselisihan, kekerasan atau tidak adanya nafkah. Hukum acara yang bersifat formalistik sering kali memperberat posisi ini.
Meskipun Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama memberikan kerangka normatif, tidak ada regulasi hukum acara khusus yang disusun dengan perspektif gender dan keadilan substantif.
Perma No 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum memang menjadi kemajuan, namun belum mengatur teknis hukum acara secara menyeluruh dalam perkara cerai gugat.
Urgensi pembaruan hukum acara di Peradilan Agama menjadi sangat penting, baik melalui kodifikasi hukum acara tersendiri maupun melalui revisi terbatas terhadap HIR/RBG yang masih menjadi acuan formil.
Pembaruan ini harus mengakomodasi mekanisme pembuktian digital, seperti bukti WhatsApp, rekaman suara, dan tangkapan layar (Screenshoot), pemberian bantuan hukum wajib, hingga perlindungan psikososial bagi perempuan yang menjadi korban dalam rumah tangga.
Di tengah meningkatnya angka cerai gugat, muncul pertanyaan penting: apakah hukum acara yang digunakan Peradilan Agama saat ini mampu menjawab tantangan keadilan bagi perempuan yang menggugat?
Kenyataannya, Peradilan Agama masih menggunakan sistem hukum acara yang mengacu pada HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan RBG (Rechtsreglement voor de Buitengewesten), yakni peninggalan kolonial Belanda yang bersifat formalistik dan tidak dirancang secara spesifik untuk konteks keagamaan atau keadilan relasional dalam keluarga.
Hukum acara ini juga belum mengakomodasi kompleksitas pembuktian dalam perkara cerai gugat, terutama ketika penggugat (biasanya perempuan) menghadapi kendala dalam menghadirkan alat bukti konvensional.
Padahal, UU No 7 Tahun 1989 jo UU No 3 Tahun 2006 dan UU No 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, menegaskan bahwa Peradilan Agama memiliki kewenangan eksklusif dalam perkara perceraian yang diajukan oleh pihak yang beragama islam, termasuk cerai gugat.
Lebih jauh lagi, Perma No 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum secara normatif telah mendorong adanya pendekatan yang lebih sensitif gender dalam pemeriksaan perkara, namun tidak memiliki kekuatan teknis yang mengikat dalam tata cara persidangan dan pembuktian.
Akibatnya, beban pembuktian masih diletakkan secara kaku di pundak penggugat, tanpa memedulikan kondisi sosial-ekonomi atau trauma yang dialami. Hal ini berimplikasi pada bentuk keadilan yang bersifat formil belaka, bukan substantif.
Jika dikaitkan dengan secara teoretis, permasalahan ini dapat dianalisis melalui perspektif teori hukum progresif yang dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo (2005) dalam bukunya yang berjudul Ilmu Hukum Progresif, yang menekankan bahwa "hukum bukan untuk hukum itu sendiri, tetapi untuk manusia dan keadilan."
Dalam konteks cerai gugat, hukum acara yang terlalu rigid tanpa mempertimbangkan ketimpangan relasi kuasa antara suami-istri justru melanggengkan ketidakadilan prosedural.
Sebaliknya, hukum seharusnya lentur dan kontekstual memberi ruang bagi nilai keadilan substantif, apalagi bagi kelompok rentan seperti perempuan korban kekerasan atau penelantaran.
Urgensi Pembaruan Hukum Acara Peradilan Agama.
Pembaruan hukum acara bukan sekadar kebutuhan teknis, melainkan merupakan bentuk tanggung jawab konstitusional negara dalam menjamin akses terhadap keadilan yang setara, aksesibel, dan substantif, khususnya bagi kelompok rentan seperti perempuan dalam perkara cerai gugat.
Hal ini sejalan dengan semangat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menegaskan bahwa "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum." Dalam praktiknya, tanpa pembaruan hukum acara yang sensitif terhadap konteks sosial dan gender, proses beracara di Peradilan Agama justru dapat menjadi penghambat perempuan untuk mendapatkan keadilan.
Menurut penulis, terhdap konteks perkara cerai gugat di Peradilan Agama, reformasi hukum acara menjadi keperluan untuk menjamin proses persidangan yang adil, adaptif, dan melindungi hak-hak pihak yang rentan. Maka dari itu diperlukannya beberapa hal. Berikut ini hal-hal yang diperlukan:
Pertama, Kodifikasi Hukum Acara Peradilan Agama yang Mandiri dan Responsif Gender. Dibutuhkan hukum acara tersndiri yang tidak lagi menggantungkan diri pada HIR/RBg, melainkan mengatur secara spesifik tata cara, alat bukti, dan perlindungan hukum dalam perkara keluarga berbasis nilai-nilai keadilan substantif dan perspektif gender.
Ketergantungan ini telah menciptakan kesenjangan antara karakter substantif perkara yang ditangani dengan sistem formil prosedural yang digunakan, sehingga sering kali menghambat akses keadilan, terutama bagi perempuan sebagai pencari keadilan dalam perkara cerai gugat.
Kedua, Penerapan Asas Keadilan Substantif dan perlakuan khusus terhadap Permpuan Korban. Dalam perkara cerai gugat yang melibatkan kekerasan dalam rumah tangga, penelantaran, atau bentuk ketidakadilan relasional lainnya, penerapan asas keadilan substantif menjadi krusial.
Sebab, hukum acara yang murni prosedural dan formalistik kerap kali gagal mengakomodasi pengalaman dan posisi sosial perempuan sebagai korban, yang sering menghadapi kendala dalam menghadirkan bukti konvensional. Oleh karena itu, hakim perlu diberi pedoman operasional lanjutan (beyond Perma No. 3 Tahun 2017) untuk menerapkan kebijakan afirmatif (affirmative justice) dalam perkara yang melibatkan perempuan berhadapan dengan hukum, khususnya dalam konteks keluarga.
Prinsip ini juga sejalan dengan amanat pasal 28H ayat (2) UUD 1945, yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapat perlakuan khusus demi memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Perkara cerai gugat tidak hanya mencerminkan retaknya relasi rumah tangga, tetapi juga menjadi cermin bagi keberpihakan sistem hukum terhadap keadilan gender. Dalam konteks ini, Peradilan Agama tidak boleh terjebak dalam prosedur hukum yang kaku dan netral semu, melainkan harus bertransformasi melalui pembaruan hukum acara yang progresif, kontekstual, dan inklusif.
Negara, sebagai penyelenggara sistem peradilan, memiliki tanggung jawab konstitusional dan moral untuk memastikan bahwa perempuan sebagai pencari keadilan tidak terhalang oleh birokrasi hukum yang tidak sensitif terhadap realitas sosial yang dihadapi.
Dengan mendorong kodifikasi hukum acara Peradilan Agama yang mandiri dan penerapan kebijakan afirmatif, maka peradilan bukan hanya menjadi arena penyelesaian sengketa, tetapi juga menjadi wadah pemulihan martabat dan pemenuhan hak bagi perempuan.
Sebagaimana dikatakan oleh Satjipto Rahardjo (2000): "Hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya."
Maka, hukum acara pun harus menyesuaikan diri dengan denyut keadilan masyarakat, bukan masyarakat yang dipaksa tunduk pada kekakuan hukum.
Fahmi Aziz. Ketua Remaja Assyabaab 2021-2023, Kepaniteraan Hukum Pengadilan Agama Tangerang, Alumni Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
(imk/imk)