Kolom

Menyelamatkan Pendidikan Keagamaan dari Ancaman Kekerasan Seksual

Muhammad Mukhlisin - detikNews
Rabu, 02 Jul 2025 12:19 WIB
Foto: Ilustrasi kekerasan seksual terhadap anak (Denny Putra/Tim Infografis)
Jakarta -

Pada akhir Juni 2025, kasus pencabulan seorang guru ngaji berinisial AF (43) di kawasan Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan menggemparkan publik. Ia ditangkap oleh kepolisian setelah diduga mencabuli sedikitnya 10 santri, anak-anak berusia 10 hingga 12 tahun, dengan modus "pelajaran tambahan" seputar fiqih hadas. Para korban diberi uang Rp10.000 hingga Rp25.000 dan diancam agar tidak bercerita. Aksi bejat ini diduga telah berlangsung sejak tahun 2021. Polisi menjerat AF dengan UU No. 17/2016 tentang Perlindungan Anak dan UU TPKS 2022, dengan ancaman hukuman minimal 15 tahun penjara.

Masih pada bulan Juni 2025, Belasan santriwati diduga menjadi korban pelecehan seksual di salah satu pesantren di Sumenep, Jawa Timur. Relasi kuasa dan doktrin agama membuat kekerasan seksual di lingkungan pesantren terus berulang, kata aktivis perempuan. Sebanyak 13 perempuan mengaku mengalami kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh pemilik sekaligus pengurus salah satu pondok pesantren di Pulau Kangean, Sumenep, Jawa Timur.

Dalam dua tahun terakhir bahkan, setidaknya tiga kasus besar mencuat di Jakarta dan sekitarnya saja. Di Cengkareng, seorang guru ngaji ditangkap warga setelah diduga mencabuli delapan muridnya di dalam lingkungan masjid. Di Ciputat, Banten kasus serupa terjadi. Seorang guru ngaji di Masjid Al-Huda diduga mencabuli delapan anak SD sejak 2021.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifatul Choiri Fauzi atau Arifah Fauzi mengungkap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia tembus 13.845 kasus. Angka ini didapat Kementerian PPPA yang dihimpun mulai Januari hingga 28 Juni 2025.

Kasus-kasus ini adalah cermin dari kelemahan sistemik kita. Lemahnya pengawasan terhadap pendidikan agama non-formal dan informal, minimnya profesionalisme dan pengawasan pendidikan informal keagamaan, serta yang tak kalah penting adalah rendahnya literasi pendidikan seksual di tengah masyarakat.

Mengapa kekerasan pada anak dan perempuan masih terjadi?

Berdasarkan pengalaman penulis dan rekan-rekan di Yayasan Cahaya Guru, untuk memutus mata rantai kekerasan anak dan perempuan di dunia pendidikan, terutama yang berbasis keagamaan, setidaknya ada lima langkah krusial yang harus diimplementasikan secara sinergis oleh pemerintah dan masyarakat.

Pertama, edukasi dan peningkatan kapasitas perlindungan anak, khususnya dalam pencegahan dan penanganan kekerasan, baik untuk guru maupun murid. Anak-anak harus ditanamkan pemahaman kuat bahwa tubuh mereka adalah ranah pribadi yang sepenuhnya milik mereka.

Kedua, pengaturan dan pengawasan yang ketat terhadap guru-guru non-formal dan informal. Demi memenuhi amanah besar "mencerdaskan kehidupan bangsa", maka pemerintah dan masyarakat wajib berkolaborasi untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan memastikan kualitas pengajaran yang aman dan bertanggung jawab.

Ketiga, pengawasan harus diperkuat secara signifikan. Masjid, mushola, gereja, vihara, pura, dan beragam tempat pembelajaran informal keagamaan tidak cukup hanya menyediakan ruang belajar semata. Mereka harus dilengkapi dengan mekanisme seleksi guru dan pengelola, sistem pelaporan kasus kekerasan yang mudah diakses dan aman bagi korban, serta penyediaan pendampingan psikologis yang profesional bagi anak-anak yang menjadi korban.

Keempat, masyarakat harus memiliki keberanian untuk membuka mata dan melapor. Masyarakat harus aktif dalam melaporkan, mendukung korban, dan menuntut keadilan, menanggalkan segala bentuk bias yang dapat menghambat penegakan kebenaran dan keadilan.

Kelima, pentingnya peran orang tua dan keluarga sebagai garis pertahanan pertama. Orang tua harus dibekali pengetahuan dan keterampilan untuk mengenali tanda-tanda kekerasan, berkomunikasi terbuka dengan anak tentang batasan tubuh, dan membangun lingkungan rumah yang aman dan mendukung. Pendidikan tentang hak-hak anak dan bahaya kekerasan seksual harus dimulai dari lingkungan keluarga.

Negara Tidak Boleh Abai Terhadap Guru Informal

Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), negara mengakui tiga jalur pendidikan: formal, non-formal, dan informal. Pendidikan keagamaan seperti pengajian, TPA, atau madrasah diniyah jelas termasuk dalam ranah pendidikan non-formal dan informal. Oleh karena itu, negara berkewajiban memberikan perlindungan dan pengawasan yang setara terhadap para pendidik di semua jalur tersebut.

Sayangnya, negara memandang sebelah mata terhadap peran dan kontribusi guru ngaji, guru sekolah minggu, atau guru keagamaan informal lainnya. Guru di sekolah formal memiliki regulasi, tunjangan, dan mekanisme pengawasan. Sementara guru ngaji dan pendidik non-formal lain dibiarkan mengelola dirinya sendiri tanpa standar etik, tanpa organisasi profesi, tanpa pelatihan perlindungan anak, bahkan tanpa mekanisme pengaduan yang mudah dijangkau.

Sudah saatnya pemerintah, baik pusat maupun daerah, melibatkan diri secara aktif untuk memastikan ruang-ruang pendidikan keagamaan berjalan dengan aman dan berlandaskan hak-hak anak. Tentu ini bukan langkah mudah, banyak hal harus dikoordinasikan, karena berbicara guru ngaji perlu juga melibatkan beragam agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Jangan sampai diskriminatif.

Jika negara menganggap penting pendidikan informal keagamaan, seperti peran para guru ngaji dan sekolah minggu, maka sekaranglah saatnya berbenah. Saat ini DPR dan pemerintah telah merancang UU Sistem Pendidikan Nasional. Kita saat ini membutuhkan sistem pendidikan nasional yang adaptif dengan perkembangan zaman, namun juga konsisten dengan nilai-nilai luhur bangsa, termasuk nilai-nilai keagamaan yang bermakna dan berpihak pada keselamatan anak-anak.

Seperti yang dikehendaki Ki Hadjar Dewantara "Naluri pendidik adalah keinginan dan kecakapan tiap-tiap manusia untuk mendidik anak-anaknya agar selamat dan bahagia".

Muhammad Mukhlisin. Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.




(imk/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork