Kolom

Mendorong Kemandirian melalui Penguatan Ekonomi Kerakyatan

Fajar Anugrah Tumanggor - detikNews
Rabu, 02 Jul 2025 09:30 WIB
Ilustrasi / Foto: Towfiqu Barbhuiya/Unsplash
Jakarta -

Jika merujuk data Badan Pusat Statistik Mei 2025, pertumbuhan ekonomi Indonesia di Triwulan I hanya sebesar 4,87 persen. Angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yang mencapai 5,85 persen. Artinya pertumbuhan mengalami kontraksi sebesar 0,98 persen.

Berdasarkan temuan, ada tiga faktor yang membuat pertumbuhan ekonomi melambat. Antara lain menurunnya konsumsi rumah tangga, investasi, dan belanja pemerintah yang terdampak akibat efisiensi anggaran.

Lalu apabila kita flashback ke awal tahun 2025, Presiden Prabowo Subianto mengambil kebijakan efisiensi anggaran dengan mengurangi belanja konsumtif instansi. Dana segar hasil efisiensi akhirnya dialokasikan antara lain untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) hingga pembentukan superholding Danantara. Dari sinilah terjadi trickle down effect.

Efisiensi menyebabkan pemotongan anggaran sektor publik yang berdampak pada penurunan kualitas layanan, pemutusan hubungan kerja (PHK), penundaan beberapa program/proyek, memukul beberapa usaha seperti perhotelan, bisnis, retail, hingga penurunan konsumsi sektor rumah tangga.

Sebagai contoh, di sektor rumah tangga, konsumsi hanya meningkat sebesar 4,89 persen secara tahunan. Jauh lebih rendah dari tahun lalu. Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan di Institute for Development of Economics and Finance Rizal Taufikurahman menjelaskan, penurunan konsumsi itu diikuti penyusutan tabungan masyarakat, serta berkurangnya aktivitas mudik sebagai bukti nyata memperparah kondisi daya beli masyarakat.

Taufik menambahkan bahwa penurunan daya beli itu membuat pelaku usaha ragu untuk berinvestasi. Apalagi melakukan ekspansi pasar. Saat ini, pengusaha lebih bermain aman dan tidak ingin mengambil risiko besar.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Muhammad Faisal menambahkan, perlambatan ekonomi itu akan berlanjut pada kuartal berikutnya mengingat tidak ada lagi momen besar seperti Lebaran yang dapat mendorong konsumsi masyarakat.

Alarm Peringatan

Harus diakui, selain hitungan hitam di atas putih, kelesuhan ekonomi bisa kita amati secara de facto di lapangan. Harga-harga di banyak toko kelontong, grosir, swalayan, hingga supermarket melonjak. Khususnya harga pangan. Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) sekaligus Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menuturkan ada tiga faktor yang menyebabkan harga pangan melonjak. Antara lain, kegagalan panen, konversi komoditas menjadi sumber energi, hingga kebijakan proteksionisme perdagangan internasional oleh suatu negara.

Melonjaknya harga pangan tersebut akhirnya memaksa masyarakat untuk lebih berhati-hati menggunakan uang, hingga berusaha untuk memunculkan sumber pendapatan lain. Penyuluh Pajak Dirjen Pajak Kemenkeu RI Ika Hapsari menyebutnya sebagai strategi berhemat dan menjalankan gaya hidup frugal demi menjaga stabilitas finansial (Kompas, 25 Juni 2025).

Namun, itu saja tidak cukup. Pemerintah harus bisa mengambil kebijakan yang solutif, visioner, dan berkeadilan. Menurut saya, sudah saatnya presiden Prabowo Subianto tidak saja fokus kepada kebijakan fiskal, tapi juga merevitalisasi ekonomi kerakyatan yang selama ini menjadi cita-cita para founding father, salah satunya Bung Hatta.

Hakikat Ekonomi Kerakyatan

Menurut Bung Hatta dalam penelitian Efendi dan Mustofa (2012), konsep ekonomi rakyat merujuk pada ekonomi yang dikelola oleh kaum pribumi atau penduduk asli Indonesia. Pada masa itu, terdapat ketidaksetaraan yang signifikan antara ekonomi rakyat dengan ekonomi kaum penjajah.

Keadaan ekonomi rakyat Indonesia pada periode tersebut sangat tertinggal jauh. Ketika situasi ekonomi memburuk, para ekonom, pengamat, dan terutama pejabat pemerintah berupaya menjadikan usaha kecil sebagai penyelamat perekonomian nasional.

Maka dari itu, kesejahteraan rakyat dengan cara selfhelp atau berdikari (berdiri diatas kaki sendiri) menjadi pondasi utama. Bung Hatta menyatakan dalam tulisannya Ekonomi Terpimpin (1979), bahwa sejak zaman penjajahan Belanda, cita-cita ekonomi kerakyatan sudah dipandang sebagai jalan yang terbaik untuk membangun berangsur-angsur ekonomi rakyat yang lemah.

Hatta menginginkan terwujudnya daulat kolektif kemandirian ekonomi lewat dua agenda besar. Yakni, daulat agraria melalui reformasi. Serta, penguatan ekonomi mikro, kecil, dan menengah lewat sistem koperasi.

Untuk reformasi agraria, Hatta memandang pentingnya peran vital masyarakat desa. Dalam masyarakat desa, tanah adalah milik rakyat, bukan dikuasai tuan tanah (feodal). Kepemilikan menurut Hatta harus terjamin sehingga tidak boleh dirampas atau diambil oleh orang lain tanpa melalui cara dan prosedur yang benar. Hatta menginginkan adanya rasa I' Egalite et la Fratrenite (persamaan dan persaudaraan).

Rasa persamaan dan persaudaraan itu kemudian dikombinasikan dengan sistem koperasi sebagai soko guru perekonomian bangsa. Koperasi adalah sebuah badan perserikatan ekonomi yang dibentuk untuk menyamaratakan keuntungan di masyarakat. Anggota koperasi didaulat menjadi pemilik saham sekaligus pembeli.

Koperasi bukanlah Perseroan Terbatas (PT) yang menekankan profit tetapi wadah perjuangan untuk ekonomi mikro, kecil, dan menengah. Nilai yang dijunjung ialah kolektivisme dan kesatuan visi di sesama anggota.

Organisasi koperasi memiliki peran penting dalam reformasi sosial dengan menghimpun para pelaku ekonomi rakyat dalam dua aspek utama. Pertama, secara kolektif mengorganisir para pelaku ekonomi rakyat untuk menjual produk yang mereka hasilkan langsung kepada konsumen dengan posisi tawar yang kokoh.

Kedua, koperasi dapat menjadi wadah yang bertanggung jawab dalam membeli barang yang diperlukan oleh para pelaku ekonomi rakyat, langsung dari para pemasok di sektor modern dengan posisi tawar yang kuat pula. Melalui operasinya, koperasi memiliki potensi untuk membersihkan para pelaku ekonomi yang menindas dan menjadi parasit.

Dengan kebijakan kolektivis, Hatta berpendapat bahwa koperasi merupakan bentuk ideal bagi pembangunan yang menitikberatkan pada keadilan, persamaan, dan gotong royong. Tujuannya adalah memastikan manfaat hasil pembangunan didistribusikan secara merata, memberikan kesempatan yang adil, mengatasi disparitas sosial, sehingga setiap individu dapat menikmati hak dan kesejahteraan secara inklusif.

Ke depan, perlu ada sinergi antara reforma agraria, koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebagai subsistem, serta penguatan masyarakat desa. Kita bisa belajar dari pengalaman Jepang atau Korea Selatan yang mengintegrasikan koperasi dan UMKM pada sektor maritim dan pertanian.

Penguatan reforma agraria yang fokus pada sektor perikanan serta garam, membuat perekonomian Jepang tahan terhadap gempuran ekonomi global.

Sementara itu, ekonomi Korea Selatan sukses melalui Gerakan Saemaul Undong, yang memodernisasi pedesaan dengan semangat kemandirian (self-help) dan gotong royong (mutual cooperation).

Gerakan ini berhasil membangun 706 pabrik di pedesaan pada 1978, yang turut menguatkan perekonomian nasional. Pengalaman kedua negara ini bisa menjadi masukan berharga untuk memajukan ekonomi kerakyatan di Indonesia.

Oleh karena itu, patut kita tunggu gebrakan Presiden Prabowo Subianto yang akan meluncurkan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih pada tanggal 12 Juli mendatang.

Pembentukan koperasi itu diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat desa melalui pendekatan ekonomi kerakyatan yang berbasis pada prinsip gotong royong, kekeluargaan, dan saling membantu. Dengan cara itulah masyarakat kita bisa berdikari, dan mampu survive di tengah kondisi ekonomi global yang tak menentu. Semoga.


Fajar Anugrah Tumanggor. Analis Ekonomi Politik Universitas Sumatera Utara dan Pegiat Ekonomi Kreatif di Media Sosial.




(rdp/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork