Ketika ribuan sekolah tak cukup menjamin anak-anak bisa bersekolah, Sekolah Rakyat hadir sebagai janji paling manusiawi dari seorang Presiden. Seraya memastikan tidak ada lagi anak miskin yang tertinggal hanya karena mereka dilahirkan dari keluarga yang kurang mampu. Sebuah keberanian sekaligus komitmen oleh Presiden Prabowo Subianto dengan langsung memulai dari akar: pendidikan untuk rakyat kecil.
Ini bukan sekadar langkah populis. Sekolah Rakyat adalah jawaban atas realitas yang kerap diabaikan oleh elit kekuasaan bahwa ketimpangan sosial di negeri ini sebagian besar berakar dari ketimpangan pendidikan.
Seorang anak yang gagal menyelesaikan sekolah dasar karena tak mampu membeli seragam atau menanggung ongkos angkot, bisa saja kehilangan masa depan seluruh hidupnya. Sebaliknya, jika anak diberi akses, makanan bergizi, dan pengajaran yang berkualitas bisa tumbuh menjadi pemimpin lokal, inovator desa, atau profesional yang membanggakan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dan di sinilah letak keberanian Prabowo, memutuskan untuk mengintervensi ketidakadilan dari hulunya.
Menurut BPS, partisipasi sekolah anak-anak dari keluarga termiskin memang masih timpang, terutama di luar Pulau Jawa. Data GoodStats (2023) mencatat jumlah anak yang tidak bersekolah di beberapa wilayah luar Jawa sangat mengkhawatirkan; Sumatera Utara 255.835 anak; Nusa Tenggara Timur (NTT) 103.731 anak; Papua Tengah 142.274 anak.
Angka-angka ini bukan sekadar statistik tapi cermin betapa banyak mimpi yang terpaksa berhenti sebelum dimulai karena kemiskinan dan keterbatasan akses. Hambatannya tidak hanya biaya sekolah formal, tetapi juga biaya tidak langsung seperti seragam, buku, alat tulis, transportasi, hingga iuran yang kadang disebut 'sukarela' tapi bersifat wajib.
Sekolah Rakyat menjawab langsung semua problem itu. Ia hadir sebagai paket kebijakan yang menyeluruh. Bangunan fisik didesain layak dan ramah anak. Kurikulum dipadukan dengan pelatihan vokasi dan pembentukan karakter. Anak-anak bukan hanya diberi bangku belajar, tapi juga tempat tidur yang layak, asupan nutrisi yang terjaga, hingga pelatihan keterampilan yang akan berguna setelah mereka lulus.
Seperti disampaikan oleh Menteri Sosial Saifullah Yusuf, program ini "dirancang bukan hanya untuk mencerdaskan, tetapi menyelamatkan masa depan anak-anak yang selama ini terkunci dalam siklus kemiskinan."
Di tengah kekhawatiran publik soal apakah program ini bisa berjalan atau hanya sebatas janji, pemerintah menunjukkan langkah konkret. Pada 29 Juni 2025, Sekretaris Kabinet Letkol Teddy Indra Wijaya didampingi Menteri PU, Dody Hanggodo, Mensos Saifullah Yusuf, Wamensos Agus Jabo meninjau langsung kesiapan Sekolah Rakyat di Sentra Handayani, Jakarta Timur. Seskab Teddy dengan penuh percaya diri menyatakan, "Percayalah, bahwa Sekolah Rakyat ini dibuat, dirancang oleh Bapak Presiden melalui Kementerian Sosial bertujuan untuk membangun anak-anak agar lebih sehat, lebih mendapatkan pendidikan yang bermutu, lebih aman, lebih terlindung, dan lebih sejahtera. Tujuannya itu."
Tahun ajaran perdana rencananya dimulai 14 Juli 2025. Sebanyak kurang lebih 100 sekolah akan beroperasi di mana sekitar 395 rombongan belajar jenjang SD hingga SMA. Infrastrukturnya sudah rampung lebih dari 88 persen.
Pemerintah telah mengerahkan BUMN didukung Kementerian PU dan Kemensos bekerja siang dan malam untuk menyiapkan segala hal. Tentu Ini bukan pekerjaan kecil, tapi proyek pembangunan manusia yang berskala nasional.
Lalu, yang membuat Sekolah Rakyat berbeda dari program pendidikan gratis lainnya adalah pendekatannya yang holistik. Di sini, anak tidak hanya diajarkan membaca, berhitung, atau menghafal Pancasila. Mereka dibekali keterampilan praktis sesuai dengan potensi daerah, anak di Nusa Tenggara bisa belajar pertanian berbasis digital, anak di Maluku belajar teknologi maritim 4.0, anak di Aceh belajar tentang carbon capture utilization and storage.
Sebagaimana ditekankan oleh UNESCO dalam laporan Education for Sustainable Development (2021), "Access to quality education is the most powerful equalizer in society-capable of breaking intergenerational poverty and promoting inclusive growth."
Presiden Prabowo tampaknya memahami ini dengan sangat baik. Sekolah Rakyat bukanlah instrumen jangka pendek, melainkan investasi jangka panjang untuk mobilitas sosial dan integrasi nasional.
Namun, langkah berani ini tidak bebas dari risiko. Jika kualitas pengajaran rendah, jika pendampingan longgar, jika branding tidak kuat, maka Sekolah Rakyat bisa berjalan tertatih-tatih dan bisa memantik segregasi sosial.
Stigma juga perlu diantisipasi. Lulusan Sekolah Rakyat harus dipastikan mendapatkan pengakuan setara dengan lulusan sekolah umum lainnya. Sertifikasi kompetensi, integrasi dengan dunia kerja, dan peluang untuk lanjut ke perguruan tinggi harus dijamin.
Yang terpenting: kesinambungan. Pendidikan tidak bisa dijalankan dengan tergesa-gesa. Ia butuh waktu, kesabaran, dan konsistensi lintas periode. Untuk itu, Sekolah Rakyat harus diinstitusionalisasi dan dijaga dengan kebijakan antarkementerian.
Jika berhasil, Sekolah Rakyat bisa menjadi salah satu legasi terbesar dari pemerintahan Prabowo. Bukan hanya sebagai Presiden yang memiliki imej kuat dan berani, tetapi sebagai pemimpin yang peduli pada masa depan anak-anak bangsa yang selama ini kerap terlupakan.
Karena pada akhirnya, kekuatan sejati seorang pemimpin tidak diukur dari kuantitas fisik dan capaian angka statistik tapi dari seberapa besar ia mengubah nasib mereka yang paling lemah.
Di balik dinding-dinding Sekolah Rakyat, kelak akan lahir generasi baru : anak-anak dari kampung, desa, dan pinggiran kota yang menulis ulang takdir mereka dengan pena yang dulu tak pernah mereka genggam.
Dan jika sejarah mengenang Prabowo, biarlah ia dikenang bukan hanya sebagai Presiden, tapi sebagai pemimpin yang memberi harapan nyata bagi anak-anak kecil yang selama ini dibisukan oleh kemiskinan. Semoga!
Michael F Umbas, eks Wakil Sekretaris TKN Prabowo-Gibran
Simak juga Video: Sekolah Rakyat, Apakah Mengucilkan Siswa Miskin?