Pemerintah baru saja meresmikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kesehatan di Sanur, Bali. Inisiatif ini layak diapresiasi sebagai langkah nyata menghadirkan layanan kesehatan berstandar internasional di Tanah Air sekaligus strategi jitu untuk mengurangi kebocoran devisa yang setiap tahun menggerus cadangan negara. Tidak kurang dari Rp100 triliun devisa "terbang" ke luar negeri lantaran warga Indonesia berobat ke Malaysia, Singapura, bahkan Jepang dan Korea.
Hadirnya KEK Sanur menjadi jawaban strategis atas tantangan tersebut. Dengan fasilitas rumah sakit modern seperti Bali International Hospital dan Ngoerah Sun Wellness & Aesthetic Center, masyarakat kini memiliki alternatif layanan kesehatan berkualitas tinggi tanpa harus ke luar negeri. Dari sisi ekonomi, kawasan ini menjadi katalis baru bagi tumbuhnya sektor pariwisata medis, mendorong investasi, membuka lapangan kerja, serta menghidupkan rantai pasok industri kesehatan berbasis domestik.
Namun, sebaik apa pun infrastruktur yang dibangun, ia tidak akan berdaya guna tanpa sumber daya manusia medis yang kompeten dan merata. Dalam konteks inilah pernyataan Presiden Prabowo Subianto saat peresmian KEK Sanur perlu digarisbawahi:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita harus tambah juga akademi-akademi perawatan dan kita harus tambah pendidikan spesialis dengan efisien, dan jangan terlalu terhimpit oleh prosedur-prosedur dan peraturan-peraturan kuno."
Pendidikan dokter spesialis memang menjadi titik lemah dalam ekosistem kesehatan nasional. Prosedur yang berbelit, kuota terbatas, dan birokrasi yang tidak adaptif membuat distribusi dokter spesialis tidak merata. Beban terberat dirasakan daerah-daerah di luar Jawa yang hingga kini kekurangan tenaga medis berkualitas. Pernyataan Presiden yang secara terbuka menyoroti persoalan ini adalah sinyal penting. Transformasi sistem kesehatan tidak hanya soal infrastruktur megah atau peralatan tercanggih, tetapi juga pembenahan tata kelola dan reformasi kebijakan SDM.
Reformasi pendidikan kedokteran harus menitikberatkan pada efisiensi dan relevansi tanpa mengorbankan mutu. Prosedur-prosedur yang sudah tidak sesuai perkembangan zaman harus dikaji ulang. Indonesia tidak bisa terus-menerus terpaku pada skema lama yang kurang responsif terhadap krisis kekurangan tenaga medis. Kita memerlukan pendekatan berbasis data, kebutuhan, dan keberpihakan pada kepentingan rakyat luas.
Di tengah upaya tersebut, kebijakan penguatan peran kolegium melalui regulasi terbaru, di mana kolegium menjadi bagian dari Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) yang dikoordinasikan Kementerian Kesehatan, juga patut dicermati. Di satu sisi, kebijakan ini bisa menjadi langkah tepat untuk memastikan akuntabilitas, transparansi, dan integrasi kebijakan pendidikan dengan arah pembangunan kesehatan nasional. Namun di sisi lain, pemerintah perlu memastikan independensi akademik kolegium tetap terjaga agar proses penjaminan mutu pendidikan dokter spesialis tidak dipengaruhi pertimbangan politis atau birokrasi yang tidak relevan dengan profesionalisme kedokteran.
Sebagai saran, pemerintah dapat mempertimbangkan model kemitraan seimbang: Kemenkes sebagai pengarah kebijakan publik, kolegium sebagai pemegang standar akademik dan profesi, serta organisasi profesi dan perguruan tinggi sebagai mitra aktif dalam proses evaluasi dan pengawasan. Dengan demikian, reformasi sistem pendidikan dokter spesialis tidak hanya lebih efisien dan terbuka, tetapi juga tetap berbasis ilmu dan menjaga integritas profesi.
Selain itu, sistem pembiayaan kesehatan perlu diperkuat. Presiden Prabowo juga menekankan:
"Sistem asuransi kita harus kita perkuat, tidak hanya untuk kalangan atas, tapi juga agar orang yang kurang mampu dari segi ekonomi dapat punya akses."
Pernyataan ini amat relevan agar layanan kelas dunia di KEK Sanur dan kawasan sejenis di masa depan tidak menjadi eksklusif hanya untuk segelintir masyarakat mampu. Sebaliknya, harus dirancang agar inklusif dan menjangkau kelompok rentan.
KEK Kesehatan Sanur adalah langkah besar dan progresif. Namun, agar benar-benar menjadi tonggak transformasi sistem kesehatan nasional, inisiatif ini harus diikuti reformasi menyeluruh di sektor pendidikan spesialisasi, kebijakan pembiayaan, penguatan peran kolegium yang akuntabel namun tetap independen, serta distribusi tenaga medis yang lebih adil. Jika semuanya berjalan beriringan, Indonesia bukan hanya akan berhenti kehilangan devisa, tetapi juga berpeluang menjadi pusat layanan kesehatan unggulan di Asia Pasifik.
Pentingnya perubahan paradigma dalam perlindungan kesehatan kepada masyarakat berpenghasilan rendah atau masyarakat kurang mampu telah menjadi perhatian sungguh-sungguh pemerintah Prabowo. Oleh karena itu pelaksanaan pelayanan publik di sektor kesehatan harus bertumpu pada kesederajatan dan keadilan layanan, sehingga kebijakan yang diambil pemerintah telah menempatkan pengarusutamaan sinergitas kesehatan dari hulu ke hilir tanpa membedakan kelas-kelas layanan.
Trubus Rahardiansah. Pakar kebijakan publik Universitas Trisakti.