Secara garis besar Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur hubungan antara negara dengan warga negara terkait permasalahan penegakan hukum pidana. Negara diwakili oleh penyidik yang sebagian besar adalah Polisi, penuntut umum yang diperankan oleh Jaksa hingga pengadilan yang dijalankan oleh Hakim. Di sisi sebaliknya Warga Negara dalam hal ini adalah mereka yang bermasalah dengan hukum atau dituduh melanggar hukum didampingi oleh advokat
Kenyataannya tentu posisi negara jauh lebih dominan dibanding warga negara. Polisi, Jaksa dan Hakim adalah orang-orang yang sangat paham hukum serta memiliki segudang kekuasaan serta fasilitas untuk melakukan berbagai upaya paksa mulai dari menyita barang, menangkap, menahan serta menjatuhi hukuman. Di sisi lain warga negara kebanyakan awam hukum, lemah secara ekonomi dan tidak memiliki akses kekuasaan.
Kondisi ini sangat rawan menimbulkan situasi yang tidak adil antara lain dihukumnya warga negara yang tidak bersalah, atau pemberian hukuman kepada warga negara yang tidak sesuai dengan gradasi kesalahan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Itulah mengapa sejak zaman penjajahan Belanda pun sudah dibuat aturan hukum acara pidana untuk mengikis ketimpangan posisi antara negara dengan warga negara. Agar negara tidak sewenang-wenang dalam menjalankan proses hukum pidana terhadap warga negara yang dituduh melanggar hukum. Hingga akhirnya tujuan hukum yakni terciptanya keadilan dan kepastian hukum bisa terlaksana.
Namun demikian hingga saat ini KUHAP yang saat ini berlaku masih belum menciptakan keseimbangan antara negara dan warga negara. Masih banyak sekali pasal-pasal yang memungkinkan negara bersikap sewenang-wenang terhadap warga negara yang dituduh melanggar hukum.
Hak-hak tersangka untuk mendapat perlakuan yang adil masih belum diakomodir. Begitu juga peran advokat sebagai pendamping atau pembela warga negara yang dituduh melanggar hukum terasa dikerdilkan.
Hingga saat ini kita masih sering mendapati bagaimana tersangka mendapatkan intimidasi, kekerasan dan bahkan penyiksaan dalam proses peradilan pidana. Tak jarang ada tersangka yang meninggal dunia saat dalam tahanan.
RUU KUHAP baru adalah ikhtiar DPR untuk mengatasi persoalan hukum di atas. Karenanya dalam draf RUU KUHAP baru banyak sekali dimasukkan ketentuan baru yang memperkuat hak tersangka dan peran advokat.
Posisi advokat amat penting dalam menjaga dan melindungi hak-hak warga negara yang bermasalah dengan hukum. Dari banyak kasus kekerasan terhadap tersangka, sebagian besar terjadi saat tersangka tidak didampingi advokat. Memang tidak mungkin tercipta situasi yang benar-benar seimbang antara negara dengan warga negara, tapi setidaknya janganlah terlalu timpang sebagaimana tercermin dalam KUHAP yang berlaku saat ini.
Ketentuan bahwa Advokat akan bisa juga mendampingi saksi dan akan diberikan kesempatan untuk bersikap aktif menyatakan keberatan jika terjadi intimidasi diharapkan akan secara signifikan mengurangi intimidasi dan kekerasan dalam proses peradilan pidana.
Ketentuan harus adanya kamera pengawas juga akan semakin mempersempit peluang terjadinya intimidasi dan kekerasan. Masih banyak lagi pengaturan dalam RUU KUHAP yang mengatur penguatan hak tersangka dan peran advokat.
RUU KUHAP tidak mengatur pemindahan kewenangan antara aparat penegak hukum. Bukannya Komisi III tidak melihat adanya kaitan antara masalah relasi antara institusi penegak hukum dengan terhambatnya keadilan bagi warga negara. Kami hanya tidak ingin masalah utama penegakan hukum pidana kita yakni ketimpangan kedudukan antara negara dengan warga negara terkaburkan dengan munculnya konflik antara sesama institusi negara.
Selain itu wewenang dan tupoksi aparat penegak hukum sudah ada dalam UU yang mengatur institusi masing-masing. Jika memang perlu dilakukan perbaikan mengenai hal tersebut, maka kita akan bahas dalam perubahan UU masing-masing.
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman
Simak juga Video: Puan Sebut RUU Perampasan Aset Dibahas Setelah KUHAP Rampung
(maa/maa)