Pendidikan dalam Genggaman AI?
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Pendidikan dalam Genggaman AI?

Selasa, 24 Jun 2025 09:40 WIB
Rahfit Syahputra
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Shanghai,China-Feb.17th 2024: Google Gemini, OpenAI ChatGPT and Microsoft Copilot app icons on screen. Assorted AI mobile apps
Ilustrasi AI (Foto: Getty Images/Robert Way)
Jakarta -

Di beberapa belahan dunia, Artificial Intellegence (AI) menjadi trend dalam sejumlah sektor sejak beberapa dekade belakangan, termasuk di bidang pendidikan. Di Indonesia, sebagaimana yang dicanangkan oleh Pemerintah, AI dan Coding pada gilirannya diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan namun sebagai mata pelajaran pilihan pada jenjang pendidikan dasar (SD) dan menengah (SMP dan SMA). Informasinya, implementasi akan dimulai pada tahun ajaran baru 2025/2026. Optimisme tersebut kiranya perlu direspon secara positif, namun kita juga perlu berefleksi berdasarkan realitas objektif–ketimpangan sarana dan prasarana sekolah dan terkait tantangan dalam membentuk kejujuran akademik (Academic Honesty) peserta didik di tengah trend penerapan Artificial Intellegence (AI) dalam pendidikan.

AI di Sekolah 3T?

Realitas objektif seperti yang tergambar dalam catatan Kemendikdasmen, menunjukkan bahwa sekolah yang terdapat di wilayah 3T masih berada dalam keadaan rusak, jumlahnya berada dalam kisaran 10 ribu unit. Kerusakan tersebut mencakup sarana dan prasarana yang belum memadai seperti: perpustakaan, ruang kelas, laboratorium, dan fasilitas internet. Saya ingin mengemukakan disini, bahwa seorang guru atau pengajar lainnya, barangkali telah memahami dan melalui bagaimana sulitnya membelajarkan peserta didik apabila fasilitas sekolah belum memenuhi standar atau belum lengkap. Proses interaksi antara peserta didik dan guru, cenderung menemukan beberapa kendala, meliputi: sumber belajar, ruang belajar belum layak, dan sejenisnya.

Pada dasarnya pelajaran AI dan Coding yang akan diterapkan pada tahun ajaran baru nanti memang masih kondisional (tergantung kelengkapan fasilitas sekolah dan SDM lainnya), maka konsekuensi logisnya, sekolah-sekolah di wilayah 3T berkemungkinan belum dapat mengimplementasikan pelajaran tersebut. Lagi-lagi, saat pelajar di lingkungan pendidikan yang terbilang memadai telah membahas tentang AI dan Coding, bagaimana mengoperasikannya secara positif atau barangkali cara menciptakannya? Sementara subjek belajar di wilayah 3T masih menanti perbaikan kualitas fisik (sarana & prasarana) sekolah agar dapat belajar di ruang kelas yang nyaman, dapat membaca buku di ruang perpustakaan, dapat berinteraksi dengan guru pada proses pembelajaran, dapat fasilitas internet, serta dapat menambah pengalaman praktikum di ruang laboratorium, dan sejenisnya. Apakah pelajaran pilihan–AI dan Coding seperti yang disinggung di bagian pengantar tulisan ini, masih menjadi angan-angan di atas langit atau isapan jempol belaka bagi subjek belajar di wilayah 3T?

Perkembangan teknologi memang tak dapat dielakkan. Kita memang harus beradaptasi untuk sebuah kemajuan ilmu pengetahuan dan sumber daya manusia Indonesia. Namun, menimbang apa yang menjadi fokus utama, tentu alangkah lebih baik diprioritaskan perbaikan kualitas fisik sekolah di samping sumber daya manusia lainnya. Semoga sekolah di wilayah 3T yang sedang perbaikan ataupun yang belum direnovasi sama sekali, segera dilakukan langkah konkret sehingga terpenuhi fasilitasnya, dan dapat digunakan sebagai penunjang pembelajaran (learning aids). Kita semua mempunyai keinginan yang sama, harapannya apa yang disebut dengan kesenjangan fasilitas pendidikan antara wilayah perkotaan dengan wilayah 3T tidak ditemukan lagi.

Kejujuran Akademik Pada Era AI

Di bidang pendidikan, AI mendatangkan sejumlah dampak positif, meliputi: memicu kreativitas, inovasi, dan sejenisnya bahkan sampai pada ranah penunjang kegiatan ilmiah. Sementara dampak negative cenderung merambah pada kebiasaan instan, plagiarisme, dan aspek terkait lainnya. Menurut teori konstruktivisme atau filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara seorang guru berperan sebagai fasilitator yang menuntun dan membimbing peserta didik ke arah konstruktif. Dalam pengertian lain, guru berperan dalam memenuhi kebutuhan belajar peserta didik. Dalam satu kesempatan, saya berdiskusi dengan teman di SMA X yang berupaya mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran. Bersamaan dengan itu ia kemudian menyampaikan salah satu keluhan. Awalnya peserta didik diperbolehkan menggunakan HP untuk menelusuri sumber belajar, kemudian mengelaborasinya, hasil elaborasi disimpulkan menurut pemahaman mereka sehingga dapat digunakan sebagai jawaban dari beberapa pertanyaan yang diajukan.

Namun, ia menjelaskan bahwa 75% di antara jumlah keseluruhan siswa di kelas, memperoleh informasi dari tools AI yang diakses melalui gadet masing-masing. Tidak salah memanfaatkan AI, namun hasilnya menunjukkan bahwa mereka hanya menyalin dari apa yang telah diperoleh tersebut. Pada dasarnya, posisi guru yang berupaya mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran dan integrasi AI dalam proses pendidikan sama-sama tidak salah. Dalam aspek ini pengawasan guru yang perlu ditingkatkan. Ketika diskusi dilakukan (assessment for learning), upayakan tidak selalu menggunakan HP, jika memang sangat diperlukan maka minta peserta didik untuk mengakses sumber belajar seperti: ebook, artikel jurnal, artikel media arus utama, dan sejenisnya. Atau pada kondisi tertentu juga dapat merujuk kepada buku cetak.

Mau bagaimanapun, membaca merupakan proses berdialog–proses mencari, kebiasaan instan atau plagiarisme harapannya dapat diminimalisir melalui kegiatan tersebut. Bukankah salah satu tujuan belajar untuk melatih peserta didik bersikap jujur? Pada kesempatan ini saya mengutip apa yang disampaikan oleh Mendikdasmen saat sambutannya dalam Upacara Dies Natalies ke-60 UNNES "...teknologi digital saat ini ternyata tidak membuat manusia semakin cerdas tetapi membuat manusia semakin culas." Tentunya ungkapan tersebut tidak ditujukan untuk seluruh manusia, namun saya menangkapnya sebagai kritik terhadap oknum atau pihak yang dengan sengaja memanfaatkan teknologi untuk kepentingan yang tidak sejalan dengan norma, etika atau lainnya.

Tidak jujur dalam akademik jelas dapat dipandang melanggar norma atau etika. Maka poin yang hendak saya sampaikan disini yaitu, bahwa teknologi, apakah itu AI atau sejenisnya memang mendatangkan efek konkret, baik positif maupun negatif. Jadi, salah satu tantangan guru saat ini yaitu membentuk dan mempertahankan kejujuran akademik peserta didik di tengah trend AI yang semakin meluas. AI memang tak dapat dibendung, maka kita mesti mempersiapkan subjek belajar yang mampu beradaptasi dan berinovasi dengannya. Pelajaran AI dan Coding sebagaimana yang disinggung di atas, harapannya juga dapat menjadi solusi untuk menciptakan peserta didik yang mempunyai kompetensi, meluruskan perspektif peserta didik–bukan sekedar konsumen AI namun dapat menjadikannya sebagai alat untuk berkarya dalam berbagai bidang yang diminati, syukur-syukur dapat menciptakannya. Guru-guru yang memfasilitasi pelajaran tersebut harapannya juga dapat menghasilkan pelajar yang kreatif, kritis, inovatif sehingga peserta didik mampu berkompetisi dalam cakupan lokal, nasional, maupun global.

Rahfit Syahputra, Guru SMAN 1 Rokan IV Koto

Simak juga Video: Kemendikdasmen Mau Latih Guru Belajar Coding dan AI

(imk/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads