Puasa: Eling lan Waspodo

Kolom

Puasa: Eling lan Waspodo

Abi Maulana - detikNews
Selasa, 25 Mar 2025 09:25 WIB
Ilustrasi Buka Puasa
Ilustrasi: Shutterstock
Jakarta -

Makanan apa yang kita santap adalah urusan nasib kita manusia, dan puasa Ramadhan bagi saya juga sedikitnya tentang hal itu dalam konteks efektivitas puasa sebagai laku yang mengantar ke gapura pencerahan batin. Falyanzuril insanu ila ta'amih. Ini tentang makan, maka hendaklah manusia memperhatikan makannya, demikian Firman Tuhan dalam Quran 80:24.

Umumnya, kita baru menyidik riwayat makan kita setelah deretan resep obat diukir dokter untuk kita, seraya manut atas nasihatnya untuk berjarak dengan makanan ini makanan itu, minuman itu dan minuman ini. Screening super ketat baru dimulai.

Dari sana kematian mungkin tertunda, tapi sayangnya liang kuburnya sudah menganga. Perutmu kuburmu, dan makanan adalah cara matimu--penyakit yang dipicu akibat jenis makanan yang dikonsumsi tetap merongrong, menggerogoti badan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengejar Ingatan

Perilaku makan kita bias. Dia melenceng jauh dari maksud alamiahnya. Badan kita memerlukan asupan untuk menyokong pertumbuhannya, tapi sayangnya kita bukan memasukkan yang dibutuhkan badan. Yang kita masukkan ke badan adalah ingatan. Ingatan akan makanan.

ADVERTISEMENT

Kita mengejar ingatan akan asam, asin, dan manis. Kita berburu ingatan akan pedas dan gurih, lembut, kenyal, dan renyah. Kita mengidolakan tuntunan fatwa dari hasrat dan arahan lidah. Kita bermakmum pada kesenangan ilusi rasa-rasa fisik, tanpa peduli lagi kebutuhan asasi badan.

Ingatan rasa-rasa lidah bukan saja telah melahirkan raksasa industri makanan tapi sekaligus menciptakan pribadi-pribadi yang rakus, serakah, paranoid, dan gila terhadap makanan. Bagi orang gila tak soal itu racun mematikan atau sesuatu yang menyokong kelangsungan badan.

Dalam tradisi puasa, jarak waktu 13 jam kegiatan makan dan minum kita mungkin juga dimaksudkan bukan saja memberi ruang bagi tubuh untuk menata tertib isi perut, tapi juga mengkondisikan kita masuk ke ruang kontemplasi untuk secara mendalam mengamati perilaku kita (antara lain) soal makan dan minum.

Kita jarang eling ketika makan dan minum. Kita absen selagi tangan sibuk meraih dan mulut lincah mengunyah makanan.

Ingatan pada sensasi dan rasa-rasa fisik dari suatu pengalaman makan dan minum tertentu telah mengobsesi dan jadi tuntutan tiap kali kita makan. Sehingga peristiwa makan tidaklah pernah sebagai peristiwa kini, selalu merupakan repetisi pengalaman, kelampauan demi kelampauan.

Dapat Ditinggalkan

Tuntunan untuk berjarak waktu dengan urusan makan-minum dalam ibadah puasa kita menjelaskan bahwa tuntutan hasrat, ingatan kenikmatan rasa-rasa lidah bukanlah sebuah kebenaran. Ia dapat ditinggal bahkan ditanggalkan sama sekali.

Dalam puasa, sensasi rasa-rasa ditunda dicerap lidah. Sehingga paling tidak untuk beberapa waktu, ingatan psikologis kita tidak ditambah lagi bebannya. Ibarat bara dalam tungku, ingatan sensasi rasa-rasa itu meredup, mungkin padam. Kecuali kita mengobarkannya lagi.

Mengingat jenis makanan dan minuman tentu saja lumrah, tetapi ingatan dalam ranah batin yang meletakkan rasa-rasa fisik menjadi begitu penting telah melahirkan perilaku keranjingan, rakus, dan joroknya urusan makan kita.

Sejurus itu, diharapkan tumbuh ke-eling-an yang membawa perubahan pada perilaku makan dan minum kita di lapisan batin atau psikologis. Sehingga hubungan kita pada makanan dan minuman juga kembali seimbang, alami: menyukai tapi tidak melekati; tidak menyukai tapi tidak membenci; sekadar memenuhi tapi bukan rakus, nyandu, apalagi serakah menguasai.

Tidak Terjebak Ketagihan

Dalam pandangan Buddhisme, makanan disebut shangkara loka atau duniaβ€Šβ€”β€Šsegala yang terkondisi.

Segala yang terkondisi hakikatnya adalah penderitaan. Tidak ada kebebasan dalam yang terkondisi, itulah penderitaan. Karena itu sikap eling lan waspodo dijaga betul selagi makan, sehingga setiap rasa yang dicerap indra tidak meninggalkan jejak rasa suka apalagi sampai terjebak ketagihan.

Mencerap hanya mencerap, dan jika hanya itu, maka kamu tidak ada. Itulah akhir penderitaan, demikian penggalan dari Bhaiya Sutta, salah satu kitab dalam Buddhisme.

Empat puluh tahun silam, sewaktu di sekolah dasar, saya terkesiap dengan aforisma seorang Ahmad Wahib yang terkompilasi dalam buku Pergolakan Pemikiran Islam: makan adalah pekerjaan yang harus segera dikerjakan agar cepat terlupakan.

Redaksinya mungkin tidak persis, tapi aforisme itu saya maknai bahwa makan dan minum semestinya tidak saja berakhir habis disantap, tapi berakhir dan habis pula di lapisan batin. Tak berbekas. Tak ada yang perlu lagi diingat-ingat. Buddhis betul (alm) Ahmad Wahib ini.

Jadi, entah berupa yang digoreng atau dikukus, atau juga yang direbus, atau berbagai buah-buahan dan minuman yang tersaji untuk disantap, itu hanya pemenuhan alami kebutuhan badan. Bukan untuk mempercantik badan, apalagi untuk peningkatan status sosial, juga bukan untuk kesenangan lidah, bukan pula untuk tuntutan hasrat sensasi rasa-rasa. Makan ya cuma makan.

Makan berkesadaran adalah hak bagi badan kita. Karena hanya dalam yang demikian kita akan menjadi sangat terjaga untuk menyantap bahan asupan yang selaras bagi semesta badan kita sebagai manusia. Dan, puasa menggedor kesadaran kita yang mungkin lelap selagi terjaga.

Mungkin di situlah baru ada keberkatan dalam rizki, bahkan pengakhiran dari penderitaan, sebagaimana yang selalu kita munajatkan tiap jelang kita bersantap.

Abi Maulana kolumnis

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads