Revisi UU TNI dan Alarm Supremasi Sipil

Kolom

Revisi UU TNI dan Alarm Supremasi Sipil

Deden Abdul Kohar Yusuf Gautama - detikNews
Jumat, 21 Mar 2025 16:40 WIB
deden
Deden Abdul Kohar Yusuf Gautama (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menjadi Undang-Undang pada Kamis 20 Maret 2025 dalam Rapat Paripurna DPR ke-15 masa persidangan II tahun sidang 2024-2025.

Meskipun sudah disampaikan oleh Ketua DPR bahwa revisi UU TNI sesuai prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, hukum nasional dan hukum internasional, namun pengesahan RUU TNI menjadi Undang-Undang menimbulkan reaksi publik utamanya menanyakan tentang supremasi sipil dan pengalaman luka masa lalu Indonesia pada rezim militer Orde Baru.

Poin yang harus dikritisi dalam revisi UU TNI di antaranya adalah abusive law making, autocratic legalism, dan reduksi supremasi sipil.

Abusive Law Making

Proses revisi UU TNI tidak mengindahkan partisipasi publik dan masyarakat sipil. Penyusunan dan pembahasan oleh Komisi I DPR dilakukan secara tertutup dan terburu-buru di hotel mewah di tengah isu efisiensi anggaran yang digaungkan oleh Presiden Prabowo. Praktik abusive law making seperti ini akan berakibat pada reaksi gejolak publik dan munculnya gerakan sosial. Dalam proses penyusunan RUU TNI terjadi penggerebekan oleh aliansi masyarakat sipil yang menunjukkan nihilnya meaningful participation.

Proses pembentukan RUU TNI hingga disahkan menjadi UU terlebih dilakukan pada masa sulit dan krisis dengan partisipasi masyarakat sipil yang rendah sudah menunjukkan inkonsistensi terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Putusan tersebut menyatakan bahwa pembentukan UU harus dilaksanakan dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation).

Tanpa partisipasi bermakna, maka pembentukan undang-undang dapat dikatakan melanggar prinsip kedaulatan rakyat (people sovereignty), dan jelas menegasikan prinsip negara hukum, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945).

Apabila memahami kutipan dari Seidman dan Teyler, partisipasi masyarakat publik merupakan kepentingan politik pembentuk hukum. Hanya dengan melakukan pembentukan secara terbuka dan pemenuhan partisipasi publik sajalah maka legitimasi didapatkan oleh pembentuk regulasi (Seidman, 1978; Tyler, 1990).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Revisi UU TNI juga sangat kental dengan tujuan pelanggengan kekuasaan dan tidak mengindahkan prinsip democratic law making, justru malah melakukan abusive law making yang berpotensi menyengsarakan rakyat. RUU TNI yang sudah disahkan menjadi Undang-Undang memiliki kesan pada penataan birokrasi yang mengedepankan kepemimpinan militer seperti yang dilakukan pada zaman Orde Baru.

Di samping itu pengesahan RUU TNI ini juga absen akan makna dan kebutuhan sekaligus memarginalisasikan konstitusi UUD Tahun 1945 yang mengatur bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.

Autocratic Legalism

Penggunaan hukum oleh penguasa untuk kepentingan kekuasaan mereka dengan mengorbankan prinsip demokrasi tergambar pada revisi UU TNI. Praktik semacam ini merupakan bentuk autocratic legalism. Penyusunan RUU TNI dan pengesahannya yang dilakukan secara kilat dan ugal-ugalan serta nir-partisipasi merupakan tindakan autocratic legalism yang secara nyata melanggar nilai-nilai demokrasi dan kedaulatan rakyat sebagaimana dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945.

Proses legislasi yang buruk pada penyusunan RUU TNI hingga disahkan menjadi Undang-Undang mengesankan adanya praktik "berbagi kue kekuasaan" sebagai tanda terima kasih. Pengesahan RUU TNI dilakukan secara terburu-buru padahal bukan pada situasi perang dan justru hanya mengedepankan penempatan militer di jabatan sipil.

ADVERTISEMENT

Perlu dicurigai apabila pengesahan RUU TNI menjadi undang-undang hanya mengedepankan penempatan militer dan penambahan usia masa pensiun juga merupakan bentuk political clientelism bahwa militer telah mendapatkan janji politik dalam proses politik pemilu, sehingga ketika si calon sudah menjabat maka militer akan diberikan hadiah yang berupa revisi UU TNI.

Menurut Handbook of Party Politics, klientelisme adalah istilah yang menggambarkan distribusi manfaat secara selektif kepada individu-individu atau kelompok tertentu sebagai imbalan atas dukungan politik (William dan Richard,2018). Permasalahan itu tergambar pada terlalu kilat dan buru-burunya proses legislasi dalam menyusun dan mengesahkan UU TNI tersebut yang menjadikan pertanyaan publik, "Ada apa di balik pengesahan UU TNI ini?"

Salah satu indikator adanya praktik autocratic legalism yang kuat dalam proses legislasi UU TNI ialah melemahnya DPR. PDIP yang bukan merupakan partai pengusung pemerintahan Prabowo-Gibran justru malah ikut serta mendukung sekaligus ketua panjanya dari PDIP.

Pengesahan UU TNI tersebut juga merupakan bentuk refleksi nihilnya kekuatan oposisi, tidak menguatnya daya kritis parlemen, serta melumpuhkan gagasan tentang keseimbangan kekuasaan yang sangat diperlukan dalam Negara Hukum Indonesia yang demokratis.

Reduksi Supremasi Sipil

Tanpa adanya partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) dan evaluasi yang menyeluruh mengenai UU TNI berisiko mengembalikan pada praktik yang bertentangan dengan asas pemerintahan yang demokratis. Pada tahapan proses penyusunan RUU TNI, koalisi masyarakat sipil menggeruduk ruang rapat Panja RUU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta. Penggerudukan tersebut merupakan keresahan masyarakat sipil atas nihilnya partisipasi publik yang bermakna saat menggodok RUU TNI.

Partisipasi publik juga merupakan salah satu aspek yang diulas dalam asas keterbukaan, sebagaimana disebutkan pada Pasal 5 huruf g Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan "asas keterbukaan" adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.

"Asas keterbukaan" ini tidak hanya menjamin hak konstitusional warga negara untuk berpartisipasi, tetapi juga memperkuat legitimasi dan akuntabilitas pemerintah, sehingga mendorong terciptanya sistem hukum yang lebih demokratis. Dengan demikian, seluruh elemen masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Dalam praktiknya, ketika proses legislasi UU TNI masyarakat sipil diabaikan dan sangat abusive jelas kejahatan legislasi yang bertentangan dengan hukum, dan rakyat bisa menilai sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad).

Deden Abdul Kohar Yusuf Gautama analis politik

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads