Berharap pada Sosok Milenial di DPR

Kolom

Berharap pada Sosok Milenial di DPR

Tian Rahmat - detikNews
Rabu, 16 Okt 2024 14:18 WIB
Sosok Baru Milenial di DPR: Mewakili Rakyat atau Elite?
Tian Rahmat, S.Fil (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Sosok milenial di DPR menjadi fenomena menarik dalam politik Indonesia saat ini. Di satu sisi, mereka membawa harapan baru bagi perubahan, terutama dalam hal transparansi dan isu-isu yang relevan dengan generasi muda. Namun, di sisi lain, keterlibatan mereka dalam politik elite dan dinasti politik menimbulkan pertanyaan besar: apakah mereka benar-benar mewakili suara rakyat atau justru menjadi bagian dari kekuatan elite politik?

Generasi milenial dikenal dengan karakteristik yang berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka lebih akrab dengan teknologi, tumbuh pada era globalisasi, dan memiliki akses informasi yang lebih luas melalui internet dan media sosial. Secara demografis, milenial merupakan kelompok pemilih terbesar dalam Pemilu 2024. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 53,81% dari total penduduk Indonesia pada 2023 adalah generasi milenial dan Gen Z, yang sebagian besar ikut memberikan suara mereka pada pemilu.

Fenomena ini turut mempengaruhi pergeseran lanskap politik Indonesia. Partai politik semakin gencar menarik calon-calon muda untuk terlibat dalam pencalonan legislatif. Tujuannya tentu untuk menarik simpati dan suara dari kalangan muda yang cenderung mengidentifikasi diri dengan para politisi yang lebih dekat dengan usia mereka.

Kelompok Kecil

Dalam pandangan klasik C. Wright Mills dalam bukunya The Power Elite (1956), elite politik merujuk pada kelompok kecil yang memegang kendali atas keputusan penting dalam pemerintahan dan ekonomi. Mereka memiliki kekuasaan yang luar biasa dalam menentukan arah kebijakan publik.

Di Indonesia, fenomena politik elite sering dikaitkan dengan kelompok-kelompok tertentu yang memiliki kekuatan ekonomi, sosial, dan politik yang besar. Mereka biasanya menduduki posisi strategis dalam partai politik dan pemerintahan, dan sering kali mampu mempengaruhi keputusan-keputusan politik yang besar. Lalu, di mana posisi politisi milenial dalam hal ini?

Seiring semakin banyaknya generasi muda yang masuk ke parlemen, ada harapan bahwa mereka akan membawa semangat baru, inovasi, serta fokus pada isu-isu yang relevan dengan kaum muda seperti lapangan pekerjaan, pendidikan, lingkungan, dan kesehatan mental. Namun, kenyataannya, tidak sedikit dari politisi muda ini yang berasal dari keluarga politik atau memiliki hubungan dekat dengan elite politik. Mereka, meskipun secara usia masuk dalam kategori milenial, sering sudah terpapar dengan budaya dan sistem politik yang lama, yang penuh dengan kompromi dan permainan kekuasaan.
Membangun Citra

Dalam bukunya Political Dynasties in Indonesia (2020), Jamie S. Davidson menyoroti bagaimana dinasti politik menjadi fenomena yang semakin kuat di Indonesia. Salah satu yang menarik perhatian adalah masuknya generasi muda dari keluarga-keluarga politik besar ke dalam parlemen. Ini bukanlah fenomena baru. Namun, yang berbeda adalah bagaimana generasi milenial dari dinasti politik ini memanfaatkan teknologi dan media sosial untuk membangun citra sebagai politisi yang modern, pro-rakyat, dan terhubung dengan isu-isu anak muda.

Contoh yang paling nyata adalah beberapa anggota DPR yang berasal dari keluarga besar politik, yang meskipun usianya masih muda, mereka telah memiliki akses ke sumber daya dan jaringan yang kuat. Dengan begitu, meskipun secara tampilan mereka tampak merepresentasikan generasi muda, mereka tetap berada dalam cengkeraman politik elite. Ini memunculkan dilema, apakah mereka benar-benar membawa perubahan atau justru menjadi perpanjangan tangan dari kekuatan politik lama?

Ahli politik Indonesia, Dr. Burhanuddin Muhtadi, menyatakan bahwa "politisi muda yang berasal dari dinasti politik sering kali lebih fokus pada kepentingan keluarga atau kelompoknya dibandingkan kepentingan rakyat luas." (Kompas, 2022). Hal ini menimbulkan skeptisisme di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda, yang berharap bahwa keterlibatan milenial dalam politik akan membawa angin segar dalam pemerintahan.

Satu hal yang membedakan politisi milenial dengan generasi sebelumnya adalah penggunaan media sosial. Platform seperti Instagram, TikTok, dan X (dulu Twitter) telah menjadi alat utama bagi politisi muda untuk menjangkau konstituen mereka. Hal ini diamini oleh penelitian yang dilakukan oleh Institute for Media and Political Communication (IMPC) pada 2023, yang menemukan bahwa 76% politisi muda di Indonesia lebih mengandalkan media sosial untuk berkomunikasi dengan publik dibandingkan menggunakan media konvensional seperti televisi atau surat kabar (IMPC, 2023).

Namun, di balik penggunaan media sosial ini, hemat saya ada kekhawatiran bahwa politisi muda lebih fokus pada pencitraan daripada substansi kebijakan. Banyak dari mereka yang menggunakan media sosial untuk membangun popularitas pribadi, tetapi tidak diikuti dengan tindakan nyata di parlemen. Kritik ini semakin kuat ketika melihat rendahnya tingkat kehadiran beberapa politisi muda dalam sidang-sidang DPR, seperti yang dilaporkan oleh Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) pada 2023. Laporan ini menyebutkan bahwa meskipun mereka aktif di media sosial, beberapa politisi muda justru sering absen dalam rapat-rapat penting yang membahas isu-isu strategis (Formappi, 2023).

Benar-Benar Bekerja

Meski demikian, tidak semua politisi milenial dapat disamaratakan. Ada juga politisi muda yang datang dari kalangan biasa, berjuang keras untuk meniti karier politik, dan benar-benar membawa aspirasi rakyat ke parlemen. Mereka menggunakan media sosial tidak hanya sebagai alat pencitraan, tetapi juga sebagai platform untuk transparansi, berdialog langsung dengan konstituen, dan melaporkan kerja mereka di DPR.

Politisi seperti Tsamara Amany, misalnya, menjadi contoh bagaimana seorang politisi muda bisa memanfaatkan media sosial untuk mendorong transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislatif. Tsamara, yang aktif mengkritisi kebijakan pemerintah, juga terlibat dalam advokasi hak-hak perempuan dan transparansi dalam politik (Amany, 2021).

Tantangan terbesar bagi politisi milenial ke depan adalah bagaimana mereka bisa tetap konsisten dalam memperjuangkan aspirasi rakyat tanpa terseret dalam kepentingan politik elite. Mereka harus mampu menavigasi kompleksitas politik Indonesia yang sering dipenuhi dengan negosiasi kekuasaan. Selain itu, mereka juga harus dapat menghindari jebakan populisme yang hanya berfokus pada pencitraan tanpa substansi kebijakan yang jelas.
Penting bagi masyarakat untuk terus kritis terhadap kinerja politisi muda, memastikan bahwa mereka tidak hanya fokus pada pencitraan, tetapi juga benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat luas. Tantangan bagi generasi milenial di DPR adalah bagaimana mereka bisa menjadi agen perubahan nyata, bukan sekadar wajah baru dari sistem politik yang lama.

Tian Rahmat, S.Fil alumnus IFTK Ledalero/Seminari Tinggi Ritapiret, Flores

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads