Indonesia sedang menghadapi situasi ekonomi yang cukup menarik animo masyarakat. Selama lima bulan berturut-turut sejak Mei 2024, negara kita mengalami deflasi. Deflasi terdalam terjadi pada September 2024, mencapai 0,12% dibandingkan bulan sebelumnya. Kendati terdengar positif karena harga-harga turun, gejala ini justru bisa menjadi indikator adanya masalah yang genting dalam perekonomian.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi berturut-turut terjadi sejak Mei hingga September 2024. Penyebab utama deflasi ini adalah penurunan harga pangan, terutama komoditas seperti cabai merah, cabai rawit, telur ayam ras, dan tomat. Penurunan harga ini sepintas tampak menguntungkan konsumen, tetapi bisa jadi merupakan sinyal pelemahan daya beli masyarakat. Deflasi September 2024 sebesar 0,12% menjadi yang terdalam dalam lima tahun terakhir untuk bulan yang sama. Hal ini menimbulkan tanda tanya: apakah penurunan harga ini murni karena melimpahnya pasokan, atau ada faktor lain yang perlu diwaspadai?
Meski pemerintah dan BPS menyatakan deflasi terjadi karena peningkatan pasokan, beberapa indikator lain menunjukkan adanya potensi pelemahan ekonomi. Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur Indonesia turun ke level 48,9 pada Agustus 2024, mengisyaratkan kontraksi di sektor manufaktur. S&P Global melaporkan penurunan tajam permintaan baru dan output selama tiga tahun terakhir, yang mengakibatkan perusahaan mengurangi karyawan. Deflasi berturut-turut selama lima bulan bisa mengindikasikan penurunan permintaan agregat, yang merepresentasikan pelemahan daya beli masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika deflasi ini memang disebabkan oleh pelemahan daya beli, dampaknya bisa cukup sulit. Kita mungkin akan melihat penurunan pendapatan masyarakat, terutama di sektor informal dan UMKM. Ada juga potensi peningkatan pengangguran jika perusahaan terus mengurangi karyawan. Yang lebih mengkhawatirkan, jika tren ini berlanjut, kita bisa menghadapi perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Indikasi Penurunan Daya Beli
Fenomena deflasi yang tengah dialami Indonesia bukan hanya sekadar nilai statistik. Di balik penurunan harga yang terjadi selama lima bulan berturut-turut, terpendam indikasi yang lebih meresahkan: pelemahan daya beli masyarakat. Deflasi yang berkelanjutan ini bisa menjadi gambaran dari kondisi ekonomi yang sedang "tidak baik-baik saja".
Salah satu tanda yang paling kentara terlihat adalah penurunan penjualan barang-barang non-primer. Sejak 2023, sektor-sektor seperti pakaian, alas kaki, dan peralatan komunikasi mengalami penurunan penjualan. Hal ini memperlihatkan bahwa masyarakat mulai menahan diri untuk membeli barang-barang yang tidak terlalu penting, fokus pada kebutuhan pokok saja. Fenomena ini biasanya terjadi ketika masyarakat merasa kurang aman secara finansial atau mengantisipasi kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan di masa depan.
Para ekonom telah menyampaikan kekhawatiran terkait fenomena ini. Pendapat para ekonom bahwa situasi ini bukan pertanda baik bagi perekonomian Indonesia. Deflasi yang berkelanjutan, ditambah dengan penurunan konsumsi barang non-primer, bisa mengindikasikan masalah yang lebih dalam pada struktur ekonomi kita. Jika tidak ditangani dengan tepat, situasi ini berpotensi mengarah pada stagnasi ekonomi atau bahkan resesi.
Dampak Deflasi terhadap Perekonomian
Deflasi yang tengah dialami Indonesia tak hanya fenomena penurunan harga semata. Dampaknya bisa jauh lebih luas dan dalam terhadap perekonomian negara. Kita perlu membaca dengan seksama bagaimana deflasi ini bisa mempengaruhi berbagai aspek ekonomi, dari produktivitas usaha hingga tingkat pengangguran.
Salah satu dampak dari deflasi adalah risiko penurunan produktivitas dunia usaha. Ketika harga-harga turun secara konsisten, perusahaan cenderung mengurangi produksinya. Hal ini bukan tanpa bukti; penurunan harga berarti margin keuntungan yang lebih kecil, sehingga perusahaan harus mengoptimalkan biaya produksi. Akibatnya, produktivitas bisa menurun, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Berbicara tentang pertumbuhan ekonomi, deflasi yang berkelanjutan ini berpotensi mendorong penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga di bawah 5% tahun ini. Angka ini tentu jauh dari target pemerintah dan bisa menjadi sinyal peringatan bagi stabilitas ekonomi jangka panjang. Perlambatan pertumbuhan ini bisa berdampak luas, mulai dari penurunan pendapatan negara hingga terhambatnya program-program pembangunan.
Deflasi juga menciptakan iklim ketidakpastian yang membuat investor cenderung bersikap wait and see. Para investor menjadi ragu untuk melakukan ekspansi usaha atau investasi baru. Sikap ini bisa memperlambat laju pertumbuhan ekonomi lebih lanjut, sebab investasi merupakan salah satu motor penggerak utama perekonomian. Tanpa adanya injeksi modal baru, sulit bagi ekonomi untuk berkembang.
Yang paling mengkhawatirkan, deflasi bisa meningkatkan risiko pengangguran. Ketika perusahaan mengurangi produksi sebagai respons terhadap penurunan harga dan permintaan, perusahaan mungkin terpaksa melakukan efisiensi tenaga kerja. Hal ini berarti ada potensi peningkatan jumlah pengangguran, yang bisa memiliki dampak sosial yang masif. Pengangguran tak hanya masalah ekonomi, tapi juga bisa memicu masalah sosial lainnya.
Polemik Interpretasi Data
Fenomena deflasi yang tengah dialami Indonesia telah memicu polemik di kalangan pemangku kebijakan dan para ahli ekonomi. Perbedaan interpretasi data ini bukan semata-mata perdebatan akademis, melainkan punya implikasi terhadap arah kebijakan ekonomi yang akan diambil pemerintah.
Di satu pihak, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dengan tegas menyatakan bahwa tren deflasi yang terjadi bukan disebabkan oleh pelemahan daya beli masyarakat. Pemerintah berargumen bahwa deflasi ini lebih disebabkan oleh faktor-faktor lain seperti penurunan harga komoditas pangan dan stabilisasi harga energi. Pandangan ini tentu membawa implikasi bahwa tidak diperlukan langkah-langkah drastis untuk menstimulus ekonomi.
Senada dengan pemerintah, BPS juga berhati-hati dalam menginterpretasikan data deflasi ini. BPS menyatakan bahwa diperlukan studi lebih lanjut untuk bisa mengaitkan fenomena deflasi dengan penurunan daya beli masyarakat. BPS menekankan pentingnya analisis komprehensif terhadap berbagai indikator ekonomi sebelum menarik kesimpulan tentang kondisi daya beli masyarakat.
Namun, di sisi lain, beberapa ekonom terkemuka memiliki pandangan yang berbeda. Para ekonom berpendapat bahwa deflasi yang terjadi saat ini mengindikasikan adanya pelemahan ekonomi secara struktural. Argumen tersebut didasarkan pada analisis bahwa deflasi yang berkelanjutan, ditambah dengan penurunan penjualan barang-barang non-primer, menunjukkan adanya masalah mendasar dalam perekonomian Indonesia.
Perbedaan interpretasi ini bukan hal yang sepele. Jika pandangan pemerintah dan BPS yang diterima, maka kebijakan ekonomi mungkin akan lebih fokus pada stabilisasi harga dan peningkatan pasokan. Kendati, jika pendapat para ekonom yang diikuti, maka diperlukan kebijakan yang lebih agresif untuk menstimulus ekonomi dan meningkatkan daya beli masyarakat.
Polemik ini juga menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan akurasi data ekonomi yang digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan. Masyarakat berhak mendapatkan informasi yang jelas dan akurat tentang kondisi perekonomian negara.
Bagi kita sebagai masyarakat, perbedaan interpretasi ini menjadi pengingat akan pentingnya sikap kritis terhadap informasi ekonomi yang kita terima. Kita perlu memahami bahwa data ekonomi bisa diinterpretasikan secara berbeda, dan setiap interpretasi membawa implikasi kebijakan yang berbeda pula.
Upaya Mengatasi Dampak Deflasi
Fenomena deflasi yang tengah dialami Indonesia memprioritaskan respons cepat dan tepat dari pemerintah. Penurunan harga memang terdengar menguntungkan bagi konsumen, namun dampak jangka panjangnya bisa sangat merugikan perekonomian secara keseluruhan. Berikut adalah beberapa jalan strategis yang diambil pemerintah untuk mengatasi dampak deflasi:
Pertama, Bank Indonesia (BI) mengambil langkah berani dengan menurunkan suku bunga acuan. Pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) September 2024, BI memutuskan untuk menurunkan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 6,00%. Langkah ini diharapkan dapat mendorong peningkatan pinjaman dan investasi, yang pada gilirannya akan merangsang pertumbuhan ekonomi.
Kedua, pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan belanja publik, terutama di sektor infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Anggaran kesehatan untuk 2024 ditetapkan sebesar Rp 186,4 triliun atau 5,6% dari APBN, meningkat 8,1% dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan belanja publik ini diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan daya beli masyarakat.
Ketiga, pemerintah memperkuat program bantuan sosial untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Beberapa program bantuan sosial yang akan disalurkan pada September 2024 antara lain Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan bantuan beras 10 kilogram. Program-program ini tujuannya untuk menjaga daya beli masyarakat prasejahtera di tengah tekanan deflasi.
Terakhir, pemerintah berupaya menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk menarik lebih banyak investasi, baik dari dalam maupun luar negeri. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menekankan pentingnya harmonisasi kebijakan untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi investasi (ekon.go.id, 12/7).
Strategi ini menandakan keseriusan pemerintah dalam mengatasi dampak deflasi. Meskipun, keberhasilannya akan sangat bergantung pada implementasi yang konsisten dan koordinasi yang baik antar lembaga pemerintah. Masyarakat juga diharapkan dapat berperan aktif dengan tetap menjaga produktivitas dan konsumsi yang bertanggung jawab. Lewat usaha bersama, semoga Indonesia dapat segera keluar dari tekanan deflasi dan kembali ke jalur pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan.
Heru Wahyudi dosen Program Studi Administrasi Negara Universitas Pamulang