Cawe-Cawe, Finishing Well, dan Kotak Kosong

Kolom

Cawe-Cawe, Finishing Well, dan Kotak Kosong

Xavier Quentin Pranata - detikNews
Jumat, 04 Okt 2024 14:50 WIB
Presiden Jokowi meresmikan pembangunan dan perbaikan 27 ruas jalan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Kamis (1/10). Total panjang yang dibangun 217 kilometer.
Presiden Jokowi (Foto: Muchlis Jr/Biro Pers Sekretariat Presiden)
Jakarta -

Bagaimana perasaan Anda jika dipaksa memilih di antara pilihan yang tidak ada satu pun yang Anda sukai? Pasti terjadi gejolak batin kan?

Untuk menjawab pertanyaan itu, saya akan melakukan ziarah batin sekaligus napak tilas perjalanan saya bersama sopir taksi online. Saya senang memakai jasanya terutama pada malam hari, akhir pekan, dan saat jalanan macet. Mengapa? Waktu yang saya pakai untuk menyetir bisa saya gunakan untuk pekerjaan lain yang lebih produktif. Misalnya, dengan menjawab pertanyaan ini:

Apa yang hendak saya ajarkan kepada mahasiswa saya?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apa yang hendak saya tulis untuk media massa?

Proyek buku apa yang akan saya kerjakan?

ADVERTISEMENT

Ketiga pertanyaan itu bisa saya lakukan sambil 'duduk manis' di kursi belakang sambil berselancar di dunia maya dengan gadget di tangan. Bisa juga dengan mengobrol gayeng dengan online driver saya. Seperti yang belum lama ini saya lakukan. Sopir taksi online yang saya tumpangi --bukan saya tebengi-- sungguh cerdas. Karena tahu kapasitasnya, saya mencoba bertanya kepadanya tentang sikon di Tanah Air.

"Saya sungguh muak. Mereka kira semua rakyat bodoh banget sehingga bisa dibohongi terus-menerus," ujarnya. Saya memilih diam mendengarkan keluhan sopir ini, yang ditujukan kepada politisi. Bukankah suara dari akar rumput seperti ini perlu kita dengarkan? Vox populi vox dei. Belakangan saya tahu bahwa sopir ini adalah sarjana hukum lulusan kampus ternama.

Dari pembicaraan cerdas itu, saya mencoba mendengarkan dengan hormat, mencerna dengan cerdas, dan merangkumnya dengan padat ke dalam tiga poin penting.

Adakah cawe-cawe yang positif?

Benarkah cawe-cawe itu buruk? Tidak selalu. Contohnya bisa diberikan langsung dari orang yang mempopulerkannya, yaitu Presiden Jokowi. Saat berkunjung ke istana negara, Putri Ariane tidak minta sepeda kepada Presiden Jokowi, melainkan dukungan. "Nanti, kan vote-nya? Nanti saya akan ikut vote, saya cawe-cawe."

Atas permintaan peserta America's Got Talent 2023 itu, presiden kita memilih untuk cawe-cawe dalam pengertian yang positif. Mari me-refresh ingatan kita kepada apa yang Presiden Jokowi ucapkan saat menjamu sejumlah pemimpin redaksi media massa di Istana Kepresidenan Jakarta, lebih dari setahun yang lalu: "Cawe-cawe untuk negara, untuk kepentingan nasional. Saya memilih cawe-cawe dalam arti yang positif, masa tidak boleh? Masa tidak boleh berpolitik? Tidak ada konstitusi yang dilanggar. Untuk negara ini, saya bisa cawe-cawe.

Pertanyaan kritisnya, bagaimana jika cawe-cawe itu dipakai untuk nepotisme? Saya mendapatkan jawabannya dari seorang blogger cerdas: One of the main arguments in favor of nepotism is that it can foster a sense of trust and loyalty among employees. When a family member is hired or promoted, it can create a sense of accountability and commitment to the company. This can lead to a more productive and efficient workplace. (ninjagig.com).

Tesisnya, jika anggota keluarga yang diangkat, dampak positifnya bisa menumbuhkan rasa percaya dan kesetiaan di antara karyawan lainnya. Perusahaan jadi makin mangkus dan sangkil sehingga pada gilirannya produktivitas meningkat. Sebagai dosen personality development saya setuju dengan dua syarat: anggota keluarga itu harus capable dan the right man on the right place. Jika tidak, orang itu justru akan jadi duri dalam daging di dalam perusahaan atau pemerintahan, bahkan jadi slilit --makan pun tak enak-- dan klilip karena ke mana-mana melihat dampak buruknya.

Rakyat, khususnya warganet, yang kecewa bisa sangat brutal. Orang yang dianggap diberi karpet merah untuk duduk di kursi bagus namun dianggap tidak becus, bisa digoreng sampai hangus.

Finishing well, so so, bad, or worse?

Saat kuliah pascasarjana dulu, seorang dosen saya membagi hasil masa purna tugas seseorang menjadi empat: Finishing Well, Finishing So So, Finishing Bad, Finishing Worse. Jika empat kriteria itu diterapkan kepada presiden kita, Jokowi kira-kira di nomor berapa? Saat mengamati ombak yang terjadi di masyarakat, paling tidak ada tiga kelompok masyarakat.

Pertama, pengagum Jokowi. Sejak dulu sampai sekarang tetap konsisten mendukung presiden dua periode ini. Alasannya sangat konkret dan bisa dilihat dengan mata telanjang, yaitu pembangunan infrastruktur yang masif, khususnya di Indonesia Timur. Bandara, tol darat dan tol laut sering dikutip dan di-sounding oleh kelompok pro-Jokowi.

Kedua, orang yang anti-Jokowi. Kelompok ini bisa jadi yang soft alias ya tidak suka aja sampai die hard. Artinya apa pun yang Jokowi lakukan dianggap salah. Sampai ada guyonan, jangan-jangan pertengkaran suami-istri pun Jokowi yang salah. Di dalam keluarga saya --meskipun kami saling mempengaruhi-- namun saat masuk ke Bilik Suara, pilihan kami bisa jadi berbeda.

Ketiga, orang yang berubah. Bisa saja dari pro ke kontra atau dari kontra ke pro. Perubahan ini terjadi karena perubahan Jokowi dan kebijaksanaannya, atau cawe-cawenya, atau perubahan cara pandang mereka terhadap Jokowi. Persepsi seseorang terhadap orang lain dipengaruhi banyak faktor.

Di Amerika, saat ini swing voters sangat diperhitungkan. Meskipun tinggal di Indonesia, setiap hari saya mendapat email dari salah satu cawepres AS. Tujuannya jelas, minta saya berdonasi (padahal bukan orang yang tepat secara ekonomi untuk berpartisipasi) atau memilihnya (padahal saya tidak berhak memilih). "Setiap orang tidak berangkat dari kotak kosong," ujar seorang sahabat yang sering saya ajak siaran live bersama di sebuah radio.

Kalau saya tanyakan kepada Anda, Anda termasuk kelompok yang mana?

Kotak kosong, apa artinya?

Jika pilihan kita hanya petahana (atau calon yang didukung oleh hampir semua partai politik (sehingga tidak ada partai lain yang bisa menyodorkan calon sendiri) melawan bumbung kosong, apa ujungnya? Paling tidak ada tiga kelompok orang. Pertama, memilih petahana karena sudah melihat hasilnya di daerah masing-masing atau calon dari koalisi gaban.

Kedua, memilih kotak kosong karena selama memimpin petahana itu dianggap tidak bekerja sesuai protap dan juknisnya. Bisa juga dianggap hanya pencitraan tetapi hasilnya tidak bisa dinikmati oleh masyarakat yang dinaunginya. Ketiga, karena begitu apatisnya sehingga datang ke bilik suara saja ogah. Mana yang Anda pilih?

Soft or hard landing?

Penumpang biasanya memberikan tepuk tangan, bahkan standing ovation, saat pilot berhasil mendaratkan pesawat dengan aman setelah melalui turbulensi dahsyat di angkasa. Hampir semua, termasuk saya, suka soft landing karena mendaratnya mulus dan tidak bikin kita kaget, khususnya saat masih tidur.

Dalam perjalanan panjang lebih dari 24 jam saya senang dengan soft landing karena bisa bangun saat memang sudah seharusnya bangun. Namun, kalau dibangunkan dengan hard landing? Bisa jadi tersentak, kaget dan uring-uringan, apalagi kalau setelah mendarat saya harus memimpin seminar di institusi atau kampus di negara tertentu. Belakangan saya baru tahu bahwa hard landing pun diperlukan saat landasan berair dan licin. Hard landing dilakukan pilot agar pesawat tidak tergelincir.

Kembali ke Pak Jokowi, apakah presiden dua periode kita ini kali ini soft landing, hard landing, finishing worse, bad, so so atau well? What do you think? Menurut saya, setiap pemimpin di mana dan dalam kapasitas apa pun ingin mendapatkan pujian dari tuannya baik di bumi maupun di surga (baca: Sang Kalik): Well done, good and faithful servant! You have been faithful with a few things; I will put you in charge of many things. Come and share your master's happiness!

Xavier Quentin Pranata kolumnis

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads