Kemiskinan ternyata tidak cukup untuk menguji pertahanan hidup seseorang. Kemiskinan membuka celah kerentanan atau bahkan lubang yang menganga untuk semakin memperparah hidupnya. Kisah tragis Nia Kurnia Sari, seorang gadis belia dari Nagari Guguak, Kecamatan 2x11 Kayutanam, Kabupaten Padang Pariaman, memberi contoh nyata getirnya kehidupan masyarakat miskin. Kehidupannya diakhiri oleh perbuatan keji perilaku kebinatangan manusia.
Nia yang belum lama menamatkan pendidikannya di sebuah sekolah bersejarah, SMA INS Kayutanam yang banyak melahirkan tokoh-tokoh besar di negeri ini, sehari-harinya adalah seorang penjual gorengan keliling di sekitar Jorong Pasa Surau, Nagari Guguak. Niatnya untuk melanjutkan sekolah terpendam karena kemiskinan keluarganya tidak sanggup untuk membiayai rencana tersebut. Namun, Nia tetap bertekat untuk melanjutkan sekolah tahun berikutnya.
Dia menyatakan pada keluarganya untuk menyisihkan hasil kerjanya untuk melanjutkan pendidikannya. Tapi nahas, saat dia berjuang untuk menggapai cita-citanya, dia harus mengalami peristiwa tragis yang tidak diinginkan oleh semua manusia di muka bumi ini. Nia yang sempat hilang selama dua hari diketemukan terkubur tak bernyawa pada Minggu (8/9). Kematiannya mengubur impiannya dan juga impian keluarganya tentang masa depan yang lebih baik.
Darurat Kekerasan Seksual
Data kekerasan seksual di Indonesia dari 2020 hingga 2024 menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Berdasarkan laporan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), kekerasan seksual menjadi jenis kekerasan dengan jumlah korban terbesar dalam kategori kekerasan terhadap anak. Hingga pertengahan 2024, tercatat 7.842 kasus kekerasan terhadap anak, di mana mayoritas korban adalah anak perempuan (5.552 korban) dan anak laki-laki (1.930 korban).
Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) juga mencatat bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan secara umum mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2024 saja, terdapat 17.865 kasus kekerasan dengan 15.493 korban perempuan. Angka yang lebih mengkhawatirkan juga diperoleh dari World Population Review (WPR), yang mencatat kasus pemerkosaan di Indonesia terjadi sebanyak 1.164 per 100.000 penduduk.
Jika menggunakan data WPR yang mencatat jumlah penduduk Indonesia saat ini sebanyak 283.953.758, maka pemerkosaan di Indonesia dapat mencapai angka 3.305.222 kasus. Mengapa angka ini mengkhawatirkan? WPR mempertegas istilah kekerasan seksual dalam bentuk kasus pemerkosaan. Sementara kasus pemerkosaan merupakan bagian dari kekerasan seksual. Artinya, angka-angka yang ada merupakan fenomena gunung es yang jumlah dapat jauh lebih besar ketimbang data yang tersaji.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fenomena kekerasan seksual terjadi tidak hanya di ruang-ruang publik yang jauh dari rasa aman, tetapi juga merebak ke ruang-ruang privat dan ruang-ruang tempat pendidikan diselenggarakan. Kasus pemerkosaan terlebih terhadap korban usia anak akan berpengaruh pada masa depannya. Lebih mengejutkan lagi kecenderungan kekerasan seksual dengan pelaku usia anak juga tinggi. Dari data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2017, kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku usia anak mencapai angka 30 persen dari total kasus yang dihimpun pada 2011-2016.
Akar Permasalahan
Fenomena kekerasan seksual tidak dapat dipandang semata, disebabkan oleh perilaku individu. Mengacu pada teori Emilie Durkheim yang mendeterminatifkan fakta sosial, kekerasan seksual dipengaruhi oleh kondisi struktural dan normatif masyarakat. Dia juga merupakan produk dari norma-norma sosial, ketidaksetaraan, anomie, dan dinamika kekuasaan yang ada dalam masyarakat.
Menurut Durkheim, ketika norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakat gagal secara efektif mengendalikan perilaku individu, tindakan menyimpang seperti kekerasan seksual berpotensi muncul. Hal ini menunjukkan bahwa ada kegagalan dalam sistem sosial untuk membentuk perilaku individu sesuai dengan aturan yang melindungi hak dan martabat orang lain.
Konsep anomie Durkheim, yang menggambarkan situasi di mana norma-norma sosial melemah atau tidak jelas, dapat menerangkan peningkatan kekerasan seksual di masyarakat. Dalam kondisi anomie, individu merasa kehilangan arah atau kehilangan panduan moral yang jelas, sehingga tindakan yang menyimpang seperti kekerasan seksual menjadi lebih mungkin terjadi. Dalam konsep ini, ada dua hal yang menentukan. Pertama, pergeseran nilai moral karena adanya perubahan sosial yang cepat, seperti modernisasi tanpa konteks kearifan, dan pergeseran dalam struktur keluarga, dapat menciptakan kekosongan norma (anomie).
Perkembangan teknologi informasi seakan memacu modernisasi ke hingga ke pelosok-pelosok desa, tapi tanpa kesiapan memahami prinsip kegunaan yang tepat. Alih-alih memperluas cakrawala pengetahuan, terjadi penyimpangan nilai-nilai yang memperparah kesiapan generasi muda menyongsong masa depannya. Bentuk tragisnya ketika kontrol sosial melemah, ada ruang terjadinya kekerasan seksual, karena individu kehilangan acuan moral yang kuat dari masyarakat.
Kedua, ketidakmampuan sistem hukum. Jika sistem hukum atau norma-norma sosial yang ada tidak mampu memberikan hukuman atau sanksi yang memadai terhadap pelaku kekerasan seksual, maka anomie semakin memperparah situasi, karena masyarakat tidak lagi memiliki aturan yang jelas dalam melindungi korban dan mencegah kekerasan.
Pada kasus Nia, tersangka pelaku Indra Septiarman merupakan residivis untuk kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur. Karena pada saat itu pelaku masih tergolong usia anak, maka hukumannya tidak berat. Setelahnya, dia juga pernah divonis untuk kasus narkoba. Dari cerita salah seorang masyarakat Nagari Guguak, orangtua perempuan tersangka pelaku, juga pernah mengalami kasus pemerkosaan.
Sigmund Freud dengan teori psikoanalitiknya menyebutkan kasus kekerasan seksual bisa dikaitkan dengan konflik internal yang tidak disadari, yang berasal dari masa kanak-kanak. Individu mungkin memiliki impuls seksual atau agresif yang ditekan dan akhirnya diekspresikan dalam perilaku menyimpang, seperti kekerasan seksual.
Tantangan Generasi Masa Depan
Dengan deretan angka kasus kekerasan seksual yang ada, masalah ini harusnya tidak lagi dianggap sebagai tindakan kriminal biasa. Target Indonesia Emas 2045, di mana angka usia produktif saat itu akan mencapai lebih dari 70 persen, saat ini dihantui dengan berbagai masalah yang mengancam generasi sekarang. Fenomena kekerasan seksual berkelindan dengan prevalensi stunting yang masih tinggi. Kesiapan untuk memutus mata rantai dari fenomena tersebut membutuhkan satu pendekatan yang holistik.
Dalam mempersiapkan generasi emas dibutuhkan political will dari negara untuk mampu mengidentifikasi akar permasalahan dan turunan masalah yang terjadi. Kekerasan seksual tidak hanya secara parsial dipandang sebagai masalah kriminal, seperti halnya stunting semata masalah kesehatan. Ada banyak penyebab dan masuk ke fase-fase kehidupan manusia. Seorang anak yang dibesarkan dalam kondisi yang tidak ideal, sebagian besar berasal dari keluarga yang bermasalah.
Pertumbuhannya juga akan berpotensi masalah. Siklus kehidupan selanjutnya pun akan mengalami hal yang sama. Faktor penyebabnya dapat bervariasi dari tingkat ekonomi dan pendidikan yang rendah hingga lingkungan sosial yang tidak mendukung. Namun yang terparah adalah orientasi kekuasaan yang menegasikan kepentingan dasar rakyat untuk hidup bermartabat.
Negara harus hadir dalam setiap fase kehidupan warganya untuk memastikan tujuan-tujuan bernegara yang ada dalam konstitusi bekerja dengan tepat. Belum lama ini, di pengujung pemerintahannya, Presiden Jokowi menyampaikan perihal bahaya kekerasan seksual di hadapan petinggi Polri/TNI. Polri dan TNI diharapkannya mampu menjadi institusi pertama bagi perempuan dan anak untuk mendapatkan perlindungan.
Harapan tersebut pada dasarnya bersifat normatif karena fungsi dari aparat keamanan sudah seharusnya melindungi segenap warga negara. Tetapi, pernyataan itu menunjukkan perhatian pemerintah yang besar; justru yang perlu dipersiapkan bagaimana masyarakat memiliki kapasitas untuk membentuk lingkungan sosial yang kondusif agar dapat mencegah terjadinya kekerasan seksual.
Fenomena kekerasan seksual menunjukkan pentingnya reformasi sosial dan penegakan hukum untuk menciptakan norma yang lebih adil dan melindungi semua anggota masyarakat, khususnya perempuan, anak, keluarga miskin, penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya. Karena ancaman dari kekerasan seksual dapat berpengaruh pada masa depan negara, sudah seharusnya pemerintah yang baru nanti mencanangkan kasus ini tergolong pada tindak kriminal luar biasa (extraordinary crime), seperti halnya korupsi, terorisme, pelanggaran HAM berat, narkoba, perdagangan manusia, dan kejahatan lingkungan.
Dwi Munthaha Konsultan Program Ayo Cegah Stunting di Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat