Fashion Show Politik dan Banalitas Pilkada
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Fashion Show Politik dan Banalitas Pilkada

Kamis, 26 Sep 2024 14:15 WIB
Ziyad Ahfi
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Lagi, Baliho Nyolong Start Kian Menjamur
Foto ilusttrasi: Agung Pambudhy
Jakarta -

Dari sekian banyak Pilkada yang pernah kita lalui, semuanya hampir memiliki kesamaan: sama-sama pragmatis. Pragmatisme politik itu salah satunya bisa kita lihat di Pilkada Kampar pada proses politik perebutan SK rekomendasi partai yang transaksional hingga kampanye terselubung menjelang penetapan resmi calon yang dikemas secara instan melalui jargon-jargon seperti Kampar Maju Rakyat Sejahtera, Kampar Naik Kelas, Kampar Juara, dan Kampar Melaju.

Kita belum menemukan turunan konkret yang detail dari isi kepala para calon tentang jargon-jargon mereka itu selain usaha membangun citra tentang "si paling saleh", "si paling adat", "si paling muda", "si paling pengalaman" sampai "si paling mewakili kaum wanita".

Lalu, apa gunanya dikenal saleh kalau nyatanya perilaku politiknya otoriter (antikritik) dan tawaran kebijakan politiknya tidak berpihak untuk memelihara fakir miskin dan kaum-kaum tertindas? Apa gunanya dikenal muda kalau perilaku politiknya masih konservatif dan tawaran kebijakan politiknya tidak berpihak pada anak-anak muda?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apa gunanya dikenal sebagai tokoh adat kalau perilaku politiknya suka mengkapitalisasi tanah ulayat? Apa gunanya dikenal sebagai satu-satunya calon yang berasal dari kaum wanita kalau tawaran kebijakan politiknya tidak ada satupun yang mengangkat derajat wanita di tengah dominasi budaya masyarakat Kampar yang patriarkis?

Seolah-olah Pilkada hanya dimaknai sebatas pentas fashion show ketimbang panggung adu gagasan dan program. Pilkada seakan hanya ajang memoles diri demi memukau rakyat agar gawean mereka dapat diterima di kalangan atau identitas tetentu. Tujuannya tentu saja banal (dangkal): untuk meraup suara sebanyak-banyaknya.

ADVERTISEMENT

Rakyat dibayangkan sebagai kertas suara yang dihitung tim sukses di balik bilik laptop mereka. Seolah-olah mewakili, padahal sejatinya rakyat sedang dikelabui oleh hal-hal yang tak substansial seperti jalan sehat, nonton bola, acara adat, pacu jalur, balap motor, serta kegiatan-kegiatan yang tak menjawab persoalan krusial seperti solusi atas anak putus kuliah, minimnya lapangan pekerjaan, akses kesehatan yang setara dan hak-hak lain yang menyangkut kesejahteraan warga secara langsung.

Uang atau Gagasan?

Alih-alih menjadi arena tarung program dan kebijakan, Pilkada justru dihiasi dinamika politik yang banal. Banalitas Pilkada itu bisa kita temukan pada relasi-relasi informal yang penuh kolusi antara para calon dengan pemodal, birokrat, tokoh agama, tokoh adat, serta pemain-pemain politik yang suka menjilat kantong para calon, sehingga politik 'dikelola seturut asas bagi-bagi'.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa 'sejak dalam pikiran' Pilkada bukanlah arena bagi mereka yang miskin. Pilkada adalah ruang bagi si kaya yang memiliki akses terhadap bisnis dan politik. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya calon yang direkomendasikan partai politik bukanlah mereka yang tumbuh besar di partai politik, melainkan yang ditarik di tengah jalan hanya karena mereka memiliki modal atau akses terhadap pemilik modal.

Faktor ideologis bukanlah faktor utama partai memberikan rekomendasi kepada para calon, melainkan faktor ekonomis. Tingginya biaya politik membuat kader-kader yang sudah lama berproses membesarkan partai terabaikan hak politiknya hanya karena uang.

Uang memang bukan segala-segalanya, tapi segala-galanya butuh uang, begitu kata pepatah yang sering kita dengar. Tapi, apakah Pilkada juga hanyalah tentang uang --sehingga kita layak menormalisasi bahwa gagasan menjadi tidak penting?

Apabila uang adalah satu-satunya alasan bagi para calon untuk bertarung di Pilkada, maka semakin memvalidasi opini bahwa kegiatan-kegiatan hiburan sesaat seperti jalan sehat, nonton bola, acara adat, pacu jalur, balap motor dan lain sebagainya adalah bentuk gagasan mereka. Sebatas itu. Sebatas kegiatan yang pada intinya hiburan untuk rakyat.

Adapun gagasan, ia hanya 'riak-riak kecil' dalam politik untuk menambah euforia Pilkada. Jangan heran apabila komitmen politik antarcalon dalam arena politik praktis diwujudkan dalam bentuk bagi-bagi jabatan, proyek, dan amplop.

Politisasi Agama

Memanfaatkan keyakinan umat adalah titik terkejam banalitas politik di Kampar. Keyakinan keagamaan semestinya dirawat secara bijak di ruang privat. Ia hanya boleh digiring ke ruang publik apabila sudah dibungkus secara argumentatif melalui dalil-dalil publik yang logis dan dapat dipertanggungjawabkan secara publik pula.

Kalau keyakinan keagamaan dimanfaatkan oleh calon ketika berada di gelanggang elektoral untuk sekadar mempromosikan kesolehan diri, bukan justru fokus kepada tawaran kebijakan yang masuk akal, jangan harap Pilkada Kampar mampu melahirkan pemimpin yang akan menjadi pemimpin bagi semua warga, terutama bagi warga kelas miskin.

Kampanye politik yang menggunakan ungkapan-ungkapan seperti "calon ini layak dipilih karena dia rajin salat", "dia paling rajin mengaji", "dia alumni pesantren", "dia didukung oleh ustad A dan buya B" hanyalah kampanye kosong yang tidak berarti apa-apa terhadap kesejahteraan rakyat secara substansial.

Bagaimana kita bisa mengukur kesalehan seseorang sedangkan keimanan itu letaknya di hati? Apakah karena dia 'dianggap saleh' kemudian calon-calon yang lain otomatis tidak saleh? Buat apa kesalehan-kesalehan pribadi itu dipromosikan sementara di sisi lain kebijakan politiknya jauh dari ajaran agama untuk merawat si miskin melalui tangan-tangan besi mereka?

Mengkapitalisasi simbol agama dengan mengkerdilkannya menjadi komoditas politik untuk sekadar merebut kekuasaan hanya akan memperluas konflik sosial dan menambah dendam politik baru. Kekhawatiran ini seharusnya menjadi pertimbangan penting bagi para calon yang bermanuver dengan cara kotor 'jualan agama' untuk kepentingan politik sesaat.

Apabila agama dipakai sebagai 'retorika politis', menurut F Budi Hardiman, agama sudah tidak lagi autentik, karena sudah berubah menjadi alat manipulasi massa. Dengan cara itu agama dikendalikan menurut kepentingan diri.

Ziyad Ahfi mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum UII


(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads