Di tengah riuhnya dinamika politik yang berembus dari Jakarta, Prabowo Subianto, pria yang dahulu lebih banyak dikenal sebagai sosok militer dengan sorot mata tajam, kini menempuh jalan berbeda. Ada yang unik dari langkah Prabowo kali iniβsebelum resmi dilantik sebagai Presiden ke-8 Republik Indonesia; ia memilih jalur diplomasi, bukan di dalam negeri, melainkan melintasi perbatasan-perbatasan ASEAN. Dari Brunei, Laos hingga Kamboja, kemudian ke Thailand, Prabowo seolah ingin menorehkan awal kisah kepemimpinannya dengan tinta diplomasi yang tebal, meninggalkan jejak kaki yang mengingatkan kita pada semboyan lama: Tetangga yang baik adalah anugerah.
ASEAN, bagi Prabowo, bukan sekadar komunitas negara-negara serumpun. Dalam pandangannya, ASEAN adalah ruang hidup bersama yang mesti dirawat dengan penuh kehati-hatian dan kebijaksanaan. Ia membawa visi Good Neighbor Policy, kebijakan yang menggarisbawahi pentingnya menjaga hubungan yang harmonis, saling menghormati, dan mengutamakan kerja sama yang konstruktif. Kebijakan ini, baginya, bukan sekadar strategi luar negeri, melainkan filosofi hubungan antarbangsa di Asia Tenggaraβsebuah ajakan untuk menjadi "tetangga yang baik" pada saat tetangga-tetangga lainnya sedang bimbang di persimpangan jalan sejarah.
Langkah Awal
Bagi Prabowo, hubungan di ASEAN bukan hanya soal perjanjian di atas kertas atau pertemuan formal yang serba tegang. Ada sesuatu yang lebih mendasar dari sekadar protokol diplomasi. Ia memahami bahwa ASEAN adalah komunitas yang hidup dan bernapas lewat kepercayaan.
Kepemimpinan di ASEAN kerap dimulai di atas meja makan, di mana para pemimpin berbincang dalam percakapan yang lebih cair, membangun jembatan hati sebelum merancang jembatan besi dan baja. Kunjungan Prabowo ke Brunei, Laos, Kamboja, dan Thailand adalah langkah awal untuk meneguhkan kepercayaan ituβsebuah usaha untuk menjalin kedekatan personal yang dapat memudahkan dialog di kemudian hari.
Ketika Prabowo duduk bersama para pemimpin ASEAN lainnya, ia tidak hanya membawa pesan-pesan politik dari Jakarta, tapi juga menawarkan visi untuk bersama-sama menghadapi tantangan besar di kawasan. Laut China Selatan, dengan segala arus dan badai diplomatiknya, menjadi salah satu ujian berat bagi solidaritas ASEAN. Prabowo paham bahwa perbedaan kepentingan di antara negara-negara anggota membuat perjalanan menuju konsensus seringkali terjal dan penuh liku.
Merawat Kohesi
Ambiguitas, kata yang begitu lekat dengan dinamika ASEAN. Di satu sisi, ASEAN adalah kawasan yang penuh harapan akan kerja sama dan solidaritas, tapi di sisi lain ia juga menjadi arena di mana kepentingan nasional dan hubungan dengan kekuatan besar saling bersilangan. Bagi Prabowo, inilah yang harus dihadapi: bagaimana merawat kohesi ASEAN di tengah perbedaan yang tajam. Laos dan Kamboja, misalnya, memiliki kedekatan historis dengan China, sementara Indonesia, sebagai negara terbesar di ASEAN, harus memainkan peran penengah yang bijaksana.
Prabowo melihat peluang di balik tantangan ini. Sebagai pemimpin yang outward looking, ia menawarkan pendekatan yang lebih inklusif, mengajak negara-negara yang selama ini dianggap "lebih dekat" dengan China untuk lebih aktif dalam inisiatif ASEAN, seperti latihan militer bersama. Bagi Prabowo, mengajak Laos ke dalam latihan bersama ini bukan hanya soal memperkuat kapabilitas militer, tetapi juga memperdalam rasa kebersamaan sebagai bagian dari keluarga besar ASEAN.
Prabowo tahu bahwa dunia yang dihadapi ASEAN hari ini bukanlah dunia yang sama seperti beberapa dekade lalu. Ini adalah dunia yang penuh dengan Volatilitas, Ketidakpastian, Kompleksitas, dan AmbiguitasβVUCA, istilah yang akrab di kalangan pemimpin militer dan strategi. Dalam dunia yang seperti ini, tidak ada peta yang benar-benar pasti. ASEAN harus belajar menavigasi perairan ini dengan kompas baru, dan Indonesia, dengan segala beban sejarah dan potensinya, memiliki tanggung jawab moral untuk memandu arah.
Dengan gaya diplomasi barunya, Prabowo mencoba membawa ASEAN untuk lebih percaya diri berdiri di atas kakinya sendiri. Ia mendorong negara-negara anggota untuk tidak hanya bersatu dalam menghadapi tantangan keamanan, tetapi juga dalam bidang-bidang seperti ekonomi, ketahanan pangan, dan energi. Baginya, ASEAN harus lebih mandiri, lebih berani, dan tidak terlalu bergantung pada kekuatan eksternal.
Memperkuat Diri Bersama
Dalam kunjungannya ke Brunei, Laos, Kamboja, dan Thailand, Prabowo tidak sekadar menjejakkan kaki atau berbagi senyum diplomasi. Ia mengusung pesan bahwa ASEAN harus tetap solid, harus tetap berlayar di lautan yang bergolak ini dengan arah yang jelas. Inisiatif pertahanan yang digagas Indonesia bukanlah sebuah ajakan untuk memusuhi siapa pun, melainkan seruan untuk memperkuat diri bersama, untuk menjadi kawasan yang lebih tangguh di tengah percaturan geopolitik yang semakin rumit.
Ada harapan besar yang digantungkan di pundak Prabowo. Sebagai pemimpin yang mengusung Good Neighbors Policy, ia menawarkan ASEAN pilihan untuk melangkah ke depan dengan kepala tegak, tidak sebagai pion di papan catur kekuatan besar, tetapi sebagai pemain yang cerdik dan bijak di gelanggang dunia. Dan, perjalanan Prabowo kali ini bisa jadi adalah langkah pertama dari upaya besar untuk mengubah narasi ASEAN, dari sekadar "komunitas ambigu" menjadi kawasan yang lebih solid dan berdaya.
Khairul Fahmi pemerhati masalah pertahanan, Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini