Jalan Terjal Pencari Kerja dan Kekalnya Diskriminasi Usia
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Jalan Terjal Pencari Kerja dan Kekalnya Diskriminasi Usia

Kamis, 12 Sep 2024 14:00 WIB
Yayang Nanda Budiman
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Sejumlah pencari kerja antre saat mengikuti Pameran Bursa Kerja di Depok Town Square, Kota Depok, Jawa Barat, Selasa (30/7/2024). Dinas Tenaga Kerja Kota Depok menggelar bursa kerja yang diikuti 40 perusahaan dengan 2.105 lowongan pekerjaan yang bertujuan untuk mengurangi angka pengangguran. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/aww.
Ribuan pencari kerja menyerbu sebuah acara 'job fair' (Foto: Yulius Satria Wijaya/Antara)
Jakarta -

Akhir-akhir ini, interaksi media sosial sempat disesaki dengan keluhan dari sejumlah pengguna internet khususnya job seeker mengenai adanya batasan usia dalam proses melamar pekerjaan. Adanya limitasi usia pelamar tersebut menuai polemik di kalangan para pencari kerja. Di tengah ketidakpastian saat ini, kebijakan yang menetapkan batas usia maksimal untuk melamar pekerjaan telah menimbulkan kontroversi yang mengganggu.

Sebenarnya, deskripsi pekerjaan yang termuat dalam sejumlah informasi lowongan kerja dapat dikerjakan oleh orang dari berbagai usia. Namun meskipun pelamar mempunyai pengalaman dan kemampuan yang relevan dengan posisi yang dilamar, dengan adanya ketentuan yang mensyaratkan maksimal usia, membuat sejumlah para pencari kerja menghadapi kesulitan mendapatkan pekerjaan pada akhirnya.

Terlebih saat ini tak sedikit dari para pekerja dihadapkan dengan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terus meningkat. Merujuk informasi yang dimuat di media online, Menteri Ketenagakerjaan mengakui bahwa jumlah PHK telah mengalami peningkatan belakangan ini. Berdasarkan catatan pihaknya, total PHK mencapai 46.240 kasus dari awal tahun hingga akhir Agustus lalu. Akibatnya, angka pengangguran semakin mengalami peningkatan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut data World Economic Outlook, dari total 279,96 juta penduduk Indonesia, sekitar 5,2% tergolong pengangguran. Kerentanan PHK, lapangan kerja yang terbatas, hingga persyaratan lowongan kerja yang dibatasi usia menjadi sejumlah indikator dari penyebab mengapa angka pengangguran terus mengalami peningkatan.

Maka dari itu, bagi sejumlah orang saat ini, usia 25 tahun sering dianggap sebagai titik kritis di mana peluang untuk memasuki dunia kerja mulai menipis. Seiring bertambahnya usia, peluang kerja semakin menyusut, sehingga individu yang berusia di atas 25 tahun, terutama yang berusia di atas 30 tahun, seringkali menghadapi pilihan yang sangat terbatas di pasar kerja.

ADVERTISEMENT

Melihat polemik yang tengah terjadi sangat serius dan kompleks sampai harus diselesaikan pada upaya permohonan uji materiil (judicial review) terhadap ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu. Menurut informasi yang dilansir dari situs resmi MK, pemohon dalam permohonannya menyatakan bahwa pasal tersebut telah menyebabkan banyak banyak perusahaan di Indonesia menetapkan kriteria pekerjaan yang membuat sulit bagi para pelamar untuk mendapatkan pekerjaan, seperti pengalaman kerja yang diperlukan atau batasan usia minimal untuk melamar.

Menelisik Akar Diskriminasi

Pada 1969, Robert Neil Butler, melalui tulisannya bertajuk Ageism: Another Form of Bigotry memperkenalkan istilah 'ageisme'. Ahli gerontologi Amerika Serikat tersebut telah meningkatkan kesadaran banyak orang mengenai masalah yang sebenarnya sudah ada sejak lama, yakni prasangka dan diskriminasi berdasarkan usia yang kerap terjadi dalam berbagai lini kehidupan, termasuk di dunia kerja.

Di banyak negara, batasan usia dalam lowongan kerja seringkali dianggap sebagai bentuk diskriminasi usia (ageisme). Diskriminasi ini terjadi ketika seseorang dirugikan secara tidak adil hanya karena usia mereka, tanpa adanya alasan objektif yang mendukung.

Sejumlah negara telah melarang praktik diskriminasi berbasis usia di tempat kerja karena usia seringkali tidak selalu merefleksikan bagaimana kinerja atau kemampuan seseorang. Sebaliknya, kualifikasi maupun keterampilan individu semestinya menjadi faktor penentu kelayakan mereka untuk suatu posisi. Namun, di Indonesia, pembatasan usia dalam lowongan pekerjaan masih dianggap hal yang lumrah.

Merujuk artikel BBC, riset yang dipublikasi Journal of Experimental Psychology pada Agustus 2021, yang ditulis oleh Michael North dan Stephane Francioli, menunjukkan bahwa ageism kini banyak menargetkan kaum muda. Pekerja usia lanjut sering memiliki pandangan negatif terhadap generasi milenial dan Z, menganggap mereka malas, manja, dan tidak sopan dalam dunia kerja. Ketika pandangan negatif ini digabungkan dengan struktur senioritas tradisional dalam perusahaan, hal ini dapat menciptakan lingkungan kerja yang berdampak buruk pada karier pekerja muda, menghambat kemajuan mereka, dan menghalangi kesempatan untuk mendapatkan bimbingan serta promosi.

Anti-Ageisme dan Hukum Ketenagakerjaan

Mendapatkan pekerjaan dan dengan upah yang layak tanpa diskriminasi atas nama apapun merupakan hak bagi setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Konsekuensinya, negara wajib campur tangan untuk memastikan apakah ekosistem ketenagakerjaan di Indonesia berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan dan kemanusiaan. Namun, perintah yang dengan tegas termuat dalam landasan hukum tertinggi tersebut seolah tak berkutik di hadapan bursa lapangan kerja yang secara tidak langsung membatasi kesempatan warga negara untuk mendapatkan pekerjaan karena terbatas oleh pagar-pagar limitasi usia.

Padahal, secara yuridis Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah menyatakan bahwa setiap pelamar kerja memiliki hak yang salam dalam setiap kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan tanpa diskriminasi. Bahkan dalam lanskap regulasi internasional, Indonesia juga tergabung dalam International Labour Organization (ILO), telah meratifikasi konvensi ILO mengenai hak tenaga kerja. Peraturan tersebut terutama mengatur terkait usia minimum pekerja untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment, usia minimal seseorang bekerja adalah 18 tahun. Hematnya, konvensional ini menetapkan tanggung jawab negara untuk memastikan tidak adanya diskriminasi dalam proses rekrutmen dan hubungan kerja, serta menjamin hak persamaan bagi setiap individu dalam mencari pekerjaan dan bekerja.

Dengan demikian dapat kita pahami bahwa sejumlah payung hukum di atas sudah jelas tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai batasan maksimal seseorang dapat bekerja. Selama ia mampu, mempunyai keahlian, kecakapan atau latar belakang pendidikan yang relevan dengan bidang pekerjaan yang dilamar, ia berhak untuk mendapatkan pekerjaan.

Oleh karena itu, budaya usang pembatasan usia maksimal dalam pekerjaan dianggap sebagai pelanggaran hak dan pemerintah tidak memiliki alasan untuk membiarkan atau bahkan menormalisasi ageisme di dunia kerja terjadi, termasuk melalui lowongan kerja yang dipublikasikan oleh institusi negara. Regulasi ini seharusnya menjadi landasan fundamental bagi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang secara jelas dan tegas melarang pembatasan usia dalam lowongan kerja tanpa alasan yang sah.

Bagaimana MK Memandang Ageisme?

Salah satu cara untuk membongkar siklus ageisme melalui sarana formal salah satunya yakni dengan cara melakukan perbaikan payung hukum terkait baik melalui lembaga legislatif, atau melalui sarana uji materiil ke MK. Jika cara pertama dirasa akan memakan waktu yang tidak singkat karena harus berhadapan dengan konsensus politik, upaya judicial review menjadi jalan alternatif untuk menguji produk undang-undang yang dirasa bertentangan dengan norma Undang-Undang Dasar 1945.

Hal itu juga dilakukan oleh salah seorang karyawan swasta beberapa bulan lalu yang berupaya melakukan uji materiil ke MK dengan nomor register perkara 35/PUU-XXII/2024 karena merasa mengalami kerugian konstitusional sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 karena tercederai dengan keberlakuan Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pemohon berpandangan bahwa berlakunya pasal a quo telah menimbulkan banyaknya perusahaan-perusahaan di Indonesia menetapkan persyaratan pekerjaan yang menghambat Pemohon memperoleh pekerjaan seperti misalnya pengalaman kerja maupun adanya batas usia minimal melamar pekerjaan yang disyaratkan. Selain itu, Pemohon juga menilai bahwa Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menciptakan ketimpangan generasi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa banyak perusahaan yang lebih menyukai merekrut pekerja usia muda. Banyak perusahaan menetapkan batas maksimal yang tidak wajar sehingga usia yang tidak memenuhi kualifikasi dapat dianggap tidak kompeten atau sudah uzur.

Namun, upaya yang dilakukan oleh Pemohon tersebut tidak berakhir dengan putusan yang diharapkan. Pada 30 Juli 2024, MK menolak permohonan uji materiil terhadap Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dianggap berpotensi mendiskriminasi oleh pemberi kerja berdasarkan kriteria yang tidak relevan dan diskriminatif.

Mahkamah menolak permohonan atas dasar diskriminasi bukanlah menjadi bagian lingkup diskriminasi menurut hasil putusan sebelumnya (Putusan MK Nomor 024/PUU-III/2005 dan Putusan MK Nomor 72/PUU-XII/2023). Dalam aturan itu, perbuatan diskriminatif didefinisikan sebagai pembedaan yang didasarkan pada agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin dan keyakinan politik. Hal yang hampir serupa juga disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam pertimbangan hukumnya. Berdasarkan pertimbangan itu, batasan diskriminasi tersebut tidak terkait dengan batasan usia, pengalaman kerja dan latar belakang pendidikan.

Namun, menanggapi putusan Mahkamah a quo terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari satu orang Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah yang menyatakan bahwa Mahkamah seharusnya dapat mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian (partially granted) dengan memberikan tafsir terhadap Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sepanjang frasa merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitution) dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai dilarang mengumumkan lowongan pekerjaan yang mensyaratkan usia, berpenampilan menarik, ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, kebangsaan atau asal usul keturunan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.

Sehingga pasal a quo selengkapnya berbunyi pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja yang dilarang mengumumkan lowongan pekerjaan yang mensyaratkan usia, berpenampilan menarik, ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, kebangsaan atau asal usul keturunan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.

Menanggapi putusan MK tersebut, tampaknya upaya untuk mewujudkan ruang kesempatan yang luas bagi warga negara untuk melamar kerja tanpa harus terkendala oleh batasan usia semakin sulit terwujud. Konsekuensinya, praktik ageisme dalam ekosistem kerja semakin terlegitimasi pasca adanya putusan MK yang bersifat final dan mengikat.

Di tengah masifnya gelombang PHK dan tingkat pengangguran yang tinggi, dengan adanya masalah muatan batasan usia maksimal dalam merekrut karyawan semakin menciptakan benang kusut permasalahan ketenagakerjaan yang takkan usai. Dan MK dalam hal ini belum dapat memastikan keadilan dan menjangkau masalah aktual yang terjadi di hadapan para pencari kerja.

Memutus Gurita Ageisme dalam Lowongan Kerja

Ageisme merupakan tantangan nyata dan mendesak bagi dunia kerja di Indonesia. Jika tidak ditangani dengan serius, diskriminasi usia dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, memperburuk ketidaksetaraan, hingga merugikan individu dari berbagai kelompok usia.

Menyikapi kekalnya praktik ageisme dalam dunia kerja, meskipun terdapat berbagai jenis produk hukum yang mengatur ihwal larangan praktik diskriminasi dalam dunia kerja, baik saat melakukan rekrutmen calon pekerja maupun dalam ekosistem kerja, ageisme tetap menjadi masalah yang umum di Indonesia, bahkan dianggap sebagai hal yang lumrah. Tak sedikit iklan lowongan kerja di sejumlah sumber di internet mencantumkan batasan usia tertentu seperti "khusus fresh graduate" atau "maksimal usia 25 tahun", sehingga syarat tersebut semakin menyulitkan banyak pelamar untuk mendapatkan pekerjaan.

Kompleksnya permasalahan ini akan terus berlanjut karena rendahnya kesadaran masyarakat terhadap bentuk diskriminasi hingga tidak optimalnya peran pemerintah dan lemahnya penegakan hukum yang relevan dengan hubungan ketenagakerjaan. Jika merujuk pada laporan global tentang ageisme, terdapat setidaknya tiga strategi utama untuk melawan ageisme seperti menerapkan kebijakan dan hukum, program pendidikan, dan intervensi antargenerasi. Sejumlah strategi ini dirancang untuk mengurangi hambatan antar generasi dan mengatasi diskriminasi berdasarkan usia.

Selain itu, terdapat cara lain yang dapat dilakukan untuk memutus gurita ageisme yang terjadi saat ini salah satunya dengan cara mereformasi budaya perusahaan seperti meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya inklusivitas usia di semua level organisasi. Kampanye internal yang menekankan nilai keberagaman usia dapat membantu mengubah persepsi negatif dan mempromosikan budaya kerja yang lebih inklusif. Selain itu, perusahaan juga harus memastikan bahwa proses perekrutan, penilaian kinerja, serta promosi bebas dari bias usia.

Sebagai upaya untuk memutus mata rantai dan siklus praktik ageisme dalam dunia kerja, maka perlu adanya kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat secara keseluruhan untuk mengatasi stereotip usia yang membatasi peluang bagi para pencari kerja. Kendati saat ini kita mungkin tidak mempunyai kekuatan untuk mengubah arah kebijakan secara langsung, kita tetap perlu mengetengahkan dan memberikan atensi khusus untuk isu ini.

Yayang Nanda Budiman, S.H Lawyer Intern & Legal Content Writer

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads