Kuasa Simbolik Politik Selebritas
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Kuasa Simbolik Politik Selebritas

Senin, 02 Sep 2024 12:34 WIB
Anwar Kurniawan
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Gaya Reza Rahadian Ikut Demo
Aktor Reza Rahadian di aksi 'Kawal Putusan MK' (Foto: CNN Indonesia)
Jakarta -

Agustus 2024 layak diperingati sebagai bulannya Presiden Jokowi. Ia dibuka dengan tetesan air mata Jokowi ketika zikir kebangsaan (1/8). Di pertengahan bulan, Jokowi menggelar upacara bendera dengan anggaran paling kontroversial di IKN (17/8). Dan, di sepuluh hari terakhir Agustus, anak sekaligus menantu Jokowi menjadi bulan-bulanan publik di media sosial.

Mulanya, Mahkamah Konstitusi (MK) merilis putusan tentang syarat batas usia kandidat kepala daerah (20/8). Ini berarti wacana pencalonan Kaesang Pangarep, anak Jokowi, sebagai kepala daerah terancam batal. Namun kurang dari 1 x 24 jam, putusan MK ternyata coba dianulir oleh Baleg DPR dengan sistem kebut semalam, melahirkan persetujuan revisi UU Pilkada (21/08). Peluang Kaesang kembali melenggang.

Orang lalu berunjuk rasa. Sasaran kritiknya adalah institusi presiden yang dianggap semena-mena mengubah aturan untuk kepentingan keluarga. Aksi protes masyarakat terhadap upaya pelemahan demokrasi Indonesia pun semakin masif. Bukan hanya di jalanan, tetapi mereka juga memekik di ruang siber.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di media sosial, orang ramai-ramai mengunggah poster berwarna biru bertuliskan "Peringatan Darurat" dengan gambar Garuda Pancasila di bawahnya. Saking viralnya, aksi protes virtual ini menarik perhatian media internasional. Yang lebih ajaib adalah produk visual itu tadinya merupakan media propaganda rezim militeristik Soeharto untuk melakukan operasi Petrus. Kini, ia oleh publik justru digunakan sebagai strategi detournement untuk mengkritisi rezim yang dianggap melampaui brutalitas Soeharto.

Muncul pertanyaan, apakah "Peringatan Darurat" ini hanya bergulir di sebagian kalangan (kelas menengah) dan dengan demikian tidak menyentuh akar rumput?

ADVERTISEMENT

Seorang teman saya berseloroh bahwa ontran-ontran paling dramatis di pengujung Agustus kemarin besar kemungkinan sampai grassroot. Alasannya, pertama, isu ini bahkan bergulir hingga ke Facebook yang dianggap sebagai platform tempat generasi "tua" ber-muwajahah. Kedua, sebagai sebuah gerakan digital, gelinding wacana "Peringatan Darurat" terlihat organik distribusinya, terutama di platform Instagram dan X.

Sulit membayangkan orang bisa terpanggil secara sukarela meramaikan arus diskursif yang selama ini dianggap sebagai isu khas kelas menengah. Selain itu, banyak sekali akun influencer dan key opinion leader (KOL) di ruang media digital yang mengamplifikasi resonansi protes publik terhadap praktik politik yang dianggap menguntungkan keluarga Presiden Jokowi. Bahkan, Raditya Dika, seorang komika yang terkenal sangat hati-hati dalam urusan politik, ikut mengunggah "Peringatan Darurat" di Instagram story miliknya.

Dari kalangan aktor, ada Reza Rahadian yang menjadi sorotan publik dan media. Pemeran B.J. Habibie di film Habibie & Ainun ini bahkan ikut berorasi di atas mobil komando. Dengung ngang nging ngung pengeras suara tak membuatnya bingung. Reza terlihat sangat yakin bahwa ia berada di kerumunan yang tepat untuk mengembalikan marwah demokrasi.

Yang cukup bijak bestari adalah cuitan akun @ernerprakasa. Setelah mengunggah gambar "Peringatan Darurat", komika sekaligus sutradara film ini mengingatkan "para influencer papan atas yang masih juga menerima job untuk memecah belah gerakan rakyat ini, tolonglah. Kalian sudah berkecukupan, jangan sabotase perjuangan."

Kita memang tidak pernah tahu siapa influencer yang dimaksud. Ernest sendiri, saya yakin, menuliskannya tanpa menyudutkan orang secara personal. Satu hal yang pasti, satu dekade terakhir ini modal simbolik yang melekat dalam diri para pesohor digital dan/atau selebritas bisa dikonversi menjadi kapital ekonomi, utamanya dalam upaya menggiring opini publik. Pilpres 2024 setidaknya menjadi tamsil paling dekat betapa insan-insan industri hiburan merupakan komoditas penting dalam politik kekuasaan.

Itulah kenapa Kiky Saputri sempat menjadi "buronan" sekaligus sasaran tembak netizen ketika dirinya absen dari lalu-lintas wacana "Peringatan Darurat". Kiky, yang sebelumnya dianggap dekat dengan rezim dan terang-terangan menjadi pendukung salah satu paslon jagoan Presiden Jokowi, belakangan merespons bahwa dirinya sedang ada pekerjaan syuting. Sejurus kemudian, ia mengklaim akan berjuang "dari dalam" untuk menyuarakan kepentingan umum dengan ikut menuliskan tagar #KawalPutusanMK.

Kalau mau dibaca lebih kritis, frasa "berjuang dari dalam" yang dilontarkan Kiky sebetulnya terlihat masygul dan sedikit problematis. Pertama, ia jelas bukan representasi anggota legislatif, bukan juga bidak eksekutif, apalagi yudikatif. Kiky adalah artis, selebriti, dan juga influencer yang kapasitasnya setara dengan Raditya Dika, Reza Rahadian, Ernest Prakasa, dan pendengung wacana di ruang digital lainnya.

Kedua, Kiky bukan saja dikenal sebagai komika kritis dengan metode roasting-nya, tetapi juga menjadi pemandu acara program salah satu podcast paling masyhur milik (dan bersama) Kaesang Pangarep. Kaesang sendiri merupakan selebritas, tetapi juga seorang politisi PSI yang sedang 'diperjuangkan' oleh elite oligarki supaya menjadi kontestan bakal calon kepala daerah di Pilkada tahun ini.

Dan, ya, yang terpenting dari peristiwa politik paling dramatis tahun ini adalah fakta Kaesang, sekali lagi, merupakan anak Jokowi. Ia adalah eksperimen kedua selain Gibran yang telah (di)sukses(kan) melenggang menjadi wakil presiden terpilih di Pilpres 2024. Keduanya pun sama-sama memiliki koneksi dengan para pesohor dunia hiburan negeri ini.

Di tengah ketidakmenentuan mata angin politik dan erosi kepercayaan terhadap institusi demokrasi, peran selebritas cum influencer cum KOL dalam lanskap politik tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Bukan sekadar figur hiburan, kuasa simbolik mereka telah manunggal dengan narasi besar tentang siapa kita sebagai bangsa dan bagaimana kita memahami, atau bahkan mempertahankan demokrasi. Kesadaran ini seharusnya mendorong siapa pun untuk lebih peduli dan kritis terhadap kekuasaan yang menyalahgunakan otoritasnya, sehingga mengancam masa depan demokrasi Indonesia.

Anwar Kurniawan alumnus Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana UGM

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads