Kolom

Tantangan Ekonomi Kepemimpinan Prabowo

Dion Saputra Arbi - detikNews
Kamis, 29 Agu 2024 14:30 WIB
Ilustrasi: Andhika Akbarayansyah
Jakarta -

Kepemimpinan Presiden Jokowi usai dalam beberapa bulan ke depan. Selama dua periode pemerintahan Jokowi (2015-2022), rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 4,13%. Jika kondisi pandemi COVID-19 tidak dimasukkan (2020-2021), maka rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya tumbuh 5,08%. Janji Presiden Jokowi selama dua periode pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi 7% pun hingga saat ini belum bisa tercapai.

Sebagai pembanding, masa kepemimpinan Presiden SBY (2005-2014) pertumbuhan ekonomi rata-rata 6%, Presiden Megawati (2002-2004) 4,5-5% per tahun, dan Presiden Gus Dur (2000-2001) 3,6-4,9% per tahun (Databoks, 2023). Dengan demikian, kepemimpinan Presiden Prabowo ke depan dengan target pertumbuhan ekonomi 8% per tahun perlu dievaluasi lagi, di samping beberapa program besar yang menguras APBN seperti program makanan sehat dan bergizi serta melanjutkan pembangunan IKN dan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang ditinggalkan oleh Presiden Jokowi.

Ekonomi di Peralihan Jabatan

IMF melaporkan bahwasanya kondisi ekonomi global saat ini masih dalam stagnasi yakni dengan pertumbuhan ekonomi 3,2% pada 2024 (CNBC Indonesia, 2024). Masih tingginya angka inflasi global, tingginya suku bunga FED Amerika, hingga risiko serangan siber dan konflik di kawasan timur tengah menjadi kendala pertumbuhan domestik membaik pada 2024 ini. Pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 5% dari target 5,2% masih dirasa terlalu berat. Hal ini dikarenakan daya beli masyarakat masih dalam keadaan stagnasi meskipun pandemi COVID-19 telah berlalu.

Pemerintahan awal Prabowo ke depan diharapkan memberikan kebijakan yang efektif dan efisien untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan penyerapan tenaga kerja. Pembangunan PSN yang terus digarap oleh Presiden Jokowi hingga akhir kepemimpinannya menjadi beban yang mesti harus ditunda sementara waktu untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan yakni 8%.

Evaluasi program PSN Presiden Jokowi belum mendatangkan efek multiplier bagi peningkatan pendapatan nasional (Bisnis Indonesia, 2024). Sejak era Reformasi belum ada catatan sejarah ekonomi Indonesia mampu tumbuh sebesar ini. Oleh karena itu, publik mengharapkan kepemimpinan Prabowo sangat mengerti betul potensi yang dimiliki Indonesia untuk melaju pesat sesuai yang diharapkan.

Hingga akhir kepemimpinan Jokowi, kondisi ekonomi masih lesu disebabkan oleh masih tingginya angka kemiskinan (9,03%), angka ketimpangan masih relatif tinggi (0,379), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masih 0,713 dari rata-rata negara maju di atas 0,8, dan variabel makro lainnya yang membutuhkan percepatan dari sekarang. Beban yang dimiliki oleh kepemimpinan Prabowo untuk segera dituntaskan agar tujuan Indonesia maju bisa dicapai sebelum 2045.

APBN Terkuras, Utang Membengkak

Salah satu fokus utama sejumlah pengamat ekonomi dalam transisi pemerintahan Jokowi ke Prabowo adalah APBN semakin terkuras, utang membengkak, dan target capaian ekonomi yang direncanakan oleh pemerintahan awal Prabowo sulit untuk dicapai. Pertama, porsi APBN yang semakin terkuras dikarenakan pembangunan sejumlah PSN yang masih belum rampung pada masa kepemimpinan Jokowi mesti dilanjutkan pada era Prabowo.

Saat ini, APBN 2024 mencapai defisit relatif tinggi yaitu Rp 609,7 triliun atau 2,7 persen dari PDB. Angka ini cukup lebih tinggi dari yang ditargetkan sebelumnya yakni Rp 522,8 triliun atau 2,29 persen dari PDB (VOA Indonesia, 2024). Jika dilihat realisasi defisit APBN pada 2023 hanya mencapai angka Rp 347,6 triliun atau 1,65 persen terhadap PDB (Kemenkeu, 2023), maka mestinya pada 2023 lebih tinggi dibandingkan pada 2024 karena pada 2023 diperlukan pembiayaan tinggi untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pascapandemi. Dengan demikian pada 2024 pemerintah masih meningkatkan defisit APBN untuk membiayai relatif lebih besar program PSN.

Kedua, posisi utang negara relatif sangat tinggi yaitu Rp 8.262,10 triliun pada akhir Maret 2024 (Portal Informasi Indonesia, 2024) yakni rasio utang terhadap PDB 38,79%. Angka ini cukup mengkhawatirkan, belum lagi pembayaran beban bunga utang jatuh tempo pada 2024 ini sebesar Rp 498 triliun. Besarnya bunga utang menjadi tambahan beban bagi pemerintah pusat di samping tetap menggelontorkan uang yang cukup besar membangun infrastruktur strategis Presiden Jokowi pada penghujung jabatannya.

Terakhir, target pertumbuhan ekonomi 8% belum realistis dan belum ada tanda-tanda ekonomi Indonesia membaik. Oleh karena itu, keputusan strategis dan bijak adalah melakukan evaluasi dan merencanakan lebih baik lagi untuk meningkatkan kemampuan sektor strategis ekonomi Indonesia lebih produktif dan efisien.

Evaluasi Program Prioritas

Dengan demikian, kepemimpinan Prabowo nanti perlu untuk melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program prioritas yang menjadi warisan dari Presiden Jokowi dengan memperhatikan ketersediaan APBN untuk pembangunan.

Beban biaya yang dibutuhkan untuk menjalankan program prioritas perlu dievaluasi apakah ditunda sementara waktu atau tetap dilanjutkan, di samping harus memenuhi janji kampanye yang akan dijalankan yaitu program makan sehat bergizi dan program prioritas lain yang tentu membuat anggaran APBN akan sangat terkuras. Keterbatasan APBN dan masih tingginya utang Indonesia menjadi ancaman terkait keberlanjutan memastikan ekonomi tumbuh stabil di atas 5% tiap tahunnya.

Dion Saputra Arbi pengamat ekonomi UGM




(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork