Keresahan di tengah masyarakat muncul karena banyaknya jumlah anak-anak yang mengalami gagal ginjal kronis dan melakukan cuci darah (hemodialisis) di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Meskipun sebagian besar kasus terjadi karena kelainan bawaan, namun diduga diabetes dan obesitas akibat gaya hidup berupa konsumsi makanan dan minuman ultra-olahan yang tidak sehat, tinggi gula, garam dan lemak, turut meningkatkan risiko kesehatan tersebut (detikHealth, 6/8)
Bisa Berubah Menjadi Racun
Banyak orang merasa sudah mengetahui tentang bahaya konsumsi makanan atau minuman tinggi gula. Namun, tampaknya hanya sedikit yang benar-benar memahami, apalagi menyadari dampak kesehatannya di kemudian hari.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kaidah klasik the dose makes the poison barangkali juga telah banyak dilupakan. Prinsip dasar dalam toksikologi tersebut menyatakan bahwa segala sesuatu bisa berubah menjadi racun, tergantung pada dosisnya. Sebuah pedoman mendasar dari Paracelsus, seorang dokter dan ahli kimia serta filsof kenamaan abad ke-16, yang masih sangat relevan hingga hari ini, dan perlu untuk terus diingat.
Contoh paling sederhana adalah air. Jika dikonsumsi kelewat banyak justru akan menimbulkan hiponatremia, yaitu gangguan elektrolit yang disebabkan oleh rendahnya kadar natrium atau sodium di dalam darah. Misalnya minum air putih berlebihan setelah berolahraga cukup berat seperti maraton, atau melakukan terapi air putih yang salah.
Gula jika dikonsumsi dengan takaran yang tepat menjadi sumber kalori utama untuk seluruh aktivitas tubuh manusia. Namun, jika berlebihan, maka akan memperberat kerja ginjal --sama halnya dengan garam. Singkatnya, apabila hal seperti ini terjadi terus-menerus dan dalam waktu yang lama, maka fungsi ginjal akan semakin menurun secara signifikan. Pada tahap lanjut akan membuat gagal ginjal yang memerlukan terapi cuci darah.
Lalu, mengapa rata-rata orang mengalami kegagalan mencapai tujuan jangka panjang, terutama terkait kesehatan? Terdapat sebuah "teori perilaku" yang menjelaskannya. Para pakar menyebutnya sebagai teori overdiscounting, merujuk pada kecenderungan seseorang untuk memberi bobot yang terlalu besar pada imbalan yang diterima saat ini ketimbang manfaat masa depan. Contoh sederhana, kenikmatan makan donat yang manis lezat pada saat ini sering lebih diutamakan daripada mengorbankannya demi manfaat kesehatan di masa depan (Atomic Habits, James Clear, 2018). Namun, perilaku seperti ini tetap tidak rasional dan perlu disingkirkan.
Makanan Kalori Kosong
Mungkin beberapa di antara kita, secara konyol, mengira istilah makanan kalori kosong (empty calorie foods) adalah makanan yang dapat dikonsumsi secara bebas tanpa feeling guilty, sebab dianggap tidak memberikan efek kelebihan kalori ke dalam tubuh. Kita menyamakannya dengan terminologi makanan nol kalori (zero calorie foods). Tentu ini sebuah kekeliruan yang fundamental.
Pasalnya, makanan kalori kosong adalah makanan atau minuman yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri dari makronutrien tinggi kalori seperti gula dan lemak, namun sedikit sekali atau bahkan tidak mengandung mikronutrien penting seperti vitamin dan mineral, serat, serta protein.
Sederhananya, makanan dan minuman yang tidak mengandung nutrisi penting tetapi berkalori tinggi disebut sebagai "kalori kosong". Hal ini juga menjadi ciri utama makanan ultra-olahan atau Ultra Processed Food/UPF, makanan yang di awal artikel ini disebut sebagai makanan yang tidak sehat, karena sering makanan dirancang untuk memaksimalkan kepuasan rasa semata, tanpa memperhatikan nilai gizinya, sehingga konsumsinya jelas harus dibatasi.
Merujuk pada NOVA Classification System (Monteiro et al., 2019), UPF merupakan makanan golongan keempat hasil pengelompokan produk makanan berdasarkan tingkat dan tujuan pengolahannya. Contohnya minuman manis, jus manis, minuman ringan berkarbonasi, sereal anak-anak, keripik berperisa, mie instan, burger, nuget ayam, dan hampir semua es krim komersial. Kelompok makanan yang sangat disukai konsumen anak-anak hingga dewasa.
Jenis makanan tersebut termasuk tidak sehat, tinggi kalori, gula, garam dan lemak, yang saat ini sangat mudah dijumpai di semua gerai ritel modern, warung, maupun gerai cepat saji di seluruh pelosok Indonesia. Sementara itu, tiga golongan lainnya dipahami sebagai makanan yang lebih sehat.
Dalam artikel berjudul Regulating the Food Industry: An Aspirational Agenda di American Journal of Public Health (2022), Marion Nestle, seorang Guru Besar (Emeritus) bidang Gizi dan Kesehatan Masyarakat di New York University, secara tegas memaparkan bahwa makanan ultra-olahan yang saat ini dipasarkan secara agresif, beredar sangat luas dan dikonsumsi masyarakat dunia, secara sadar diformulasikan supaya benar-benar nikmat dimakan, begitu menggoda selera, akibatnya orang ingin terus mengonsumsinya (hyperpalatable). Umumnya UPF kurang bergizi, diformulasikan dengan bahan-bahan tambahan pangan yang diproduksi dalam skala industri seperti pemanis, perisa, dan pewarna.
Sementara itu, makanan nol kalori memiliki kandungan kalori yang sangat rendah atau bahkan nihil kalori. namun terkadang tubuh justru mengeluarkan energi untuk mencerna atau menyerapnya seperti serat. Contoh lainnya yaitu air, vitamin, mineral, serta fitonutrien, yang secara umum dinilai lebih sehat.
Pembatasan Konsumsi Gula
Terkait makanan sehat, kehadiran negara tentu tidak cukup di level produksi peraturan saja. Sebab, sudah banyak peraturan yang sangat tegas, bagus dan lengkap, hanya saja penegakannya tampak masih terlalu lemah bak macan ompong.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28/2024 merupakan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Pasal-pasalnya sangat rinci dan jelas, misalnya Pasal 195 terkait larangan iklan bagi produk makanan melebihi ketentuan batas maksimum kandungan gula, garam, dan lemak. Masyarakat menunggu aturan ini benar-benar "ditegakkan" agar segera bisa dirasakan dampaknya.
Selain itu, negara semestinya juga segera hadir dengan memberlakukan pembatasan konsumsi gula melalui instrumen fiskal berupa penerapan cukai minuman berpemanis, yang nyatanya sudah delapan tahun tertunda sejak diwacanakan 2016 lalu.
Namun, menunggu "kehadiran" negara terkadang membuat kita frustrasi. Padahal kalori kosong harus secepatnya kita hindari. Maka, gunakanlah hak sekaligus kesadaran kita dalam memilih makanan sehat, yang terbukti baik untuk saat ini apalagi untuk masa depan. Vote with your fork. Mari mulai berdayakan diri sendiri dengan menjadi konsumen yang rasional.
Sunardi Siswodiharjo peminat Kajian Gizi dan Kesehatan Masyarakat, tinggal di Kota Malang