Indonesia telah menapaki 79 tahun kemerdekaan sejak 1945. Jelaslah ini suatu perjalanan panjang yang sarat dengan dinamika. Selama kurun waktu tersebut, bangsa ini tidak hanya berjuang mempertahankan kedaulatan fisik, tetapi juga membangun fondasi bagi kebebasan berpikir dan berekspresi.
Kemerdekaan bukan hanya soal terlepas dari penjajahan kolonial, melainkan pula tentang membuka ruang bagi rakyat untuk merdeka dalam pikiran dan ekspresi. Pada awal kemerdekaan, Indonesia menghadapi berbagai tantangan internal, termasuk konflik ideologis yang membentuk dinamika politik saat itu. Kebebasan berpikir menjadi perjuangan di tengah perdebatan mengenai identitas nasional dan arah bangsa yang baru merdeka.
Episode era Orde Lama menandai masa di mana ideologi negara menjadi pusat, tetapi sering kali kebebasan berpikir dan berekspresi dikorbankan demi stabilitas nasional. Kemudian episode Orde Baru menjadi babak baru di mana kebebasan berpikir dibatasi lebih ketat. Pemerintah Orde Baru acap memberlakukan kontrol ketat terhadap media dan kebebasan berpendapat, memaksa rakyat tunduk pada narasi tunggal yang dikendalikan negara. Kebebasan berpikir hanya dimiliki oleh segelintir elite yang mampu mengelola pemikiran dalam ruang terbatas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas periode Reformasi 1998 membawa angin segar bagi kebebasan berpikir dan berekspresi. Membuka pintu bagi demokratisasi yang lebih luas, di mana rakyat lebih bebas menyuarakan pendapat dan mengekspresikan pikiran tanpa takut represi. Kebangkitan media sosial pada era digital juga memperluas ruang diskursus publik, memungkinkan setiap orang berkontribusi dalam membentuk opini.
Meski begitu, kebebasan ini datang dengan tantangan baru. Kebebasan berpikir sering kali diuji oleh regulasi dan undang-undang yang kadang dianggap membatasi hak ini, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Polarisasi sosial dan politik yang semakin tajam juga menjadi ancaman bagi kebebasan berpikir, di mana perbedaan pendapat dapat memicu ketegangan dan konflik di masyarakat.
Transformasi yang Mencolok
Selama 79 tahun sejak kemerdekaannya, kebebasan berpikir di Indonesia telah mengalami transformasi yang mencolok, seiring dengan perubahan politik dan perkembangan sosial yang terjadi.
Sebagai salah satu pilar utama demokrasi, kebebasan berpikir melalui berbagai fase yang mencerminkan kondisi politik dan kebijakan negara. Dari era Orde Baru yang represif hingga era Reformasi yang lebih terbuka, perjalanan ini menegaskan pentingnya kebebasan berpikir dalam memperkuat demokrasi di Indonesia.
Reformasi 1998 menandai titik balik penting dalam sejarah kebebasan berpikir di Indonesia. Kejatuhan Orde Baru membuka jalan bagi demokratisasi yang lebih luas, di mana kebebasan berpikir mulai lebih diakui dan dihargai.
Reformasi ini tidak hanya membawa perubahan dalam struktur politik, tetapi juga menciptakan iklim yang lebih kondusif bagi pemikiran kritis dan kebebasan berpendapat. Media massa menjadi lebih bebas, dan masyarakat dapat menyuarakan opini mereka tanpa takut akan represi. Ini merupakan perubahan yang signifikan dari masa sebelumnya, di mana kebebasan berpikir sangat dibatasi oleh pemerintah.
Dengan munculnya berbagai platform media sosial pada era digital, ruang bagi kebebasan berpikir di Indonesia semakin meluas. Media sosial menyediakan platform bagi individu untuk menyuarakan opini dan berpikir secara bebas. Transformasi ini mengubah dinamika kebebasan berpikir, di mana masyarakat tidak lagi bergantung pada media tradisional untuk mengekspresikan pandangan mereka.
Dengan akses yang mudah dan jangkauan yang luas, media sosial memungkinkan terjadinya diskursus publik yang lebih dinamis dan beragam, di mana berbagai perspektif dapat saling bertukar dan berdialog. Namun, kebebasan ini tidak datang tanpa tantangan. Ancaman terhadap kebebasan berpendapat tetap ada, seperti yang terlihat dalam penerapan UU ITE.
UU tersebut sering digunakan untuk menindak ujaran di media sosial, yang dapat menimbulkan efek ketakutan di kalangan masyarakat untuk mengekspresikan pendapat mereka secara bebas. Selain itu, meningkatnya polarisasi di masyarakat, baik dalam aspek politik maupun sosial, juga menjadi tantangan yang menghambat diskursus yang sehat dan rasional.
Polarisasi tersebut sering menciptakan jurang yang dalam antara kelompok-kelompok dengan pandangan yang berbeda, sehingga sulit untuk mencapai konsensus atau dialog yang konstruktif. Padahal transformasi kebebasan pemikiran di Indonesia adalah cerminan dari perjalanan demokrasi yang kompleks dan dinamis. Kebebasan berpikir harus terus dijaga dan dikembangkan agar dapat menjadi landasan bagi demokrasi yang sehat dan inklusif.
Di tengah tantangan yang ada, penting bagi masyarakat untuk terus memperjuangkan kebebasan berpikir dan berekspresi, karena hanya dengan demikian demokrasi Indonesia dapat berkembang dan memberikan manfaat maksimal bagi seluruh rakyatnya.
Refleksi dan Tantangan Ke Depan
Merefleksikan 79 tahun kemerdekaan Indonesia, bagaimanapun kita melihat banyak pencapaian yang membanggakan, terutama dalam hal kebebasan berpikir dan berekspresi. Sejak Proklamasi Kemerdekaan pada 1945, bangsa ini telah menempuh perjalanan panjang yang sarat perjuangan untuk mempertahankan dan memperluas ruang kebebasan tersebut.
Salah satu pencapaian utama selama hampir delapan dekade ini adalah berkembangnya ruang untuk kebebasan berpikir dan berekspresi. Dalam kerangka demokrasi, kebebasan ini menjadi pilar yang memungkinkan masyarakat berpartisipasi aktif dalam diskursus publik, menyuarakan pendapat, serta berkontribusi dalam pembentukan kebijakan negara.
Reformasi yang dimulai pada 1998 menjadi titik balik penting, membuka jalan bagi keterbukaan dan demokrasi yang lebih inklusif. Media massa dan media sosial telah memainkan peran sentral dalam memperluas ruang kebebasan ini, sehingga menciptakan platform bagi berbagai suara dan pandangan yang sebelumnya terpinggirkan.
Bersamaan dengan kemajuan tersebut, muncul pula tantangan-tantangan baru yang tidak boleh diabaikan. Salah satu tantangan utama adalah pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas. Untuk memastikan bahwa kebebasan berpikir dapat terus berkembang, Indonesia harus menitikberatkan pada pengembangan pendidikan yang mendorong pemikiran kritis dan kreatif. Pendidikan yang mengajarkan kemampuan berpikir analitis dan mandiri sangat penting bagi generasi muda.
Selain itu, penegakan hukum yang adil merupakan faktor kunci dalam menjaga kebebasan berpikir dan berekspresi. Hukum harus melindungi hak-hak individu untuk menyuarakan pendapat tanpa rasa takut akan represi atau kriminalisasi yang tidak adil. Namun, kebebasan ini harus diiringi dengan tanggung jawab sosial yang besar. Kebebasan berekspresi tidak boleh disalahgunakan untuk menyebarkan hoaks, memicu konflik, atau merusak kohesi sosial.
Oleh karena itu, pengembangan regulasi yang melindungi kebebasan ini sambil mencegah penyalahgunaannya menjadi sangat penting. Ke depan, Indonesia harus terus mempertahankan semangat kemerdekaan yang mempromosikan kebebasan berpikir dan berekspresi. Pembangunan pendidikan yang berorientasi pada pemikiran kritis, penegakan hukum yang adil, serta kesadaran akan tanggung jawab sosial merupakan langkah-langkah strategis yang harus diambil.
Dengan menjaga keseimbangan ini, Indonesia dapat terus berkembang sebagai bangsa yang merdeka tidak hanya secara fisik, tetapi juga dalam berpikir dan berkarya, menuju masa depan yang lebih adil, inklusif, dan berdaya saing tinggi.
Zackir L Makmur anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC)