Pilkada, Calon Tunggal, dan Demokrasi Tanpa Kompetisi

Kolom

Pilkada, Calon Tunggal, dan Demokrasi Tanpa Kompetisi

Muhammad Hanif Mahsabihul Ardhi - detikNews
Senin, 19 Agu 2024 14:15 WIB
ardhi
Muhammad Hanif Mahsabihul Ardhi (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -
Selesainya perhelatan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024, kini bangsa Indonesia kembali disibukkan dengan pemilihan kepala daerah baik untuk gubernur dan wakil gubernur maupun untuk bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota yang dilakukan secara serentak di seluruh wilayah republik Indonesia pada November mendatang. Residu dari pemilihan presiden dan wakil presiden yang lalu tak terelakkan untuk merambat ke kontestasi pemilihan kepala daerah di provinsi atau kabupaten/kota.

Memasuki Agustus 2024 partai politik kian sibuk untuk mempersiapkan kadernya untuk ikut berkontestasi dalam pemilihan kepala daerah. Kendatipun demikian, adanya ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah menyebabkan partai politik di beberapa daerah tertentu tidak bisa mencalonkan sendiri, sehingga mengharuskan partai politik untuk menjalin koalisi dengan partai politik yang lain. Akibatnya, konfigurasi politik dalam koalisi pemilihan presiden dan wakil presiden yang lalu serupa terbentuk dalam koalisi pemilihan kepala daerah di beberapa daerah tertentu, terutama koalisi partai politik presiden dan wakil presiden terpilih.

Namun, tidak menutup kemungkinan juga untuk menambah partai politik yang lain sebagai teman baru dalam koalisi. Sebagai partai politik, mereka ingin menang di setiap kontestasi pemilihan kepala daerah, apalagi koalisi partai politik presiden dan wakil presiden terpilih bahkan harus menang untuk mendukung program presiden dan wakil presiden nantinya di daerah. Maka upaya menarik sebanyak mungkin teman baru dalam koalisi menjadi hal yang lumrah untuk dilakukan, termasuk mencoba menciptakan calon tunggal untuk lebih memastikan sebuah kemenangan.

Calon Tunggal Terus Bertambah

Fenomena calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia bukan suatu hal yang baru. Pada Pemilihan Kepala Daerah 2015 sampai dengan 2020 yang lalu, calon tunggal selalu ada dan jumlahnya terus bertambah. Adanya calon tunggal tidak lepas dari aturan yang memperbolehkan atau membuka ruang dalam pemilihan kepala daerah.

Pasal 54C Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) mengatur calon tunggal dimungkinkan jika tak ada lagi pasangan lain yang mendaftar hingga berakhirnya masa penundaan dan berakhirnya masa perpanjangan pendaftaran.

Pasal 54C ayat (1) huruf a mengatakan, Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dalam hal memenuhi kondisi: a. setelah dilakukan penundaan dan sampai dengan berakhirnya masa perpanjangan pendaftaran, hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang mendaftar dan berdasarkan hasil penelitian pasangan calon tersebut dinyatakan memenuhi syarat. UU Pilkada juga mengatur calon tunggal bisa terjadi jika terdapat kondisi awalnya ada lebih dari satu calon yang mendaftar, namun hanya ada satu pasangan yang dinyatakan memenuhi syarat oleh KPU.

Pasal 54C ayat (1) huruf b mengatakan, Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dalam hal memenuhi kondisi : b. terdapat lebih dari 1 (satu) pasangan calon yang mendaftar dan berdasarkan hasil penelitian hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang dinyatakan memenuhi syarat dan setelah dilakukan penundaan sampai dengan berakhirnya masa pembukaan kembali pendaftaran tidak terdapat pasangan calon yang mendaftar atau pasangan calon yang mendaftar berdasarkan hasil penelitian dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon.

Aturan calon tunggal yang berlaku dalam pemilihan kepala daerah lebih longgar daripada aturan calon tunggal yang ada dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Dalam konteks pemilihan presiden dan wakil presiden sebagaimana dalam UU Pemilu, KPU berhak untuk menolak pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam hal pendaftaran 1 (satu) pasangan calon diajukan oleh gabungan dari seluruh partai politik peserta pemilu atau 1 (satu) pasangan calon diajukan oleh gabungan partai politik peserta pemilu yang mengakibatkan gabungan partai politik peserta pemilu lainnya tidak dapat mendaftarkan pasangan calon.

Selain itu juga ada sanksi terhadap partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat untuk mengajukan pasangan calon, namun partai politik tersebut tidak mengajukan pasangan calon dikenai sanksi tidak dapat mengikuti pemilu berikutnya. Walaupun memang pada akhirnya pasangan calon tunggal dalam pemilihan presiden dan wakil presiden juga masih dimungkinkan terjadi. Namun setidaknya aturan yang ada dalam UU Pemilu untuk menghadirkan calon tunggal pada pemilihan presiden dan wakil presiden lebih ketat dibandingkan dengan yang ada dalam UU Pilkada dalam pemilihan kepala daerah.

Kompetisi Kehilangan Makna

Dalam konteks negara demokrasi seyogianya tidak diberikan celah untuk dapat menghadirkan calon tunggal dalam kontestasi pemilihan umum, juga mestinya tidak ada aturan yang membatasi partai politik dalam mengusulkan pasangan calon agar calon yang dihadirkan lebih variatif.

Semua orang mengetahui bahwa hubungan antara demokrasi dan pemilu dapat dirangkai dalam kalimat "tiada demokrasi tanpa pemilu." Teoritikus demokrasi menekankan pada adanya kompetisi dan partisipasi dalam setiap proses sirkulasi kekuasaan, termasuk proses sirkulasi kekuasaan di daerah. Dalam hal ini pemilu pada hakikatnya adalah sebuah kompetisi untuk mendapatkan kekuasaan. Hal ini sejalan dengan ciri utama pemilu yang demokratis adalah sifatnya yang kompetitif dalam arti memberikan peluang sebanyak-banyaknya kepada setiap warga negara untuk ikut berkompetisi di dalamnya.

Fenomena calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah mencerminkan praktik demokrasi yang tidak berjalan dengan baik, di mana kesempatan untuk berkompetisi menjadi sangat terbatas. Ketika hanya ada satu calon, maka esensi pemilihan umum yang seharusnya menjadi arena bagi warga negara untuk berpartisipasi dan bersaing dalam meraih kekuasaan justru kehilangan maknanya.

Tak hanya itu, fenomena calon tunggal juga dapat mengakibatkan ketidakpuasan masyarakat. Ketika pemilih merasa tidak ada pilihan lain, maka dapat mengurangi minat dan partisipasi mereka dalam proses politik, yang pada akhirnya berdampak negatif pada legitimasi pemerintah daerah.

Secara keseluruhan, fenomena calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah menegaskan bahwa tanpa kompetisi, pemilu tidak dapat dianggap sebagai perwujudan demokrasi yang sejati. Dengan demikian, adanya calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah seharusnya menjadi perhatian serius bagi pembuat kebijakan, termasuk partai politik dan masyarakat untuk memastikan bahwa prinsip demokrasi, kompetisi, dan partisipasi tetap terjaga dan diimplementasikan dengan baik.

Muhammad Hanif Mahsabihul Ardhi mahasiswa Magister Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads