Dari Aceh Hingga Demokrasi di Indonesia

Pustaka

Dari Aceh Hingga Demokrasi di Indonesia

Muhammad Nizarullah - detikNews
Jumat, 16 Agu 2024 17:10 WIB
sejarah mati
Jakarta -

Judul Buku: Sejarah Mati di Kampung Kami: Catatan tentang Aceh, Jurnalisme, dan Demokrasi; Penulis: Nezar Patria; Penerbit: Tanda Baca, 2023; Tebal: v + 204 hal

Nezar Patria, pria asal Aceh, seorang aktivis pro-demokrasi, jurnalis, penyair, penulis, penyintas peristiwa 1998, dan kini menjadi Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Buku berjudul Sejarah Mati di kampung Kami ini merupakan kumpulan 29 artikel yang ditulis Nezar dan sudah terbit di pelbagai media.

Sampul buku digambarkan oleh suasana yang mencekam, membuat orang yang memandang merasa hadir di tempat kejadian itu. Sebuah perahu nelayan terapung di atas sebuah rumah yang luluh lantak oleh terjangan tsunami Aceh pada 2004 silam. Sekilas terlihat angker, dengan kayu yang bertebaran, rumah yang tidak lagi memiliki bentuk layaknya rumah, dan tanah yang meronta untuk disembuhkan kembali.

Di sudut terlihat seorang pria paruh baya di balik sampul yang terlipat ke dalam sedang memandang perahu yang terapung itu. Tertulis di atasnya, "Bau laut kini tercium sampai ke bekas permukiman warga kota yang porak-poranda itu. Pahit. Saya mendadak kehilangan ruang. Dan juga sejarah."

Pengantar buku ini tersambut oleh Leila S. Chudori, penulis novel trilogi best seller saat ini, Pulang, Laut bercerita, dan Namaku Alam. Leila dalam kata pengantarnya menjelaskan siapa Nezar Patria. Menurutnya, Nezar adalah seorang pencatat sejarah; ia berkisah sedalam-dalamnya di balik berita. Kebayakan tema yang ditulis dalam buku ini bergaya jurnalistik sebagian lagi dalam bentuk kolom. Bagi Leila, apapun bentuknya, Nezar selalu menambahkan catatan sejarah yang tak selalu muncul dalam buku sejarah resmi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Buku ini berkisah tentang perjalanan Nezar Patria di Aceh, pelanggaran HAM yang dialaminya semasa Orde Baru, hingga keresahannya dalam jurnalisme.

Catatan tentang Aceh

Artikel pertama berjudul Sejarah Mati di Kampung Kami yang kemudian menjadi judul buku. Seperti gaya tulisannya di pelbagai media, Nezar menggunakan teknik jurnalisme sastrawi dalam hampir semua tulisannya untuk "menyihir" pembaca. Nezar membuka paragraf pertama dengan menggambarkan perasaannya ketika melihat rumah yang dulu ditempatinya kini hancur berkeping-keping.

ADVERTISEMENT

Tak terbayangkan: rumah itu kini musnah! Sebulan lalu saya masih tidur nyenyak di lotengnya. Kini tinggal selembar dinding beton menuding langit. Gentengnya entah terbang kemana. Tingkap di lantai atas tak lagi berdaun. Kusen pintu meregang. Di ruang tamu, kursi-kursi jungkir balik berselimut lumpur legam. Satu pot keramik Cina warisan keluarga hancur berkeping. (Hal. 1)

Pembuka paragrafnya selalu bisa membuat orang tersenyum saat mulai membaca tulisannya. Nezar selalu mampu mengajak pembaca untuk menyusuri lorong-lorong pemikirannya. Dalam artikel pertama ini, ia mengajak pembaca untuk menyelam dalam cerita yang ia gambarkan, seolah pembaca sedang menyaksikan keadaan mencekam itu.

Buku ini bukan sekadar kumpulan esai dan laporan jurnalistiknya, melainkan sebuah eksplorasi yang dikemas dengan santai tentang hak asasi manusia, demokrasi, dan Aceh. Melalui teknik yang menggelitik namun informatif, Nezar mengajak pembaca untuk menyusuri lorong-lorong sejarah Aceh yang kompleks, sambil merefleksikan peran jurnalisme dalam membentuk narasi tentang daerah yang pernah dilanda konflik berkepanjangan ini.

Beralih ke artikel kedua dalam buku ini bertajuk Sepotong Jalan Bertabur Azab. Bercerita tentang tsunami yang melanda Aceh. Lagi-lagi Nezar yang cukup lama berkecimpung di Majalah Tempo, bercerita di balik berita. Fakta yang ia temukan di lapangan, dikemas senaratif mungkin agar pembaca larut dalam suasana yang sedang diamati.

Setahun yang lalu, amuk tsunami melantak habis pantai barat Aceh itu. Kini tak ada lagi jalan, jembatan, dan kebun kelapa. Kampung-kampung tumpas bersama warganya. Jajaran kedai di Lambusoi hilang tak berbekas. Jembatan tercerabut dari fondasinya, bajanya rompal digasak ombak gergasi. Hanya tersisa dua beton besar penyangga jembatan, tecagak di bibir muara, seperti saksi bisu. Bahkan aspal pun terkupas rapi dicukur tsunami. (Hal. 9)

Lihat, bagaimana Nezar menggambarkan suatu peristiwa. Kiasan yang sempurna ikut menghiasi tulisannya yang kaya informasi. Dengan gampang pembaca dapat membayangkan peristiwa yang dirajutnya. Inilah salah satu magis dalam pelbagai tulisannya, terutama dalam buku ini. Nuansa emosional yang ia ciptakan membuat pembaca bisa merasakan semangat, harapan, juga kegelisahan kehilangan sejarah yang dulu dirasakan di kampung Lambusoi, Aceh Jaya.

Bagi saya, salah satu artikel paling menarik dalam buku ini bertajuk Perginya Sang Wali Terakhir. Tulisan ini pernah diterbitkan dalam buku The Price of Freedom: The Unfinished Story of Teungku Hasan di Tiro. Nezar menarasikan perjalanan sang Wali sejak masih di Stocholm, Swedia, hingga kembali ke tanah kelahirannya. Bersama dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Hasan memimpin gerakan itu untuk memperjuangkan kemerdekaan yang dia anggap pantas didapatkan oleh rakyat Aceh. Namun, saat Hasan Tiro berkunjung ke Istana Perdamaian di Den Haag, ia mendapatkan jawaban yang mengecewakan dari Menteri Luar Negeri Belanda. "Masalah Aceh sudah selesai dengan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia pada tahun 1949."

Konflik bersenjata yang berkepanjangan di tanah rencong itu berakhir di meja perundingan di Helsinki. Martti Artisaari, presiden Finlandia saat itu menjadi mediator dalam perdamaian antara GAM dan RI. Dalam salah satu artikelnya dalam buku ini berjudul Yang Berganti Seperti Musim, Nezar menggambarkan suasana yang sedang terjadi saat perundingan MOU Helsinki dengan begitu antusias. Ia ingin menceritakan kepada publik bahwa kedua belah pihak saling ikhlas dalam penekenan MOU Helsinki itu. Tergambar dari Nezar bercerita.

Tak ada lagi muka yang berkerut tegang. Malik Mahmud yang merupakan delegasi GAM juga tak berbicara garang." Ditutup oleh pidato Menteri Hamid, "Pat ujeun han pirang, pat prang tan reda." Tak ada hujan yang tak reda, tak ada perang yang tak berakhir. Dua belas ribu kilometer lebih jauhnya, ratusan ribu mata di Aceh menyaksikan langsung acara itu di layar kaca. Di mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, warga tumpah-ruah menonton bersama di televisi. Mereka tersenyum. Mereka menangis. Di Aceh, perang dan damai berganti seperti musim. (Hal. 63)

Di sisi lain, bakat kewartawanan yang sudah dimiliki Nezar sejak dulu hingga ia bergabung dengan Tempo pada 1998, ia tuang dalam meliput peristiwa yang terjadi di bukit Peudawa, Aceh Timur. Nezar menceritakan pembebasan Ferry Santoro dalam sebuah misi negosiasi pembebasan juru kamera RCTI yang disandera GAM sejak Juni 2003. Tiba-tiba ada nyala senter menembus daun nipah. Cahayanya berkedip-kedip. Ternyata itu kode dari Ishak Daud yang berada dalam posisi siaga di bukit sebelah. Jek tersenyum. "Perang batal. Kita masuk zona damai lagi," katanya. (Hal. 52)

Catatan tentang Demokrasi

Nezar tak hanya sebagai pencatat --yang mampu menghadirkan narasi yang sublim, sehingga pembaca merasakan nuansa langsung di tempat kejadian-- tetapi juga sebagai pelaku sejarah yang mampu menangkap setiap detail kejadian, dan menceritakan rentetan peristiwa yang sedang bergolak di lokasi kejadian dengan menggunakan seluruh indranya.

Gaya penulisan Nezar yang memberikan sentuhan tersendiri pada buku ini. Ia mampu menggambarkan situasi yang kompleks dengan bahasa yang mudah dipahami, namun tetap memiliki kedalaman analisis. Penggunaan metafora dan anekdot yang tepat membuat narasi menjadi lebih hidup dan memikat. Nezar bukan saja merekam peristiwa yang terjadi di Aceh, tanah kelahirannya, tetapi ia juga mencatat peristiwa penting yang terjadi di republik ini. Contohnya saja dia mengisahkan pengalaman pribadinya saat diculik, disekap, dan disiksa oleh aparat pada Maret 1998 dalam artikel berjudul Di Kuil Penyiksaan Orde Baru.

Klik. Suara pistol yang dikokang yang ditempelkan ke pelipis saya. "Sudah siap mati?" bisik si penculik. Saat itu mungkin matahari sudah terbenam. Saya diam. "Sana berdoa!" Kerongkongan saya tercekat. Ajal terasa lebih begitu dekat. Tak seorang keluarga pun tahu bahwa hidup saya berakhir disini. Saya pasrah. Saya berdoa agar jalan kematian ini tak begitu menyakitkan. Tapi eksekusi itu batal. Hanya ada ancaman bahwa mereka akan memantau kami di mana saja. Akhirnya kami dibawa ke suatu tempat. (Hal. 191-192)

Catatan tentang Jurnalisme

Buku ini bukan sebuah novel, bisa dibaca secara acak sesuai minat pembaca. Tulisan yang ringan dan berbobot membuat pembaca tidak cepat bosen dalam menyusuri labirin pikirannya. Nezar selalu saja bisa membuat pembacanya merekahkan senyum. Entah karena senang dengan gaya bahasa yang digunakan atau karena cerita yang menarik.

Misalnya saat Nezar menarik benang merah antara jurnalisme dengan filsafat. Menurutnya jurnalisme dan filsafat itu jauh, tapi juga dekat. Ia kemudian menghubungkan kedua disiplin ilmu itu dengan bahasa yang mudah dipahami. Filsafat dan jurnalisme memiliki tugas yang sama. Filsafat memperkaya kebenaran, dan jurnalisme melaporkan kebenaran. Nezar menjelaskan secara gamblang peran kedua disiplin ilmu itu dalam artikel dalam bertajuk Filsafat dan Jurnalisme: Pencarian Makna di balik Berita.

Menurut Nezar filsafat dan jurnalisme adalah hubungan yang ragu-ragu, karena jurnalisme selalu berkutik pada fakta dan filsafat selalu mengulik beragam fakta, data dan realitas. Meski demikian, filsafat menjadi lampu sorot bagi jurnalisme. Perannya dalam jurnalisme adalah memahami realitas secara lebih mendalam. Filsafat dapat memberikan semacam peta, atau bahkan membongkar apa ayang telah diyakini oleh jurnalime sebagai suatu yang mapan.... (Hal. 123)

Meskipun buku ini kaya akan informasi dan analisis, Nezar berhasil menghindari jebakan untuk menjadikan bukunya sebagai teks akademis yang kering. Ia dengan cerdik menyisipkan fakta-fakta sejarah dan data yang ia kumpulkan ke dalam narasi santai ber-genre sastra. sehingga informasi tersebut terasa lebih mudah dicerna dan relevan. Dalam setiap tulisannya, Nezar selalu mengedepankan etika jurnalistik yang membuat tulisannya tetap kredibel.

Saat saya menulis resensi ini, saya mencoba untuk menemukan klasifikasi tema yang ia angkat. Tapi, saya hanya bisa mengklasifikasi dengan melihat judul dan membaca isi dari artikel. Tidak ada mengelompokkan topik besar seperti yang ia branding di sampul buku, Catatan tentang Aceh, Jurnalisme, dan Demokrasi. Di balik kekurangan itu, keseluruhan buku ini dengan penyajian fakta, data, dan narasi yang Nezar kembangkan mampu menarik minat pembaca kian melambung.

Kesimpulannya, Sejarah Mati di Kampung Kami: Catatan tentang Aceh, Jurnalisme, dan Demokrasi karya Nezar Patria adalah sebuah kontribusi penting dalam memahami dinamika sosial-politik di Aceh, keberlangsungan demokrasi di republik ini, dan peran jurnalisme dalam konteks yang lebih luas. Buku ini tidak hanya relevan bagi mereka yang tertarik pada isu-isu Aceh, tetapi juga bagi siapa saja yang ingin memahami lebih dalam tentang tantangan menjadi jurnalis dan catatan demokrasi di Indonesia.

Dengan narasi yang kuat, analisis yang tajam, dan refleksi personal yang mendalam, buku ini layak dibaca oleh para jurnalis, aktivis, akademisi, dan siapa saja yang tertarik tentang Aceh, jurnalisme, dan demokrasi di Indonesia. Sejarah Mati di Kampung Kami bukan hanya sebuah catatan pribadi penulis. Lebih dari sekadar itu, buku ini membawa pembaca memasuki ruang suwung yang membawa pikiran pembaca ikut hanyut saat membacanya. Tulisan yang kaya akan data --tapi tidak selalu berkutik pada angka-- dapat ia kemas dalam bentuk sastra.

Muhammad Nizarullah penulis lepas asal Aceh

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads