Serangkaian perdebatan akademis dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sejak Mei hingga Agustus 1945 mengawali penjajakan tentang bangunan Indonesia Merdeka masa depan. Aneka ragam pemikiran dan ideologi terungkap dan terelaborasi di dalamnya, hingga melahirkan dasar negara (philosophisce grondslag) dan pandangan dunia (weltanschauung) yang terangkum dalam lima sila.
Muara perdebatan itu berujung pada momentum proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sukarno dan Hatta adalah figur-figur pelajar dan terdidik yang membawa kesadaran kebangsaan ke ranah politik praktis, memperkenalkan Indonesia di mata dunia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, serta membangun karakter kebangsaan dalam menyongsong perubahan.
Ironi Sistem
Jika ditelusuri lebih dalam, bangunan Indonesia Merdeka sesungguhnya tidak sekadar lahir dari pergolakan fisik, tapi juga pemikiran yang turut menggugah kognisi dan paradigma anak bangsa tentang diri dan lingkungannya. Para tokoh pendiri bangsa yang dimotori oleh kalangan terdidik tidak hanya menyajikan tentang bagaimana pendidikan yang dikenyamnya memproduksi pemikiran, tapi juga karakter kebangsaan yang diwariskan bagi generasi setelahnya.
Karakter itulah yang mewujud dalam nilai-nilai pembebasan dan pemerdekaan. Ironisnya, nilai pembebasan dan pemerdekaan itu cenderung tereduksi pada masa-masa setelahnya. Memasuki era Orde Baru, pola pendidikan justru diwarnai dengan politisasi yang sangat kental. Kaum terdidik dan terpelajar lahir untuk dirinya sendiri, bukan sebagai agen perubahan yang membawa idealisme kemajuan. Jika pun ada, karakter itu hanya muncul secara individual, tidak lahir dari sistem pendidikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mochtar Buchori (1995) mengungkap fenomena historis terkait dengan sistem pendidikan di Indonesia pada periode 1908-1945 dan 1959-1998. Dalam periode 1908-1945 pendidikan diwarnai "semangat melawan dan membebaskan". Sementara pada periode 1959-1998, semangat melawan dan membebaskan tersebut melemah secara sistematis, dan akhirnya menjadi lumpuh, digantikan semangat "mengabdi kepada penguasa".
Kentalnya aroma politik dalam sistem pendidikan nasional bermuara pada insan-insan terpelajar yang lekang saat berhadapan dengan kebutuhan sosial-kemasyarakatan, dan cenderung buta dalam memandang situasi dan kondisi bangsanya. Hal itulah yang pernah disinyalir oleh pemikir Wina, Ivan Illich, yang menganggap sistem pendidikan tidak lepas dari kepentingan penguasa, yang pada akhirnya membuatnya tidak bermuara pada pembebasan manusia (dehumanisasi).
Pendidikan selalu terkait dengan kepentingan politik, termasuk dalam hal penetapan kurikulum (Illich, 1982). Illich kemudian menyarankan agar pendidikan formal ditolak, sebab perolehan ilmu dan pengetahuan hanya dikaitkan dengan keberhasilan formal. Sejak awal, imaginasi peserta didik dilatih untuk menerima jasa pendidikan, bukan nilai yang dituju. Pelembagaan hanya mengakibatkan polusi fisik, polarisasi sosial dan impotensi psikologis.
Pada gilirannya, pendidikan dipandang sebagai kepentingan material, sarana untuk memperoleh keuntungan ekonomi, dan batu loncatan untuk mencari pekerjaan. Pada kenyataannya, sekolah-sekolah menjadi lembaga pendidikan yang membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas dan stratifikasi sosial. Lembaga itu juga bermetamorfosis menjadi industri yang mengikuti logika mesin, di mana peserta didik diberi asupan berbagai macam mata pelajaran yang harus dicerna tanpa perlu analisis.
Pendidik pun layaknya objek dalam proses belajar-mengajar, yang berperan memindahkan sejumlah dalil dan rumus kepada peserta didik tanpa perlu memberikan pengertian tentang pentingnya dalil dan rumus tersebut diajarkan. Alih-alih berharap pada pembebasan dan pemerdekaan, pendidikan justru menghasilkan perasaan takut dan cemas. Sangat jelas terlihat, tatkala mendekati masa-masa ujian, peserta didik dirundung ketakutan dan kecemasan oleh segudang soal yang sulit di hadapan mereka.
Proses Internalisasi
Pasal 3 UU No 2 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan jelas menyebutkan tujuan pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Nilai utama yang terkandung dalam tujuan tersebut adalah pembangunan watak dan karakter kebangsaan (nation character building). Pendidikan harus membantu peserta didik menjadi manusia yang tidak sekadar berpengetahuan, tapi juga berwatak. Tidak hanya bertujuan untuk membangun dirinya sendiri, tapi juga bermanfaat sesama, bangsa, dan negara.
Mohammad Hatta (2012) membedakan pendidikan dan pengajaran. Pendidikan membentuk watak dan karakter, pengajaran memberikan pengetahuan yang dapat digunakan dengan baik oleh peserta didik yang mempunyai karakter. Bagi Hatta, yang utama bukanlah sekolah menengah atau sekolah kejuruan, melainkan watak dan karakter yang terimplementasi dalam pergaulan antarsesama.
Watak dan karakter kebangsaan akan terwujud melalui pemaknaan tentang pendidikan sebagai usaha bersama, di mana relasi antara peserta didik dengan pendidikan serta sistem yang melingkupinya mampu memicu dan memacu kreativitas. Kreativitas itu sendiri akan muncul dari dukungan sistem pendidikan yang membebaskan dan memerdekakan peserta didik. Mereka harus dibebaskan dan dimerdekakan dalam menentukan pilihan-pilihan materi pembelajaran tanpa harus semata bergantung pada kurikulum yang justru sangat mungkin berubah-ubah sesuai kecenderungan kebijakan politik kekuasaan.
Integrasi makna pendidikan dan pengajaran sebagaimana dimaksud Hatta itulah yang mengejawantah dalam paradigma berpikir para pendiri bangsa. Jalan menuju Indonesia Merdeka sejak awal diresapi dan direfleksi dari situasi kebatinan masyarakat yang sedang merindukan kebebasan dan kemerdekaan, meski harus ditempuh dengan palu dan godamnya perjuangan.
Pemahaman utuh tentang karakter kebangsaan yang terekam dalam tradisi Nusantara yang membentang dari Sabang sampai Merauke juga mendasari penolakan atas paham individualisme, liberalisme, maupun kapitalisme. Sebab semua itu bertentangan dengan watak dan karakter kebangsaan Indonesia yang dibangun dari semangat kekeluargaan dan gotong-royong berdasarkan nilai sosial-kemasyarakatan yang berkeadilan dan berkeadaban.
Dalam momen peringatan kemerdekaan ke-79 kali ini, kiranya kita patut untuk kembali merenungkan tentang sejauh mana pendidikan dan pembelajaran mampu menjawab tuntutan zaman. Di tengah persoalan dekadensi perilaku dan nilai yang sedang tergerus dan mendera kalangan terpelajar dan terdidik, tampaknya sistem pendidikan dan pembelajaran memerlukan reorientasi sebagaimana yang diwariskan para pendiri bangsa. Tidak sekadar melahirkan manusia berpengetahuan, tapi lebih dari itu, manusia yang berwatak dan berkarakter kebangsaan dan ke-Indonesia-an.
Adlan Nawawi dosen di Program Pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta