Kurang lebih empat bulan lagi jadwal Munas Golkar akan digelar, dan kurang lebih tiga bulan lagi pergantian presiden akan dilakukan. Adakah korelasi kedua momentum itu dengan banyaknya bacaan publik tentang mundurnya Airlangga Hartarto dari jabatan Ketua Umum Partai Golkar?
Pastinya, membaca politik hari ini tentang Golkar tidak selalu bisa dibaca dengan paradigma positivis yang menempatkan prinsip kausalitas. Namun juga bisa dibaca secara interpretatif konstruktivis berdasarkan kesejarahan Partai Golkar yang selalu tidak bisa tidak berada dalam kekuasaan.
Alasan Mundur
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Stabilitas partai dan transisi pemerintahan yang akan datang seolah menjadi alasan mundurnya Airlangga dari Ketua umum Partai Golkar. Tapi, banyak faktor lain. Dari gonjang-ganjing peristiwa masa lalu tentang pemanggilan Airlangga oleh Kejaksaan Agung, dukungan Golkar pada Gibran sebagai peristiwa politik yang berkaitan dengan politik sandera, sampai pada campur tangan pihak eksternal yang berkaitan dengan desakan Munaslub saat sebelum Golkar mencalonkan Gibran.
Ada juga faktor internal Airlangga sendiri yang ingin fokus pada keluarga atau mengurus tugasnya sebagai menteri.
Perekonomian adalah satu dua tiga atau empat lebih alasan yang bisa dipersepsi publik. Namun sesuai dengan prinsip komunikasi politik itu sendiri yang bersifat sembarang dan manasuka, penerima pesanlah yang memberi makna pada tiap pesan politik --bukan pemberi pesan. Sehingga penerima pesan jugalah yang memberi pembenaran tentang alasan Airlangga mundur dari posisinya sebagai Ketua Umum Partai Golkar tersebut.
Yang jelas, Partai Golkar kembali bergoyang. Ini mengingatkan kita kembali pada peristiwa Munaslub pada Mei 2016 saat Setya Novanto terpilih sebagai ketua umum, padahal saat itu ia terjerat kasus "papa minta saham". Anti klimaks dari perseteruan panjang dualisme kepemimpinan Golkar antara Aburizal Bakrie dan Agung Laksono yang keluar-masuk pengadilan untuk membuktikan salah satu dari merekalah yang sah menjadi pemimpin saat itu, akhirnya selesai oleh Munaslub.
Pada Munaslub saat itu ada Setya Novanto yang didukung Luhut Panjaitan, dan Ade Komarudin yang didukung Jusuf Kalla. Namun, dukungan istana demikian masif. Novanto bisa memperoleh 277 suara dan Ade Komarudin memperoleh 173 suara.
Pertanyaan Publik
Mundurnya Airlangga yang dinyatakan Doli Kurnia karena alasan untuk menjaga soliditas partai justru memunculkan pertanyaan publik, apakah jika Airlangga bertahan menjadi Ketua Umum akan membahayakan soliditas partai? Padahal ia teruji dan terbukti bisa membawa partainya memperoleh suara yang signifikan, setia dalam dukungan pada pemerintah yang tengah berkuasa. Apakah ada kepentingan pihak lain yang bisa mengatur Golkar yang di dalamnya berkelindang juga kepentingan elite Partai Golkar lainnya --lalu untuk menghindari konflik di tubuh Golkar, Airlangga harus mundur?
Mundurnya Airlangga dipastikan akan disusul Munaslub. Dan, peristiwa Munaslub sebelumnya yang memungkinkan campur tangan penguasa juga pasti akan terulang. Kebutuhan berkoalisi dalam kabinet mendatang dan yang terdekat adalah pilkada serentak yang akan digelar di 37 propinsi dan 508 Kabupaten/kota adalah urgensi salah satu tentang mengapa Airlangga mundur. Terutama Pilkada Jakarta, terutama lagi berkaitan dengan isu pencalonan Kaesang.
Keputusan Golkar untuk memajukan Ridwan Kamil menjadi Calon Gubernur Jakarta mungkin tidak aman bagi koalisi partai. Kalau kita baca proposisi Lees Marsment (1969), kebutuhan untuk berkoalisi dalam sistem multipartai yang menganut sistem pemilu proporsional dapat membuat partai harus mengorbankan kepentingan partai, atau paling tidak menahan diri dalam membuat kebijakan yang menarik. Bagi pemilih, sebaliknya, jika terjadi konflik justru peta koalisi bisa berantakan dan peserta koalisi bisa saling mengecam satu sama lain.
Barangkali, Golkar memang harus memilih. Airlangga juga harus memilih. Bahwa menjadi kepentingan akomodatif bagi kekuasaan yang saat ini mereka dukung dan transisi kekuasaan selanjutnya adalah satu-satunya pilihan yang harus dipilih Golkar jika ingin bertahan untuk menjadi bagian dalam kekuasaan. Golkar memang tidak bisa tidak berada dl dalam kekuasaan. Kekuasaan itu begitu menggoda.
Prof. Lely Arrianie Guru Besar Komunikasi Politik LSPR
(mmu/mmu)