IKN, Buruknya Komunikasi, dan Evaluasi Infrastruktur Jokowi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

IKN, Buruknya Komunikasi, dan Evaluasi Infrastruktur Jokowi

Senin, 12 Agu 2024 13:45 WIB
Jan Mealino Ekklesia
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jokowi dan Prabowo di IKN
Presiden Jokowi dan Prabowo di IKN (Foto: Muchlis Jr - Biro Pers Sekretariat Presiden)
Jakarta -

Tak terbayang apa jadinya jika Candi Roro Jonggrang benar-benar dibangun dalam satu malam tanpa bantuan gaib dan hanya bermodal ambisi semata. Siapa pula yang dapat membantah adagium Rome wasn't built in a day? Itulah yang disematkan pada program pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).

Pembangunan IKN yang diproyeksi dengan bahasa ambisius nan megah mulai dibahasakan dengan hati-hati. Baru-baru ini, progres pembangunan infrastruktur tahap pertama IKN yang digadang-gadang telah mencapai 80%, nyatanya baru mencapai 15%. Informasi tersebut memilukan, terlebih lagi cita-cita Presiden Joko Widodo untuk menyelenggarakan upacara 17 Agustus nanti harus dilakukan di IKN.

Dalam pernyataan Presiden, diperlukan 15-20 tahun untuk menyelesaikan IKN. Tentu sebuah angka yang wajar dalam mengembangkan suatu daerah. Lantas, mengapa angka tersebut tidak kita temui pada awal inisiasi IKN? Mengapa hal tersebut seakan-akan memperlihatkan praktik kebijakan yang grasa-grusu dan latah?

Kita dapat menangkap kegalauan pemerintah yang saling gali lubang tutup lubang. Ingar-bingar pembangunan ibu kota baru hanya sebatas peribahasa hangat-hangat tahi ayam. Terlepas dari perhitungan kebijakan yang tidak cermat, terburu-buru, dan ambisius, ada dua masalah yang mungkin tidak dikecap oleh kita sebagai masyarakat, yaitu buruknya komunikasi politik rezim dan Ilusi infrastruktur yang tertanam dalam sanubari rakyat selama 10 tahun terakhir.

Dua Gejala

Buruknya komunikasi politik pejabat kita tak luput dari dua gejala. Pertama, bagaimana institusi-institusi negara formal (suprastruktur) politik menyampaikan pesan-pesan kepada publik. Kedua, bagaimana infrastruktur politik menyampaikan pesan-pesan politik kepada suprastruktur (Setiawan, 2018).

Fokus atas kedua pertanyaan tersebut adalah pesan politik. Pesan politik mengandung bobot politik atau agenda pemerintahan. Setiap pesan politik yang ditujukan kepada publik mengandung efek yang mempengaruhi persepsi bahkan perilaku politik publik.

Habermas, salah satu filsuf sosial yang mengemukakan ruang publik sekaligus mempopulerkan konsep deliberasi dalam politik mengungkap peran vital ruang publik sebagai area yang dihidupi oleh masyarakat sipil (Prasetyo, 2012). Ruang publik berfungsi sebagai intermediari informasi dan sikap antara negara dan individu, antara informasi publik dan informasi privat.

Sebelumnya, terdapat dualisme tentang konsep publik-privat yang diteliti oleh Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Politics (1992). Sekurang-kurangnya, identifikasi tersebut atas tiga bipolaritas (Susen, 2011). Yakni, masyarakat vs individu, keterlihatan vs ketersembunyian, dan keterbukaan vs ketertutupan.

Rupanya, ruang publik merupakan jawaban atas dualisme tersebut yang dimobilisasi oleh diskursus kaum borjuis, meski hal tersebut tidak memiliki batasan yang jelas terkait pertanyaan seputar diskursus apa dan dipengaruhi oleh siapa.

Kembali pada dua pertanyaan awal, penyampaian suprastruktur kepada publik maupun penyampaian aspirasi publik kepada suprastruktur diwadahi oleh pers. Apa yang terjadi akhir-akhir ini mencerminkan tuangan informasi yang remeh-temeh, ambigu, dan cenderung main-main. Tidak ada keterbukaan yang berintegritas dari pola komunikasi pemerintah.

Pemerintah gagal mengemukakan bentuk politik yang dialogis dan setara, yang oleh karenanya ruang publik menjadi alat demokrasi yang bernas. Pers, di satu sisi, lesu dalam menavigasi diskursus politik. Mayoritas media massa beken terutama dalam ruang digital acap mengangkat komunikasi elite yang nirmakna, bahkan tak sedikit yang mengandalkan sensasi belaka.

Politik tidak hanya menjurus ke arah pragmatisme, tetapi sudah menjadi entertainment yang sangat disukai khalayak. Membahas politikus seakan-akan sebagai seorang entertainer (penghibur) sehingga menjadi idol semu ketimbang seorang yang dimandatkan untuk mengentaskan masalah rakyat.

Pembangunan Infrastruktur

Mari kita keluar dari IKN sejenak dan melihat pembangunan infrastruktur lain yang mungkin luput dari perhatian. Hingga 2023, total penambahan jalan era Jokowi hanya sepanjang 30.613 km dengan rincian: jalan nasional sepanjang 592 km, jalan provinsi sepanjang 1.317 km dan jalan kab/kota sepanjang 28.794 km.

Sementara era SBY (2004-2014), total penambahan jalan mencapai 144.825 km. Meski kalah dalam hal pembangunan jalan tol, pembangunan jalan pada era SBY lebih kontekstual melalui, misalnya, pembangunan jalan kab/kota hingga sepanjang 119.618 km.

Pembangunan pelabuhan hingga bandara juga banyak yang tidak disokong oleh masterplan yang baik. Bandara sepi, pelabuhan tanpa akses jalan, hilirisasi tanpa pelibatan masyarakat lokal, dan izin pertambangan berdasarkan intuisi semata.

Anggaran infrastruktur era Jokowi menjadi tertinggi sepanjang pemerintahan Indonesia, yakni tembus Rp 3.779,9 triliun (2015-2022). Sebagai perbandingan, anggaran infrastruktur era SBY hanya mencapai Rp 824,8 triliun (2005-2013)

Angka inefisiensi perekonomian dalam menciptakan output ekonomi yang tertuang dalam Incremental Capital Output Ratio (ICOR) pada era Jokowi tembus 8,16%, jauh di atas era SBY yang hanya sebesar 4,5%.

Di sisi lain, banyak yang mengeluhkan biaya operasi logistik mahal dan lama pada era Jokowi. Biaya logistik tersebut lebih tinggi dari negara-negara ASEAN. Sementara dwelling time (waktu bongkar-muat) di pelabuhan mencapai 2,9 hari, lebih lama dari Singapura (1 hari) dan Malaysia (2 hari).

Memang, ada semacam daya ungkit yang besar yang dapat mendulang perhatian terhadap sistem ekonomi maupun politik. Namun, pembangunan masif tanpa ada kerendahan hati untuk memikul penderitaan rakyat justru menambah konsekuensi kehancuran di masa depan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tidak Boleh Terlena

Pemerintah yang baru tidak boleh terlena oleh pola pemerintah sebelumnya. Pragmatisme yang terlampau hebat dan bias-bias politik yang dengan sengaja mendera akal sehat harus dihentikan. Bukan berarti tidak ada hal baik dalam pemerintahan era Jokowi. Di sisi lain, kinerja dalam mengembangkan wajah Indonesia di mata dunia dengan modernisasi dan kejayaan ekonomi patut diapresiasi.

Pemerintah harus bersikap solutif dengan tetap mengawasi arah visi-misi bangsa, sembari memupuk benih baik yang dapat dipetik oleh generasi mendatang. Jika saat ini kita diperhadapkan oleh buruknya komunikasi politik dan ilusi pembangunan dalam 10 tahun, tidak heran jika letupan perubahan terus-menerus digaungkan, baik secara terbuka maupun sekadar keluhan dalam relung hati rakyat.

Jan Mealino Ekklesia Peneliti Utama WAMESA Policy and Politics dan peneliti P4W IPB


Simak Video: Segini Tarif Menginap di Kamar Hotel Nusantara IKN

ADVERTISEMENT

[Gambas:Video 20detik]




(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads