Memacu Investasi di Pengujung Pemerintahan Jokowi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Memacu Investasi di Pengujung Pemerintahan Jokowi

Senin, 12 Agu 2024 13:04 WIB
Achmad Ali
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Presiden Joko Widodo (kiri) memberikan Golden Visa kepada Pelatih Sepak Bola Tim Nasional Indonesia Shin Tae-yong (keempat kiri) disaksikan oleh Menkum HAM Yasonna Laoly (kedua kiri), Dirjen Imigrasi Kemenkumham Silmy Karim (ketiga kiri), Sekretaris Kabinet Pramono Anung (ketiga kanan), Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan (kedua kanan), dan Menkopolhukam Hadi Tjahjanto (kanan) dalam acara peluncuran Golden Visa di Jakarta, Kamis (25/7/2024). Presiden mengatakan layanan Golden Visa diharapkan dapat memberi kemudahan bagi warga negara asing (WNA) dalam berinvestasi dan berkarya di Indonesia yang menargetkan investor dan pebisnis internasional, talenta global, dan wisatawan mancanegara yang memenuhi kriteria. ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/rwa.
Foto: Erlangga Bregas Prakoso/Antara
Jakarta - Upaya memacu kinerja investasi di pengujung akhir pemerintahan Jokowi kian gencar digenjot. Peningkatan investasi diyakini ikut andil dalam mendongkrak pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam ekonomi makro, investasi juga berperan sebagai salah satu komponen dari pendapatan nasional, Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP). Investasi memiliki hubungan positif dengan PDB atau pendapatan nasional. Jika investasi naik, maka PDB akan naik; begitu juga sebaliknya, saat investasi turun, PDB akan ikut turun.

Dalam konteks yang sama, Harrod-Domar mengemukakan teori yang sangat melegenda bahwa untuk menumbuhkan suatu perekonomian dibutuhkan pembentukan modal sebagai tambahan stok modal. Pembentukan modal tersebut dipandang sebagai pengeluaran yang akan menambah kesanggupan suatu perekonomian untuk menghasilkan barang-barang maupun sebagai pengeluaran yang akan menambah permintaan efektif seluruh masyarakat.

Hal tersebut menuntut adanya investasi untuk menambah kemampuan memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan dalam perekonomian sebagai engine of growth. Oleh karena itu, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan pada umumnya didukung oleh peningkatan ekspor dan investasi.

Lebih jauh Harrod-Domar menekankan pentingnya setiap perekonomian menyisihkan suatu proporsi tertentu dari pendapatan nasionalnya untuk mengganti barang-barang modal (gedung, peralatan, dan material) yang rusak sebagai upaya untuk menumbuhkan perekonomian, sehingga diperlukan investasi-investasi baru sebagai stok penambah modal (Todaro, 2006 dalam Sugiarto, 2019).

Dua Skema Kebijakan

Patut disyukuri, sejauh ini investasi selaku motor penggerak pertumbuhan ekonomi nasional boleh dibilang solid. Setidaknya hal ini terpotret dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS), pada Triwulan I - 2024 periode tahunan (year on year), komponen investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) tercatat tumbuh 3,79 persen (share terhadap PDB 29,31%). Angka pertumbuhan PMTB ini lebih tinggi dibanding periode sama tahun sebelumnya 2,11 persen (share terhadap PDB 29,11%). PMTB tumbuh positif pada seluruh kelompok barang modal, kecuali kendaraan. PMTB fisik mengalami pertumbuhan positif, utamanya untuk pembangunan gedung dan bangunan.

Selain itu, pertumbuhan PMTB didorong oleh peningkatan realisasi investasi penanaman modal asing dan dalam negeri, serta pertumbuhan positif pada modal pemerintah. Bahkan sejumlah lembaga pemeringkat internasional seperti Fitch Ratings, Japan Credit Rating Agency Ltd, dan Moody's mempertahankan peringkat Indonesia pada level layak investasi dengan outlook stabil. Peringkat ini merupakan salah satu bentuk kepercayaan dunia internasional atas stabilitas makroekonomi nasional di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Namun sayangnya, berbagai langkah reformasi struktural dan pembangunan infrastruktur besar-besaran yang dilakukan pemerintah belum mampu menopang perekonomian, setidaknya sudah 11 tahun terakhir ini perekonomian Indonesia stagnan di kisaran 5 persen. Rata-rata pertumbuhan ekonomi selama periode pertama pemerintahan Jokowi (2014 - 2019) adalah 5,03 persen. Sementara rata-rata pertumbuhan ekonomi pada periode kedua pemerintahan Jokowi adalah 5,18 persen.

Tak hanya itu, ekonomi Indonesia masih saja dihadapkan dengan ekonomi biaya tinggi (high cost economy), yang berakar dari praktik korupsi dan biaya logistik yang tinggi. Kendati begitu, pemerintah terus berupaya untuk memacu kinerja perekonomiannya melalui investasi. Paling tidak ada dua skema kebijakan yang kini tengah gencar dilakukan pemerintah dalam memacu kinerja investasi terutama dalam mendorong investor asing untuk mau menanamkan modalnya di tanah air.

Pertama, skema Golden Visa untuk Warga Negara Asing (WNA) yang belum lama ini diluncurkan Presiden Jokowi. Golden Visa, seperti dikutip detikcom (25/7), merupakan langkah strategis yang dapat memberikan dampak positif terhadap sektor pariwisata dan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Selain itu, Golden Visa adalah bentuk baru dari visa rumah kedua (Second Home Visa) yang menargetkan investor dan pebisnis internasional, talenta global, dan wisatawan mancanegara yang memenuhi kriteria. Investor asing pemegang Golden Visa dapat memiliki izin tinggal di Indonesia selama lima hingga 10 tahun dengan persyaratan jumlah investasi tertentu.

Kedua, skema kebijakan pembentukan kantor keluarga atau kerap disebut family office yang hingga kini masih menjadi rancangan dan perbincangan publik, usai Presiden Jokowi memanggil sejumlah menteri dan pejabat keuangan untuk membahas skema pembentukan family office dan mencetuskan untuk membentuk tim pengkajian. Diakui Presiden Jokowi bahwa pemerintah mematok target untuk mampu menarik sekitar 500 milliar dollar AS dana kekelolaan jika family office resmi dibentuk di Indonesia. Adapun dana tersebut merupakan 5 persen dari total 11,7 triliun dollar AS dana kelolaan family office di seluruh dunia.

Senada dengan itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno usai rapat membahas family office bersama Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin(1/7) mengatakan, pembentukan family office akan memberikan nilai tambah, salah satunya pengelolaan investasi aset orang superkaya akan berada di dalam negeri. Ia berharap, Indonesia bisa menawarkan pelayanan serupa kepada orang superkaya, merujuk pada negara yang telah menerapkan lebih dulu.

Pertanyaannya kemudian, mengapa demikian penting kedua skema kebijakan tadi? Akankah kedua skema kebijakan tadi tak sebatas menarik investasi semata dari investor asing, namun mampu menjawab kebutuhan mendesak di dalam negeri, seperti peningkatan layanan kesehatan, akses pendidikan, penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat luas, mengurangi gap antara si kaya dan si miskin, serta pengentasan penduduk miskin ekstrem? Lantas, apa manfaat potensial yang didapatkan dan tantangan yang dihadapi dari skema kebijakan Golden Visa maupun pembentukan family office di Indonesia?

Bagaikan dua sisi mata uang. Dalam konteks skema kebijakan Golden Visa, meminjam pandangan pakar strategi pariwisata nasional Taufan Rahmadi (detikcom, 25/7), ada beberapa aspek penting dari kebijakan ini yang patut diapresiasi. Golden Visa akan meningkatkan daya tarik Indonesia bagi investor asing. Indonesia akan jadi makin seksi buat investasi. Dengan memberikan izin tinggal jangka panjang bagi investor yang menanamkan modal di Indonesia, maka Indonesia dapat menarik lebih banyak investasi asing yang pada gilirannya akan memperkuat ekonomi di destinasi wisata.

Di saat sektor pariwisata maju, investasi akan tumbuh mengikuti. Selain itu, investor yang mendapatkan Golden Visa cenderung akan menghabiskan lebih banyak waktu di Indonesia, sehingga meningkatkan pengeluaran mereka di sektor pariwisata dan hospitality. Namun pemerintah harus memastikan bahwa proses pemberian Golden Visa dilakukan secara ketat dan selektif, untuk memastikan bahwa hanya investor yang benar-benar berkualitas dan memiliki niat baik yang mendapatkan fasilitas ini, sehingga perlu pengawasan yang ketat untuk mencegah potensi penyalahgunaan kebijakan ini. Dengan implementasi yang baik, kebijakan ini dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan pariwisata yang berkelanjutan di Indonesia.

Sementara itu, dalam konteks skema kebijakan family office, di satu sisi, skema pembentukan family office ke depan sudah tentu menuai banyak manfaat dalam mendongkrak investasi di Indonesia. Kehadiran family office diharapkan dapat menarik investasi asing yang signifikan. Dana dari keluarga ultrakaya ini, jika diinvestasikan dengan baik, dapat mendukung berbagai proyek infrastruktur, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan menciptakan lapangan kerja baru.

Dengan adanya family office, pasar keuangan Indonesia dapat menjadi lebih dinamis dan beragam, menarik lebih banyak investor dan profesional keuangan internasional. Hal ini dapat mendorong perkembangan pasar modal dan meningkatkan daya saing sektor keuangan Indonesia di tingkat global. Selain itu, insentif pajak yang diberikan kepada family office diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan kekayaan keluarga ultrakaya (Hen AjoLeda, 2024).

Namun di sisi lain, kebijakan family office setidaknya dapat dilihat secara lebih komprehensif biar tidak memunculkan anggapan dan dugaan negatif. Jangan sampai skema kebijakan family office justru memunculkan persoalan baru seperti memperlebar jurang kesenjangan antara si kaya dan si miskin; kebijakan publik terlalu berfokus pada keuntungan segelintir elite kaya, sehingga kepentingan publik yang lebih prioritas untuk ditangani terabaikan; dan pemberian berbagai insentif dan kemudahan pajak kepada orang kaya, sementara beban ekonomi bagi kelas menengah dan bawah tetap tinggi.

Potensi Negatif Jangka Panjang

Barangkali langkah untuk memacu kinerja investasi melalui skema kebijakan Golden Visa dan pembentukan family office menjadi momentum tepat, namun dengan tetap memperhatikan pertimbangan lain yang lebih mengarah pada aspek esensi yakni memotret potensi dampak negatif jangka panjang. Misalkan saja persoalan ketimpangan atau kesenjangan ekonomi penduduk di Indonesia. Boleh jadi tingkat ketimpangan di Indonesia yang diukur menggunakan gini rasio menurun pada Maret 2024.

Sebagai informasi, BPS mencatat gini rasio dengan rentang 0-1. Semakin tinggi nilai gini rasio, semakin tinggi ketimpangan. Nilai gini rasio pada Maret 2024 tercatat 0,379 atau lebih rendah dibanding periode sama tahun lalu 0,388. Dan, ini menjadi kali pertama tingkat ketimpangan mengalami penurunan sejak Maret 2020.

Catatan penurunan gini rasio tadi patut kita apresiasi, namun di sisi lain terasa miris ketika melihat hasil perkembangan isu ketimpangan yang dipotret menggunakan Google Trends dengan menampilkan isu seperti perbedaan status sosial dan resistensi sosial sebagai respon dari ketimpangan yang terjadi. Obrolan publik dalam jaringan atau daring tentang ketimpangan (kesenjangan) ekonomi yang mengemuka di kalangan masyarakat pada pekan ketiga Juni 2024, menurut data UniTrend, meningkat 6,48 persen dibanding periode sama tahun lalu.

Peningkatan obrolan daring ini bisa menjadi peringatan dini bagi pemerintah ihwal kekhawatiran masyarakat terhadap perekonomian domestik yang dihadapi di tengah ketidakpastian dan pelemahan kondisi ekonomi global. Pada akhirnya, kebijakan inklusif dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dan keadilan masyarakat akan lebih efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan memperkecil kesenjangan atau ketimpangan sosial-ekonomi antara si kaya dan si miskin.

Achmad Ali Statistisi Ahli Madya Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali

(mmu/mmu)




Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads