Kelas menengah, kelompok yang selalu menjadi sorotan dalam drama ekonomi setiap tahunnya. Tahun 2024 tidak terkecuali. Namun, kali ini ada sesuatu yang agak menggelitikβsebuah paradoks yang tak terhindarkan antara dua jenis cicilan yang sangat berbeda: cicilan Netflix dan cicilan rumah.
Kelas menengah, dalam segala keanggunannya, telah menjadi penonton setia dalam parade modernitas yang dipimpin oleh teknologi dan gaya hidup. Sambil menikmati kenyamanan streaming tanpa batas dari sofa yang empuk, mereka juga berhadapan dengan realitas pahit dari angsuran rumah yang tak kunjung lunas. Seolah-olah ada dua dunia yang bertabrakan di tengah-tengah ruang tamu mereka. Realitas seolah menjadi perkara semua yang tidak begitu penting untuk dipikirkan, apalagi disikapi sebagai masalah yang serius.
Mari kita mulai dengan Netflix. Platform streaming ini tidak hanya menawarkan hiburan, tetapi juga sebuah pelarian dari realitas. Dengan harga langganan bulanan yang terjangkau, siapa yang bisa menolak godaan untuk menghabiskan malam bersama serial favorit? Namun, bagi kelas menengah, langganan Netflix bukan hanya sekadar hiburan; itu adalah kebutuhan. Ketika dunia di luar semakin keras dan penuh tekanan, Netflix menjadi oasis di tengah gurun kehidupan sehari-hari.
Di sisi lain, ada cicilan rumah. Mimpi memiliki rumah sendiri. Sebuah impian yang seringkali menjadi sumber stres dan kecemasan. Dengan harga properti yang terus melambung, memiliki rumah sekarang memerlukan komitmen keuangan yang luar biasa. Setiap bulan, sebagian besar pendapatan mengalir untuk membayar angsuran yang tampaknya tak pernah berkurang.
Ironisnya, pada saat mereka menonton serial tentang kehidupan yang serba mewah di Netflix, mereka berjuang keras untuk membayar cicilan rumah yang memakan sebagian besar pendapatan mereka. Kelas menengah terjebak dalam dilema ini. Mereka ingin menikmati hidup, tetapi juga ingin memiliki keamanan finansial. Mereka ingin hiburan instan, tetapi juga stabilitas jangka panjang. Dan, dalam upaya untuk menyeimbangkan keduanya, mereka seringkali terjebak dalam lingkaran setan.
Bagaimana bisa? Karena ada hal yang lebih dalam dari sekadar pilihan antara Netflix dan cicilan rumah. Ini tentang prioritas dan bagaimana mereka dibentuk oleh tekanan sosial dan ekonomi. Dalam masyarakat yang memuja konsumsi, memiliki akses ke hiburan instan adalah tanda status. Sementara itu, memiliki rumah adalah simbol kesuksesan dan stabilitas. Keduanya penting, namun keduanya juga saling bertentangan.
Kita sering melihat teman-teman dari kelas menengah yang begitu bangga bercerita mengenai serial terbaru Netflix yang sedang tren. Kemudian ada yang bersemangat saat bercerita hingga memberi nasihat mengenai kepemilikan property. Bagaimana formula keuangan yang bagus untuk memiliki rumah, namun lupa bahwa ada jeratan besar dalam kondisi keuangan yang memiliki risiko menghujamkannya ke dalam krisis yang begitu mendalam. Krisis utang!
Yang memperparah situasi, biaya hidup terus meningkat sementara pendapatan stagnan. Harga barang-barang kebutuhan pokok, biaya pendidikan, dan perawatan kesehatan semakin mahal. Sedangkan gaji yang diterima tidak bertambah signifikan. Kelas menengah harus membuat pilihan yang sulit. Apakah mereka akan mengorbankan hiburan mereka demi membayar cicilan rumah? Ataukah, mereka akan tetap menikmati Netflix sementara cicilan rumah terus menumpuk?
Dalam banyak kasus, jawabannya adalah kombinasi keduanya. Mereka berusaha untuk menyeimbangkan antara hiburan dan kewajiban finansial. Tetapi ini bukanlah tugas yang mudah. Ini adalah tarian yang rumit; satu langkah yang salah dapat menyebabkan mereka jatuh dalam lubang keuangan.
Lebih dari sekadar pilihan individu, dilema ini mencerminkan masalah yang lebih besar dalam sistem ekonomi kita. Ketimpangan pendapatan yang semakin melebar, biaya hidup yang semakin tinggi, dan kurangnya dukungan untuk kelas menengah adalah faktor-faktor yang berkontribusi pada situasi ini. Selama masalah-masalah ini tidak ditangani, kelas menengah akan terus berada dalam posisi yang rentan.
Jadi, apa yang bisa dilakukan? Mungkin sudah saatnya untuk mempertimbangkan kembali prioritas kita. Apakah kita benar-benar membutuhkan semua langganan streaming itu? Apakah kita bisa mencari cara untuk mengurangi pengeluaran dan mengalokasikan lebih banyak untuk cicilan rumah? Atau, mungkin sudah saatnya untuk menuntut perubahan dalam sistem ekonomi yang lebih adil dan mendukung kelas menengah?
Akhirnya, dilema antara cicilan Netflix dan cicilan rumah adalah cerminan dari tantangan yang dihadapi oleh kelas menengah dalam era modern ini. Ini adalah kisah tentang bagaimana mereka berusaha untuk menyeimbangkan antara kebutuhan untuk menikmati hidup dan kebutuhan untuk memastikan masa depan yang stabil. Selama ketimpangan dan biaya hidup yang tinggi terus berlanjut, dilema ini akan tetap ada.
Mari kita nikmati serial terbaru di Netflix, setidaknya untuk malam ini. Toh, cicilan rumah bisa menunggu sampai besok!
Mohammad Aliman Shahmi dosen Ilmu Ekonomi UIN Mahmud Yunus Batusangkar
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini