Dakwahtainment dan Tren Hijrah Muslim Kota
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Dakwahtainment dan Tren Hijrah Muslim Kota

Jumat, 09 Agu 2024 14:30 WIB
Ibnu Azka
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Para artis yang kini berhijrah benar-benar buat pangling
Ilustrasi: tim infografis detikcom
Jakarta -

Dakwahtainment merupakan istilah yang pernah disampaikan oleh Howell dan Rakhmani, yaitu munculnya para televangelis atau dai baru yang mampu mengemas pesan dakwah agar bisa dikomsumsi oleh masyarakat dengan pendekatan yang lebih relevan, modern, juga menghibur.

Salah satu diskursus penting mengenai wacana agama dan media abad ini yaitu munculnya dai baru yang aktif menyampaikan dakwah tidak hanya di mimbar masjid, melainkan aktif berselancar di platform digital dan belakangan mulai ekspansi ke hotel-hotel mengisi acara talkshow.

Jika merujuk pada kajian Dhofier mengenai fenomena tersebut, dahulu para kiai dalam istilah masyarakat Jawa dikenal memiliki otoritas dalam menyampaikan pesan dakwah karena memiliki kapasitas dan latar belakang pendidikan Islam yang mumpuni, misalnya pernah menempuh pendidikan Islam di Timur Tengah, bisa membaca kitab, paham tafsir Al-Quran dan hadis, serta terkenal kharismatik karena ilmu dan kewibaannya dalam berpakaian yang syarat akan surban serta tulus memberikan ilmu agama dan sosial.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Belakangan pemain-pemain baru muncul dengan tampilan yang lebih modern dan tidak memiliki latar belakang pendidikan Islam yang ketat seperti para kiai terdahulu. Para dai-dai baru ini umumnya memiliki background pendidikan sekuler dan lebih banyak berinteraksi dengan masyarakat muslim kota. Munculnya pemain baru ini memiliki pasar (market religion) yang sangat digemari terutama anak-anak muda muslim kota yang haus akan tuntutan agama, dalam istilah para dai baru disebut hijrah.

Istilah tersebut sejalan dengan apa yang pernah disampaikan oleh Turner sebagai pietization, yaitu upaya mendorong dan menyodorkan kesalehan personal melalui wacana hijrah dengan mengislamisasi kehidupan sehari-hari seperti berpakaian islami, membaca literature islami, bertutur kata islami, menggunakan ATM yang terafiliasi perbankan syariah, taaruf, dan belakangan populer dengan istilah pacaran Islami.

ADVERTISEMENT

Menawarkan Jalan Keluar

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota yang serba cepat, penuh tekanan dan tantangan, serta isu moralitas yang sangat terdegradasi, banyak orang mencari makna dan ketenangan spiritual. Dakwahtainment menawarkan jalan keluar yang menarik karena menyajikan pesan-pesan keagamaan dengan cara yang lebih mudah dicerna dan menyenangkan. Masifnya wacana keislaman di generasi muda urban muslim mengindikasikan bahwa aspirasi kehidupan modern serta mengemukanya komodifikasi agama memiliki arena baru dalam mengartikulasikan kesalehan-kesalehan individu muslim kota.

Media sosial telah menjadi platform utama bagi para pendakwah modern untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Jika dahulu pesan-pesan keagamaan hanya dapat disampaikan oleh mereka yang memiliki otoritas keilmuan sebagai mana yang dijelaskan Dhofier, kini pendakwah modern tersebut bisa menjadi subjek sekaligus objek berkat pergumulannya di media sosial. Sebut saja Ustaz Agam Fachrul, berkat konten-konten dakwahnya yang disampaikan ke media Tik-Tok.

Ustaz Fachrul berhasil menarik perhatian di kalangan anak-anak muda muslim kota. Beberapa di antaranya menganggap bahwa dakwah yang disampaikan Ustaz Fachrul dapat dinikmati dan cukup relevan bagi anak muda muslim kota.

Meskipun pernah menempuh pendidikan di perguruan tinggi Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, namun penyematan panggilan ustaz bagi pendakwah modern ini tentu tidak bisa disetarakan dengan mereka yang berasal dari pendidikan Islam otoritatif sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas. Sebutan ustaz pada gilirannya justru hanya merujuk pada figur pendakwah yang aktif menyampaikan dakwah di halaqah-halaqah masjid, kampus, dan belakangan di internet dan acara TV.

Kekhawatiran

Meskipun para pendakwah modern belakangan mampu menguasai algoritma spiritualitas anak muda muslim kota, namun ada kekhawatiran bahwa menggabungkan dakwah dengan hiburan dapat mengurangi kesakralan dan esensi dari pesan agama itu sendiri. Ketika agama dikemas sebagai produk hiburan, ada risiko bahwa nilai-nilai agama akan tereduksi menjadi sekadar tren.

Seringkali, dakwahtainment lebih menekankan pada aspek hiburan daripada kedalaman pesan keagamaan. Hal ini dapat menyebabkan pemahaman yang dangkal dan tidak komprehensif tentang ajaran agama. Apalagi menurut saya sebagian di antara mereka terpapar Fear of Missing Out (FOMO) dari beberapa kasus kajian-kajian Islam muslim perkotaan. Ada juga yang bahkan sebenarnya tidak tahu sama sekali siapa saja yang akan menyampaikan dakwah, bagaimana latar belakang pendidikan para pendakwah.

Besar kemungkinan hal itu didorong atas dasar keinginan untuk mem-branding diri sebagai anak muda yang dekat dengan agama. Ekspresi hijrah muslim kota agaknya memang sejalan dengan teori Supply Side Religion yaitu mengkomsumsi agama secara praktis sesuai dengan selera masyarakat modern. Tidak hanya gaya dakwah dan tampilan kasualnya yang menarik anak-anak muda, tetapi materi dakwah yang dekat dan sedang dirasakan anak-anak muda, seperti jodoh, jomblo fisabilillah, gaul tapi saleh, cinta-cintaan, sampai nikah muda.

Anak-anak muda muslim kota yang datang acap teriak histeris seolah bertemu idolanya. Akhirnya terminologi hijrah bagi kaum muda hanya stuck di cara berpakaian dan halu mendapatkan suami/istri idaman. Ketika ditanya apa makna hijrah, sebagian besar hanya fokus di quote-quote cinta para pendakwah.

Gus Dur pernah ditanya oleh seseorang, kira-kira begini percakapannya: Gus, kenapa Anda kalau ceramah kebanyakan isinya cerita? Nggak pernah ngutip ayat atau hadis? Juga Anda nggak pernah pakek jubah, pakai sorban, dan atribut lainnya?

Jawab Gus Dur: Saya meskipun nggak pernah ngutip ayat atau hadis, nggak pernah pakai atribut macem-macem, orang itu tetep tahu kalau saya kiai. Beda dengan orang lain yang harus pakai atribut dan ndalil biar bisa dipanggil kiai atau ulama.

Ibnu Azka akademisi, penulis, dai

(mmu/mmu)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads