Joe Biden, Es Krim, dan Dilema Partai Demokrat

Kolom

Joe Biden, Es Krim, dan Dilema Partai Demokrat

Anwar Saragih - detikNews
Senin, 05 Agu 2024 15:00 WIB
U.S. President Joe Biden speaks during a campaign event at Sherman Middle School, in Madison, Wisconsin, U.S. July 5, 2024. REUTERS/Nathan Howard Purchase Licensing Rights, opens new tab
Joe Biden (Foto: REUTERS/Nathan Howard Purchase Licensing Rights)
Jakarta -

Joe Biden akhirnya memutuskan mundur dari kandidasi calon presiden yang diusung Partai Demokrat di Pilpres Amerika Serikat (AS) 2024. Mundurnya Biden bertepatan dengan warga AS merayakan Hari Es Krim Nasional (National Ice Cream Day) yang tahun ini dirayakan pada Minggu, 21 Juli.

Pun sudah menjadi rahasia umum, Biden adalah sosok pemimpin yang dikenal dengan kesukaannya terhadap es krim. Ia mengakuinya berkali-kali dalam pidato politiknya kala berkunjung ke satu negara bagian. Tentu yang paling terkenal adalah momen ketika Biden memberikan pidato di Cornell University pada 2017. Pada akhir pidato pihak universitas mempersembahkan es krim khusus untuk Biden yang diberi nama Big Red, White, and Biden.

Kebetulan atau tidak, mundurnya Biden menyiratkan kepribadiannya sebagai politisi penggila es krim. Seperti halnya es krim yang terdiri dari susu, krim, gula, dan air membutuhkan komposisi yang seimbang agar rasanya lezat untuk dinikmati. Pun sifat es krim tidak bisa bertahan lama di suhu yang panas setelah dibuka menunjukkan Biden tidak ingin berlama-lama dalam mengambil keputusan di tengah panasnya politik AS pasca upaya pembunuhan terhadap rivalnya, calon presiden dari Partai Republik Donald Trump, ketika berkampanye di Pennsylvania pada 14 Juli 2024.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apalagi setelah tragedi itu, Biden dan Partai Demokrat seperti mendapatkan serangan bom dari pelbagai pemberitaan media. Angka jajak pendapat pasangan yang diusung pasangan Capres dan Cawapres Partai Demokrat yaitu Joe Biden-Kamala Harris anjlok di titik terendah karena dianggap kepemimpinan pasangan petahana tersebut tidak menghadirkan keamanan dan kenyamanan bukan hanya untuk warga AS tetapi calon pemimpin AS.

Dinamika internal Partai Demokrat dengan perdebatan soal potensi mundurnya Biden dari proses pencalonan menjadi tidak terelakkan. Nancy Pelosi, politisi senior sekaligus mantan Ketua DPR AS, sudah sejak berminggu-minggu lalu yang paling keras meminta Biden mundur dari pencalonan. Utamanya pascadebat capres antara Trump vs Biden pada 30 Juni 2024 yang lalu.

ADVERTISEMENT

Biden dianggap tidak substantif, tidak menguasai masalah dan bicara terbata-bata hingga banyak calon pemilih yang meragukan kesehatannya untuk kembali memimpin AS. Atas desakan yang diterima oleh Biden untuk mundur dari pencalonan, pada 6 Juli 2024, Biden masih menyatakan dirinya akan bertahan dengan bahasa: hanya Tuhan yang maha kuasa yang bisa meyakinkannya (Biden) mundur.

Ucapan Biden tersebut dianggap pemilih sebagai perkataan seseorang yang keras kepala dan arogan. Ini adalah trigger memuncaknya perpecahan soal pencalonan Biden dianggap tidak mewakili nilai utama di Partai Demokrat sebagai partai yang egaliter, liberal, dan mendorong kemajuan.

Singkatnya, atas pelbagai kondisi baik di internal dan eksternal (upaya pembunuhan Trump), Biden akhirnya resmi mengundurkan diri sebagai Capres AS. Mundurnya Biden menempatkannya sebagai Capres petahana pertama dalam sejarah AS yang mundur dari pencalonan

Dilema Partai Demokrat

Mundurnya Joe Biden mendapat respons baik dari pemilih Partai Demokrat karena dianggap mencerminkan kenegarawanan seorang pemimpin. Jajak pendapat terbaru di AS menunjukkan masyarakat memberikan sentimen positif terhadap Partai Demokrat dan kandidat yang akan diusung pasca Biden.

Namun, persoalannya pada tingkatan elite partai tidak serta merta menghadirkan kestabilan. Pasalnya terdapat perbedaan pendapat soal siapa yang akan menjadi suksesor Biden sebagai Capres Partai Demokrat untuk menghadapi Trump. Joe Biden, Nancy Pelosi, dan Hillary Clinton secara terang-terangan sudah menyatakan sikap bahwa mereka akan meng-endorse Wapres Kamala Harris untuk menjadi kandidat pengganti.

Berbeda dengan Biden, Pelosi, dan Hillary, tokoh Partai Demokrat lainnya seperti Barrack Obama belum menyatakan sikap soal suksesor Biden. Situasi semakin rumit ketika salah satu donator utama Partai Demokrat bernama John Morgan menyatakan akan menghentikan dukungan pendanaan bila Partai Demokrat mengusung Kamala Harris. Alasannya tentu soal kans Kamala Harris memenangkan pertarungan head to head melawan Trump sangat kecil.

Di luar itu, tentu ini berkaitan dengan relasi kedekatan intim antara John Morgan dan Barrack Obama. Utamanya sejak perusahaan dari John Morgan secara penuh all out memenangkan Obama di Pilpres AS pada 2008 dan 2016. Lebih lagi hingga saat ini belum ada sikap Obama soal endorse terhadap kandidat yang akan diusung Partai Demokrat membuka kemungkinan lain di luar Kamala Harris yaitu Michelle Obama yang justru istri Barrack Obama akan menjadi capres.

Pun pada banyak perdebatan pemilih, Kamala Harris rentan akan kembali menghadapi serangan verbal baik itu terkait isu gender seperti yang dialaminya di Pilpres AS 2020 serta serangan yang sama juga pernah dialami oleh Sarah Palin ketika maju mendampingi John McCain di Pilpres AS 20008 dan Capres AS Hillary Clinton di Pilpres AS 2016. Selain isu gender, Kamala Harris juga mendapat serangan rasisme karena dianggap tidak merepresentasikan pemilih warga kulit hitam dan warga AS keturunan Afrika tapi merupakan warga kulit berwarna keturunan Asia Selatan.

Pada titik ini tentu terdapat dilema yang kuat pada tataran elite partai, bohir (pendana Capres) serta ceruk pemilih baru untuk memperluas jaringan pemilih atas kandidat yang diusung oleh Partai Demokrat. Juga di tengah waktu yang menyisakan waktu kurang dari empat bulan hari pemilihan kandidat yang diusung Partai Demokrat membutuhkan persiapan yang harus dilaksanakan secepat mungkin. Alasannya, meski Kamala Harris adalah petahana wapres atau siapa pun kandidat yang diusung oleh Partai Demokrat harus melakukan rebranding terhadap kampanye elektoral capres kembali.

Apalagi pesaingnya Trump sudah berkampanye dua tahun yang lalu serta terlibat langsung dalam kemenangan Partai Republik dalam Pemilu Paruh Waktu AS pada 2022 yang berhasil mengantarkan politisi Partai Republik Mike Johnson menjadi Ketua DPR yang baru menggantikan politisi Partai Demokrat Nancy Pelosi.

Pada akhirnya konsensus yang diambil oleh elite Partai Demokrat tidak bisa menyenangkan semua orang. Mengutip pernyataan pendiri perusahaan teknologi dari AS, Steve Jobs: jika kau ingin semua orang menyukaimu (keputusanmu) jangan jadi pemimpin, jadilah penjual es Krim.

Anwar Saragih pengamat politik dan kandidat Doktor Ilmu Politik

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads