Senin, 15 Juli lalu, para siswa mulai dari tingkat dasar hingga menengah memulai tahun ajaran baru. Keriuhan memulai sekolah tidak hanya dialami oleh para siswa, orangtua pun turut terlibat dalam memastikan putra-putrinya meraih pendidikan terbaik. Saya pun turut merasakannya lantaran anak pertama yang saat ini berusia empat tahun akan memulai pre-school atau pendidikan anak usia dini. Pada saat yang sama saya juga tergelitik untuk membagikan kisah saya tentang meraih pendidikan setinggi-tingginya, barangkali dapat menggugah motivasi para siswa yang sekarang tengah memulai masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS).
Keinginan mengenyam pendidikan tinggi (bahkan setinggi-tingginya) sudah tertanam pada diri saya sejak dduk di sekolah dasar, Madrasah Ibtidaiyah. Saat itu saya mendapat motivasi dari guru sekaligus kepala sekolah bernama Pak Mughni. Dia sesekali masuk kelas ketika ada guru yang berhalangan dan kondisi kelas gaduh karena tidak ada guru di kelas. Cerita yang sering dia sampaikan adalah tentang dirinya yang sering diundang untuk mengikuti penataran atau lokakarya yang diadakan oleh dinas pendidikan. Dia berkisah tentang beruntungnya dirinya bisa mengenyam pendidikan sehingga bisa mendapatkan kesempatan untuk terus menimba ilmu, dan itu difasilitasi oleh negara.
Saya merasa tergugah dan berani merajut mimpi untuk terus bisa melanjutkan pendidikan meski pada awalnya saya kurang bersemangat untuk bersekolah. Saya sempat tidak naik kelas atau memilih untuk tidak naik kelas karena banyak nilai rapor saya yang merah karena jarang masuk sekolah. Saat itu saya lebih memilih untuk bermain di sawah, mencari ikan atau berenang di sungai. Saya sering mencari-cari alasan sekadar untuk tidak masuk sekolah. Misalnya, pada pagi hari saya menunda untuk segera mandi dan memilih pergi ke rumah salah seorang teman untuk bermain.
Sampai tiba pada suatu saat saya merasa lelah dan malu karena teman-teman sepermainan sudah mulai masuk sekolah. Akhirnya saya meminta ayah saya untuk mendaftarkan kembali masuk sekolah di kelas 1 pada usia 8 tahun, usia yang sebenarnya sudah kelas 2 sekolah dasar. Saya bersyukur karena ayah saya benar-benar memberi dukungan penuh proses pendidikan saya. Meski dia tidak lulus sekolah dasar, pengetahuan tentang pelajaran agama, matematika, baca, dan tulis masih sanggup dia ajarkan kepada saya. Setiap sore selepas maghrib dia menemani dan mengajari baca dan tulis dengan penuh kesabaran.
Pelan tapi pasti motivasi dan rasa percaya diri saya semakin tumbuh. Semangat untuk terus belajar juga terus menyala. Sehingga meskipun ada keterbatasan ekonomi, saya masih bisa sekolah sampai SMA dengan biaya dari orangtua dan upah menjadi petugas kebersihan di sekolahan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lanjut Kuliah
Setelah lulus dari SMA pun saya berkeinginan kuat untuk kuliah. Namun, kondisi ekonomi orangtua sepertinya berat bagi saya untuk bisa lanjut kuliah. Untungnya ada salah seorang guru dan juga kepala sekolah, H. Chaerudin, di Madrasah Tsanawiyah yang mendorong saya untuk kuliah. Dia bersedia untuk membantu membiayai pendaftaran kuliah saya di IAIN Semarang. Dia juga turut menyokong biaya selama saya kuliah selain tentu dari orangtua saya sendiri, dan juga hasil mengajar privat selepas pulang kuliah.
Pada awal masa perkuliahan, tepatnya pada saat masa perkenalan kampus, saya bertemu dengan dosen-dosen hebat dan juga senior yang inspiratif karena prestasi akademiknya. Mereka mampu meraih beasiswa dan kuliah ke luar negeri. Pada saat itulah saya mulai bermimpi untuk bisa mendapatkan beasiswa dan kuliah ke luar negeri. Namun, yang menjadi tantangan, untuk bisa kuliah ke luar negeri tentu kita harus punya kemampuan bahasa Inggris yang baik. Saat itu, meskipun saya kuliah di Jurusan Bahasa Inggris, kemampuan bahasa Inggris saya masih lemah terutama di kemampuan berbicara dan mendengarkan.
Kendati demikian, saya tidak mau menyerah, saya terus belajar. Di kampus ada komunitas mahasiswa yang punya keinginan untuk belajar bahasa Inggris. Saya pun tertarik untuk bergabung di komunitas itu. Di komunitas yang bernama Walisongo English Club inilah saya merawat mimpi untuk kuliah di luar negeri. Sebagai tangga awal saya belajar TOEFL secara otodidak dengan rajin pergi ke perpustakaan dan American Corner yang ada di kampus. Di sinilah saya belajar dari buku-buku dan juga fasilitas belajar lain seperti listening yang ada di komputer American Corner. Saya pun menjadi kenal dan akrab dengan petugas perpustakaan dan American Corner.
Saya banyak ikut kegiatan yang diadakan oleh American Corner terutama tentang informasi beasiswa. Kegiatan semacam itu penting bagi saya paling tidak untuk membangun imajinasi untuk terus memberikan motivasi bagi diri. Pada semester 4 saya ikut program belajar bahasa Inggris yang disponsori oleh kedutaan besar Amerika yang ada di Jakarta, yakni program kursus selama delapan minggu di Amerika. Dengan berbekal semangat dan tekat yang kuat, saya lulus seleksi dan mengikuti kursus bahasa Inggris di Colorado State University pada 2012. Bersama dengan ratusan mahasiswa terpilih dari penjuru negeri saya berangkat ke Amerika untuk belajar bahasa Inggris. Inilah pengalaman pertama saya sebagai anak desa yang mampu mencicipi kehidupan perkuliahan di negeri Paman Sam.
Sepulang dari kursus singkat itu, saya pun bertekat untuk bisa menyelesaikan kuliah S1 saya. Dan, setelah menyelesaikan semua mata kuliah yang ada di Program Studi Bahasa Inggris dan juga tugas akhir berupa skripsi, saya lulus S1 pada 2014. Untuk menambah pengalaman, saya pun melamar menjadi guru bahasa Inggris di SMP Nurul Islam Semarang, sembari tetap mencari peluang beasiswa S2.
Melamar Beasiswa S2
Ketika ada tawaran beasiswa saya pun tidak ragu untuk mencoba mendaftar. Berkali-kali saya melamar beasiswa S2 dan tidak jarang saya gagal tetapi saya tetap semangat untuk mendaftar. Sampai pada suatu saat saya mendaftar beasiswa kursus bahasa Belanda yang diadakan oleh Kementerian Agama. Saya bersama satu orang teman dari Kabupaten Batang mencoba mendaftar beasiswa ini. Kami berangkat dari Semarang awalnya berdua tapi karena tidak ada tiket kereta yang tersisa saya memilih untuk menunggu sampe sore hari untuk membeli tiket pada jadwal kereta malam. Namun, teman saya memilih untuk berangkat duluan dengan naik bus.
Nahasnya, saat perjalanan menuju stasiun, sepatu pantofel yang sedianya mau saya pakai saat wawancara tertinggal di angkot. Saya coba kejar angkot itu tapi tidak bisa. Akhirnya saya menelepon teman saya untuk pinjam sepatu pantofel dan dia mau mengantarkan ke stasiun. Kepada seorang teman yang saya lupa namanya saya berutang budi kepadanya. Singkat cerita saya pun berhasil sampai di Jakarta dini hari dan kami menunggu di luar Masjid Istiqlal karena tidak mungkin bisa masuk ke sana karena gerbang sudah ditutup. Pagi harinya saya ketemu dengan teman-teman dari daerah lain yang juga ternyata mau ikut seleksi beasiswa kursus bahasa Belanda.
Saya pun ikut tahapan seleksi sampai akhirnya saya wawancara dengan Pak Zen dan Pak Dadi. Mereka berdualah yang mewawancarai dan merekomendasi saya untuk lanjut studi S2 saja dengan jurusan bahasa Inggris. Alasannya, saya lebih baik fokus ke bahasa Inggris karena sejalan dengan program studi S1 saya dalam bidang Pendidikan Bahasa Inggris. Saya pun merasa senang dengan rekomendasi yang diberikan oleh mereka berdua.
Selepas wawancara saya pulang ke Semarang. Namun kembali kejadian nahas menimpa saya. Pada waktu itu, saya minta izin kepada kondektur bus yang saya tumpangi ketika berhenti di terminal Mangkang, Semarang. Ternyata setelah saya selesai dari toilet, bus sudah berangkat dan di situ tas berisi laptop dan dokumen-dokumen penting ada di dalam tas itu. Untungnya dompet dan handphone jadul masih ada di saku celana yang saya pakai. Sempat panik dan bagaimana caranya saya bisa sampai ke tempat kos saya di Semarang. Dengan sisa uang yang ada saya naik angkot menuju Desa Beringin tempat saya ngekos. Sehari setelah kejadian itu pun belum ada kabar meskipun saya coba menghubungi nomor handphone yang ada di karcis PO bus tersebut.
Dalam kondisi pikiran yang tidak menentu, tiba waktunya pengumuman beasiswa kursus bahasa Belanda dan nama saya pun ada di situ. Namun, karena kurang teliti membaca pengumuman menjadikan saya salah paham meskipun saya juga sudah konsultasi ke salah seorang teman dan dia juga ternyata memahami bahwa saya juga termasuk peserta kursus bahasa Belanda. Saya pun berangkat ke Depok karena program kursus itu diadakan di Universitas Indonesia (UI). Pada saat saya sampai di UI ternyata saya tidak termasuk peserta kursus itu.
Saat itu rasa malu dan sedih bercampur aduk. Saya pun menghubungi salah satu panitia untuk memastikan status saya dan dia menyarankan untuk mempersiapkan sertifikat TOEFL atau IELTS untuk mendaftar beasiswa S2 luar negeri. Saya pun mengiyakan dan kembali ke Semarang dengan perasaan malu dan kecewa karena saya sudah teranjur resign dari sekolah tempat saya mengajar.
Tapi perlahan-lahan rasa kecewa dan malu itu pun hilang. Saya tetap mau mendaftar beasiswa lagi. Sampai pada waktu pendaftaran, saya pun turut mendaftar. Namun, ternyata saya tidak lulus berkas dengan alasan yang saya juga tidak mengerti. Padahal, di pengumuman kursus bahasa Belanda saya sudah mendapat surat rekomendasi untuk mendaftar studi S2.
Awalnya saya mau menyerah saja, namun seorang teman menyarankan saya untuk menghubungi panitia. Dan, saya kembali menghubungi panitia dan menjelaskan semua terkait rekomendasi studi S2 saya. Alhamdulillah, ada respons baik dari panitia dan tiga hari setelah itu ada pengumuman susulan bahwa saya dan tiga orang lain lulus seleksi berkas dan diundang untuk masuk tahap seleksi berikutnya yaitu leaderless group discussion, tes psikologi, dan wawancara. Saya pun mengikuti semua rangkaian seleksi itu. Dan, saya berterima kasih kepada senior saya Ayiz dan satu teman dari Jepara yang memberikan tempat menginap selama proses seleksi.
Seminggu setelah proses seleksi itu, ada pengumuman dan saya lulus untuk studi S2. Awalnya saya mau studi ke Belanda namun akhirnya saya memutuskan untuk ke Australia tepatnya di University of Canberra. Saya berhasil menyelesaikan S2 dengan tepat dan nilai yang memuaskan karena banyak dari mata kuliah yang saya ambil mendapat nilai high distinction. Demikianlah sekelumit kisah saya tentang liku-liku meraih beasiswa studi luar negeri. Bagi Anda yang saat ini sedang berjuang untuk meraih beasiswa baik itu dalam negeri atau luar negeri tetaplah semangat meskipun akan banyak tantangan dan hambatan yang akan Anda hadapi.
Ke Jenjang Doktoral
Kini setelah mengabdi sebagai pengajar di kampus sebagai dosen luar biasa di UIN Walisongo Semarang selama satu setengah tahun dan di UIN Syarif Hidayatullah selama dua setengah tahun sebagai dosen tetap, saya bersyukur karena bisa mendapatkan beasiswa atas kerja sama Kementerian Agama dan LPDP untuk melanjutkan studi ke jenjang doktoral di University of Canberra Australia. Kini saya akan kembali melanjutkan perjalanan mencari ilmu dan keridaan-Nya
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya ingin berpesan bahwa perjuangan meraih beasiswa tidaklah mudah; terkadang kita harus melewati serangkaian kegagalan. Namun sekali kita gagal kita harus bangkit dan memperjuangkan sampai kuota kegagalan kita habis dan kemudian berbuah keberhasilan. Intinya, jangan pernah menyerah untuk meraih apa yang kita cita-citakan.
Waliyadin dosen Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mahasiswa Doktoral di University of Canberra