Hari-hari ini setidaknya ada dua berita daerah yang trending, satu berita di Jawa Timur, tentang penetapan tersangka terhadap sejumlah wakil rakyat di DPRD terkait dengan dana hibah APBD Provinsi. Kasusnya sudah bergulir sebelum Pemilu 2024, namun kasus terus bergulir dengan semakin banyaknya tersangka dari kalangan legislator, pejabat daerah, hingga kepala desa. Satu lagi kasus yang terkait dengan penetapan tersangka kasus korupsi kepala daerah di Jawa Tengah, tepatnya Wali Kota Semarang. Apakah kasus dana hibah yang disidik KPK akan juga menyasar kepala daerah di Jawa Timur, mengingat ruangan kepala daerah dan dan wakil kepala daerah telah digeledah oleh penyidik KPK, dan membawa beberapa koper dari hasil penggeledahan tersebut.
Kedua kasus tersebut bukan kasus pertama korupsi kepala daerah dan wakil rakyat di daerah, namun kasus yang kesekian ratus kalinya. Pertanyaannya, apa mereka tidak kapok korupsi? Atau, setidaknya capek melakukan korupsi. Ini pertanyaan retoris. Bila dilihat dari perspektif teori kebutuhan (need theory), maka korupsi memang tidak akan pernah berhenti selama ada kebutuhan untuk mendapatkan harta kekayaan dengan jalan pintas dan instan.
Bila dilihat dengan pendekatan gaya hidup (life style), maka korupsi semakin sulit untuk berhenti karena pelakunya bukan lapar, tapi memiliki gaya hidup mewah. Maka berlaku fenomena gunung es dalam melihat fenomena korupsi pejabat daerah di Indonesia. Dalam teori gunung es, apa yang tampak di permukaan hanya bagian kecil saja; bila diperiksa di bagian bawah lebih besar dan lebih tebal, juga lebih dalam. Dalam perspektif ini, banyak yang menyebut bahwa mereka yang menjadi tersangka kasus korupsi adalah mereka yang "apes", sedangkan yang tidak apes masih merasa "baik-baik saja".
Bila mengacu pada teori absolut power yang dikemukakan oleh Lord Acton, menjadi relevan banyaknya pemegang jabatan atau kekuasaan tertinggi di berbagai level dan ruang lingkup yang menjadi tersangka kasus korupsi. Sebut saja yang terbaru Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dinilai menggunakan kekuasaan untuk melakukan tindakan menyimpang secara moral dan kesusilaan, dan banyak pihak yang menuntut supaya kasusnya juga ditingkatkan dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi.
Jauh sebelum itu ada kasus Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, ada kasus Ketua DPD RI Irman Gusman, ada pula kasus dugaan korupsi e-KTP, yang melibatkan Ketua DPR RI Setyo Novanto, dan tentu saja dugaan korupsi ratusan kepala desa di berbagai wilayah di Indonesia terkait dana desa. Tidak kalah hebohnya dugaan korupsi dan pemerasan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firly Bahuri, yang hingga kini mandek proses hukumnya. Bersamaan dengan itu kasus dugaan korupsi juga melibatkan petinggi di Mahkamah Agung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bila hendak disebut, kasus-kasus korupsi tersebut adalah korupsi politik, karena melibatkan pejabat negara yang memiliki pengaruh, kekuasaan, dan kewenangan untuk digunakan demi kepentingan pribadi dengan cara menyimpang dan melanggar peraturan perundang yang berlaku, serta norma hukum yang berlaku di masyarakat. Korupsi politik pendekatannya memang tidak bisa dilakukan dengan pendekatan normal seperti hukum yang berlaku bagi pencuri jemuran dan pencuri ayam atau maling sandal.
Korupsi politik adalah korupsi untuk memperkaya diri dan menyebabkan kerugian negara dan rusaknya sistem negara kesejahteraan. Akibat korupsi yang dilakukan menyebabkan semakin parahnya kemiskinan. Dan, rakyat kehilangan kesempatan untuk mendapatkan hak hak dasar mereka.
Jika korupsi telah diakui sebagai kejahatan luar biasa, maka korupsi politik dapat disebut sebagai kejahatan luar biasa ekstrem; pendekatannya tentu dengan cara-cara yang tidak hanya luar biasa, tapi juga ekstrem. Ada dua pilihan ekstrem bagi pelaku tindak kejahatan korupsi politik. Pertama, proses pemiskinan terhadap pelaku; hal ini bisa dimulai dengan keseriusan pemerintah dan wakil rakyat untuk mengesahkan undang-undang terkait pembuktian terbalik bagi pejabat negara yang diduga terlibat kejahatan korupsi. Kedua, hukuman mati bagi pelaku tindak kejahatan korupsi politik.
Keduanya adalah pilihan sulit dan memang ekstrem. Bila tidak ada keberanian untuk melakukannya, maka tipis harapan korupsi politik akan berhenti, karena memang yang pertama akan mendapat hukuman adalah para pejabat yang mengesahkan undang-undang tersebut.
Ada satu buku yang relevan untuk dibaca terkait dengan hal tersebut, berjudul Homo Sacer yang ditulis oleh Giorgio Agamben. Homo Sacer menurut Agamben adalah manusia suci yang tidak tersentuh, namun sekaligus juga tumbal untuk suatu kebaikan bersama. Maka, para pejabat negara yang belum tersentuh kasus korupsi harus berani mengesahkan undang-undang tentang pemiskinan dan hukuman mati bagi koruptur, meski setelah itu dirinya yang miskin atau bahkan mati, namun setelah itu korupsi politik hilang di Indonesia.
Mohammad Hidayaturrahman dosen FISIP Universitas Wiraraja Madura, Direktur Center for Indonesian Reform (CIR)