Penerapan politik domein verklaring (domain negara bebas) pada masa kolonial Belanda menjadi momok menakutkan bagi masyarakat pribumi. Alih-alih mendorong investasi dari pihak swasta, justru menjadi alat untuk membatasi akses masyarakat pribumi terhadap kepemilikan dan penguasaan tanah di Indonesia. Politik domein verklaring diadopsi ke dalam Agrarische Wet 1870 (Undang-Undang Agraria) untuk mendorong investasi swasta. Melalui undang-undang tersebut, hak masyarakat pribumi (adat) atas penguasaan tanah dieliminasi dengan dalih penguasaan negara.
Ironisnya, pemerintah Kolonial Belanda kala itu mewajibkan sertifikasi tanah sebagai bukti kepemilikan. Pasalnya, hukum adat tidak mengenal adanya sertifikasi tanah, di sisi lain hukum perdata barat mengenal adanya sertifikasi tanah. Adanya asas ketertundukan terhadap hukum perdata barat mengakibatkan masyarakat pribumi terpaksa menyerahkan kepemilikan atas tanahnya. Padahal, mata pencaharian mayoritas masyarakat pribumi adalah bertani dan berkebun yang membutuhkan tanah sebagai media tanam.
Perampasan hak milik atas tanah berdalih aturan hukum tersebut dimanfaatkan pemerintah Kolonial Belanda untuk kepentingan parsialnya. Setiap tanah yang tidak dibebani oleh hak-hak masyarakat pribumi maupun masyarakat eropa yang ditetapkan secara khusus, maka secara otomatis menjadi milik negara. Politik domein verklaring merupakan respons atas kritik yang menyasar pada praktik cultuurstelsel, dengan memberikan izin bagi pihak swasta untuk berkembang dan mengeliminasi paksaan pemerintah.
Citra politik domein verklaring kini masih terasa dalam tubuh 'hak menguasai negara' sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD NRI 1945, yang kemudian dielaborasi oleh Pasal 2 UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Melalui hak menguasai negara, pemerintah selaku penyelenggara dilekatkan kewenangan eksklusif untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan dan hubungan hukum berkaitan dengan tanah.
Tanah Terlantar
Sistem administrasi dan pencatatan pertanahan belum dikenal dalam hukum adat, sehingga hal tersebut dimanfaatkan pemerintah Kolonial Belanda untuk merampasnya. Dalih mereka, setiap tanah yang tidak memiliki bukti kepemilikan tertulis, dianggap sebagai 'tanah terlantar'. Melihat peluang tersebut, Agrarische Wet 1870 kemudian menetapkan bahwa tanah terlantar menjadi milik yang absolut untuk negara. Hal tersebut membuat banyak masyarakat pribumi yang kehilangan mata pencahariannya. Bahkan, segala hasil bumi yang melekat pada tanah tersebut, turut menjadi milik negara.
Politik domein verklaring dianggap sebagai bagian dari reformasi hukum perdata barat yang dapat mendorong iklim investasi. Pasalnya, pelbagai hasil bumi, seperti teh, karet, kopi, dan gula menjadi komoditas investasi yang menjanjikan. Di satu sisi, perekonomian mengalami perkembangan yang pesat, namun di sisi lain hak ulayat masyarakat pribumi diabaikan begitu saja.
Bahkan dalam konteks modern, negara acap memposisikan hak ulayat sebagai hak berada di bawah hak menguasai negara. Padahal secara historis, keberadaan hak ulayat menjadi titik infleksi kemandirian pangan masyarakat pribumi, sehingga mereka tidak bergantung pada sistem kerja yang diterapkan pemerintah Kolonial Belanda hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Pengakuan akan hak ulayat dan hukum adat secara general mulai meningkat berkat kontribusi dari Cornelis van Vollenhoven, ahli hukum dari Leiden University. Atas kontribusinya tersebut, van Vollenhoven dikenal sebagai bapak hukum adat di Indonesia.
Hak Menguasai Negara
Perumusan hak menguasai negara dalam UU No. 5/1960 condong ke arah sosialis, dengan dalih negara melalui penguasaannya akan mendistribusikan kepemilikan tanah secara merata kepada masyarakat. Terlebih lagi, sudah menjadi rahasia umum bahwa pembentukan UU No. 5/1960 sangat dipengaruhi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Meskipun persepsi tersebut berkali-kali dibantah, namun berbagai jargon, seperti Jalannya Revolusi Kita, Revolusi Nasional, dan Manifesto Politik melekat dalam substansi UU No. 5/1960.
Saya justru melihat, konsepsi hak menguasai negara lebih lekat pada paham marxisme-leninisme. Pasalnya, paham tersebut memandang kepemilikan alat produksi berupa tanah oleh masyarakat dianggap sebagai suatu kejahatan. Melalui kepemilikan alat produksi tersebut, pelaku usaha selaku kaum borjuis dapat melakukan pemerasan atau penindasan kepada buruh tani atau buruh kebun sebagai kaum proletar. Maka dari itu, wajar jika dalih kejahatan tersebut dijadikan justifikasi penguasaan negara terhadap tanah.
Anomali Kebijakan Pertanahan
Kebijakan pertanahan pada era Presiden Joko Widodo erat dengan pembagian sertifikat tanah kepada masyarakat melalui Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Hingga akhir 2023, total 110 juta sertifikat tanah telah dibagikan kepada masyarakat, jumlah tersebut potensi meningkat karena pemerintah sendiri mengklaim pembagian sertifikat tersebut akan selesai pada 2025.
Meskipun terbilang proaktif dalam aspek administrasi pembagian sertifikat, namun masalah pertanahan di pemerintahan Presiden Joko Widodo menjadi noda besar bagi legacy-nya. Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), jumlah konflik agraria hinga akhir 2023 mencapai 2.939 kasus, lebih tinggi hampir dua kali lipat dari masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebanyak 1.520 kasus. Adapun jumlah masyarakat terdampak mencapai 1,7 juta jiwa dan luasnya mencapai 6,3 juta hektare.
Sejumlah konflik mengemuka ke permukaan publik, sebut saja konflik di Rempang, Seruyan, Pohuwato, dan Ibu Kota Nusantara (IKN). Sejumlah konflik tersebut memiliki motif yang sama, yaitu kepentingan investasi. Wilayah yang telah ditempati masyarakat selama berturun-turun, digusur oleh pemerintah daerah setempat bersama dengan pengembang demi melancarkan proses pembangunan. Masyarakat yang terdampak penggusuran, dipaksa untuk meninggalkan kediamannya. Mata pencaharian masyarakat juga turut terdampak karena akan direlokasi ke tempat lain.
Memperparah Konflik Agraria
Penggusuran masyarakat tersebut selalu dijustifikasi dengan pelabelan 'warga liar', karena masyarakat tidak memiliki sertifikat kepemilikan tanah. Padahal, jika komit terhadap eksistensi hak-hak masyarakat adat, seharusnya pemerintah menyediakan legalitasnya melalui penerbitan sertifikat, bukan justru memanfaatkan hal tersebut untuk alasan menggusur. Melihat polanya, apa yang dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo serupa dengan penerapan politik domein verklaring pada masa Kolonial Belanda.
Terbaru, Presiden Joko Widodo meneken izin hak guna usaha (HGU) hingga 190 tahun untuk investor IKN. Izin HGU tersebut diakomodasi dalam Perpres No. 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara. Perpres tersebut diberlakukan mulai 11 Juli 2024 sebagai aturan pelaksana (secondary regulation) dari UU IKN. Pasal 2 Perpres No. 75/2024 menyebutkan bahwa Otorita IKN memberikan kepastian jangka waktu hak atas tanah melalui dua siklus kepada pelaku usaha. Tidak hanya HGU, pemberian izin tersebut juga mencakup hak guna bangunan (HGB) dan hak pakai.
Pemberian izin HGU yang hampir dua abad tersebut sangat berpotensi memperparah konflik agraria di IKN. Laporan KPA menyebutkan terdapat 241 kasus sepanjang 2023, yang menjadikan pembangunan IKN sebagai konflik agraria di sektor pembangunan infrastruktur di Indonesia. Sebanyak 200 anggota masyarakat adat dipaksa untuk pindah dari kediamannya. Adanya resistensi dari 16 perkumpulan Koalisi Masyarakat Sipil di Kalimantan Timur terhadap ultimatum 'pengusiran' menjustifikasi kesewenang-wenangan yang dilakukan negara.
Kementerian Perdagangan berdalih, pemberian izin HGU tersebut dalam rangka mempercepat laju investasi di IKN. Saya memandang, kebijakan yang ditempuh tersebut akibat minimnya investor yang menanamkan modalnya untuk proyek-proyek di IKN. Hal serupa sama seperti pemerintah Kolonial Belanda yang menerapkan politik domein verklaring sebagai respon atas praktik cultuurstelsel yang mengalami degradasi pendapatan akibat dikorupsi oleh pejabat daerah. Bahkan, pemerintah hanya mengantongi 20% dari pendapatan yang diterima. Untuk memulihkan kembali kas yang minus, pemerintah Kolonial Belanda kemudian menerapkan politik domein verklaring untuk menarik gairah investasi.
Begitu pun dengan izin HGU, pemberian izin tersebut akan memperbesar kesenjangan (disparitas) kepemilikan tanah, terlebih lagi kepemilikan tanah ulayat. Masyarakat adat kan terbatasi, dalam konteks penguasaan atas tanah. Hal ini mengingatkan saya kepada pemberian izin HGU sebelum terbitkan UU No. 5/1960, yaitu berdasarkan hak erfpacht. Melalui hak erfpacht, pemegang hak dapat menikmati sepenuhnya (voile genot hebben) kegunaan sebidang tanah milik orang lain.
Hal tersebut tentunya akan merugikan masyarakat adat, kendati mendapat iming-iming uang sebagai pengakuan atas eigendom. Hal tersebut tidak menjadi solusi yang memberi angin segar. Masyarakat adat hanya ingin hak-haknya, terkhusus hak ulayat dilindungi oleh negara sebagaimana diamanatkan konstitusi. Namun, negara justru lebih 'mendewakan' kepentingan investasi agar IKN tidak 'mangkrak' daripada mendewakan kepentingan masyarakat adat.
Muhammad Daffa Alfandy mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
(mmu/mmu)