Kolom

Mengutak-atik Jangka Waktu HGU untuk IKN

Agung Hermansyah, Ferdy F. Tjoe, Yosua M. Tampubolon - detikNews
Senin, 29 Jul 2024 15:30 WIB
Foto: dok. Instagram Nyoman Nuarta
Jakarta -
Presiden Jokowi baru saja mengesahkan Peraturan Presiden No.75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) (PP 75/2024). Pasal 9 PP 75/2024 tersebut menyatakan memberikan jaminan kepastian jangka waktu hak atas tanah melalui satu siklus pertama dan dapat dilakukan pemberian kembali pada siklus kedua kepada pelaku usaha. Lebih lanjut, Hak Guna Usaha (HGU) untuk siklus satu diberikan untuk jangka waktu paling lama 95 tahun dan dapat diberikan kembali untuk siklus kedua dengan jangka waktu paling lama 95 tahun.

Sama halnya dengan HGU, Hak Guna Bangunan (HGB) untuk siklus pertama diberikan paling lama untuk jangka waktu 80 tahun dan untuk siklus kedua 80 tahun. Kemudian Hak Pakai diberikan untuk siklus pertama paling lama untuk jangka waktu 80 tahun dan siklus kedua untuk jangka waktu 80 tahun.

Namun, jangka waktu HGU, HGB, dan Hak Pakai yang sangat panjang tersebut menimbulkan polemik di kalangan publik. Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Kartika, mengatakan bentuk beleid tersebut tak sekadar memberikan keistimewaan untuk mensponsori pembangunan IKN, tapi juga untuk berbisnis dengan cara mengobral tanah dan hutan di Kalimantan Timur.

Terlepas dari kritikan tersebut, rasionalitas atas pemberian jangka waktu HGU (95+95), HGB (80+80), dan Hak Pakai (80+80) haruslah sesuai dengan asas rechmatigheid (sesuai dengan hukum) dan doelmatigheid (kemanfaatan). Sebab, pemerintah sudah terlalu sering mengutak-atik jangka waktu HGU, HGB, dan Hak Pakai untuk keperluan kemudahan berbisnis di Indonesia.

Seperti dalam draf RUU Pertanahan, aturan tentang HGU diberikan selama 35 tahun dan bisa diperpanjang hingga total 90 tahun sebagaimana tersebut di Pasal 25. Selain itu, di Pasal 22 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, HGU diberikan sampai 95 tahun dengan komposisi 60 tahun dan dapat diperpanjang dimuka sekaligus dan diperbarui selama 35 tahun.

Uji Sahih PP 75/2024

Pertama, berdasarkan asas rechamtigheid, apabila ditinjau dengan menggunakan pisau analisis teori hierarki perundang-undangan (stufentheorie) dan teknis pembentukan peraturan perundang-undangan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dapat ditegaskan bahwa ketentuan jangka waktu HGU sampai 190 tahun dalam PP 75/2024 tersebut tumpang-tindih (overlap) dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

Ketentuan Pasal 9 PP 75/2024 terkait jangka waktu pemberian HGU 190 tahun tersebut beririsan dengan ketentuan dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria (UUPA) yang hanya memberikan jangka waktu paling lama HGU adalah 60 dengan komposisi 35+25 tahun. Sebab, Pasal 6 dan Pasal 7 UUPA menegaskan semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial dan untuk kepentingan umum. Oleh karenanya kepemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan dalam hal ini termasuk luas dan jangka waktu hak atas tanah.

Lebih jauh, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No.21-22/PUU-V/2007 menyatakan khusus mengenai perpanjangan HGU, HGB, dan Hak Pakai berlaku UU No. 5 Tahun 1960 in casu UUPA dan PP No. 40/1996. Ketidaksinkronan pemberian HGU dalam PP 75/2024 dengan UUPA ini menunjukkan hubungan peraturan hukum yang tidak bersimbiosis mutualisme yang dapat menimbulkan konflik norma (conflict of norm) dan menjadi objek uji material (judicial review) di Mahkamah Agung.

Padahal, dalam ketentuan Pasal 5 huruf c jo. Pasal 6 ayat (1) huruf b jo. Pasal 10 ayat (1) huruf e UU 12/2011 ditegaskan bahwa materi muatan undang-undang yang akan dibuat haruslah terdapat kesesuaian, antara jenis, hierarki, dan materi muatan, jaminan akan hak-hak asasi manusia dan pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Kedua, dari segi asas doelmatigheid atau kemanfaatan. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 telah menegaskan bumi, air, udara, dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sedangkan pemberian jangka waktu HGU sampai 190 tahun sebagaimana diatur dalam PP 75/2024 tersebut dapat menyebabkan penguasaan dan kepemilikan atas tanah menjadi terkonsentrasi pada segelintir kelompok tertentu.

Dalam penjelasan UU Nomor 51 Tahun 1960 diterangkan: "Pemakaian tanah secara tidak teratur, lebih-lebih yang melanggar norma-norma hukum dan tata-tertib, sebagaimana terjadi di banyak tempat, benar-benar menghambat, bahkan seringkali sama sekali tidak memungkinkan lagi dilaksanakannya rencana pembangunan dipelbagai lapangan."

Alih-alih memberikan manfaat, justru kebijakan jangka waktu HGU 190 tahun dalam PP 75/2024 dapat menimbulkan gejolak sosial dan letusan konflik agraria. Padahal Putusan Mahkamah Konstitusi No.3/PUU-VIII/2010 menegaskan makna "dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat'" salah satunya adalah adanya tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam (termasuk tanah) bagi rakyat.

Ahli Hukum Agraria, Prof. Kurnia Warman mengatakan: Keberadaan tanah negara bagi pemerintah justru dimaksudkan untuk kepentingan warga negara. Bahkan tanah negara itu pulalah yang dapat dijadikan sebagai objek reforma agraria yang akan dibagikan kepada rakyat miskin tidak punya tanah untuk mewujudkan keadilan dalam pemilikan dan penguasaan tanah bagi seluruh rakyat. Jadi kepentingan pemerintah untuk adanya tanah negara adalah untuk pelayanan demi memenuhi kepentingan seluruh rakyat sebagai kepentingan umum terutama, atau setidaknya termasuk, kepentingan rakyat yang tinggal di lokasi tanah tersebut.

Oleh karenanya, pemerintah perlu memastikan kebijakan dan program tidak dibuat atau dilaksanakan dengan cara-cara yang diskriminatif, memanfaatkan sumber daya maksimum yang tersedia, untuk memastikan perlakuan yang sama terhadap hak atas tanah bagi semua orang dan tidak lebih jauh memarjinalkan kelompok masyarakat tertentu yang rentan terhadap gejolak sosial, baik itu di area perkotaan maupun di pedesaan.

Pemberian jangka waktu HGU, HGB, dan Hak Pakai yang panjang ini adalah sebagai strategi dan kepastian untuk investor yang berinvestasi di IKN yang notabene adalah daerah baru dan khusus yang berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia. Yang perlu diperkuat adalah basis pengawasan dari pemerintah agar tanah tidak jatuh ke segelintir kelompok orang tertentu saja, tetapi bisa dinikmati juga oleh hajat hidup orang banyak.

Agung Hermansyah, Ferdy F. Tjoe, Yosua M. Tampubolon advokat dan konsultan hukum di Jakarta





(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork