Kematian jantung mendadak (sudden cardiac death) seorang atlet di lapangan, terutama saat pertandingan (competitive sport), bukan pertama kali ini saja, meskipun relatif jarang. Dilaporkan sekitar 0,24 sampai 6.8 per 100.000 atlet per tahun. Artinya, kalau kita amati 10.000 atlet dalam 10 tahun, maka frekuensi terjadinya kematian jantung mendadak di lapangan sekitar 0,24 sampai 6,8 orang atlet. Tetapi karena yang meninggal adalah pesohor, dikenal di masyarakat luas, umumnya menarik perhatian publik dan media.
Gangguan Irama Jantung Ganas
Kematian jantung mendadak pada atlet di lapangan tidak berbeda dengan kematian jantung mendadak pada umumnya. Yakni oleh gangguan irama jantung ganas, yang dinamakan takikarida ventrikel atau fibrilasi ventrikel (VT/VF). Pada dua keadaan ini, bilik jantung berdenyut sangat cepat dan tidak terkoordinasi. Akibatya aliran darah ke seluruh tubuh praktis berhenti. Termasuk ke otak kita. Penderita akan kolaps, yang dinamakan henti jantung (cardiac arrest), seperti yang terjadi pada Zhang. Sering disertai kejang. Bila keadaan seperti ini tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dalam waktu sekitar 10 menit, penderita akan meninggal. Setiap satu menit keterlambatan dalam penanganan, penderita akan kehilangan 10% kesempatan untuk hidup.
Kolaps saat pertandingan oleh raga juga sering ditemukan pada pertandingan sepak bola, seperti yang dialami Christian Ericksen, pemain asal Denmark pada 12 Juni 2021. Beruntung kapten kesebelasan mengetahui keadaan dan tim medis segera datang dan memberi pertolongan resusitasi jantung paru (RJP) serta memberikan kejut listrik (shock) pada jantung untuk menormalkan gangguan irama jantung dengan alat yang disebut defibrilator --alat portabel yang harus selalu ada manakala melakukan RJP.
Setelah sadar kembali, Ericksen dilarikan ke rumah sakit untuk tindakan medis lanjutan. Dan, empat hari kemudian, Ericksen dipasang implantable cardioverter defibrillator (ICD), suatu alat yang ditanamkan di bawah kulit, di daerah dada atas kiri. Lalu dihubungkan dengan kabel ke dalam serambi dan bilik jantung untuk mendeteksi dan memberikan kejut listrik bila atlet tersebut mengalami gangguan VT/VFl. Ericksen akhirnya bermain kembali pada 2022 sampai sekarang.
Yang sangat tragis adalah kisah pemain bola berbakat asal Ghana, Raphael Dwamena. Dwamena meninggal pada 11 November 2023 di Albania dalam usia 28 tahun di ajang pertandingan Liga Albania. Sebenarnya kolaps Dwamena ini bukan kali yang pertama. Pada Oktober 2021, Dwamena kolaps di lapangan ketika bermain di Austria Cup. Tertolong di lapangan, setelah dilakukan RJP dan diberikan kejut listrik karena VT/VF seperti yang dialami Ericksen, dan kemudian dilarikan ke rumah sakit. Akhirnya Dwamena ditanam ICD untuk mencegah kolaps karena VT/VF. Tetapi pada akhir 2022, ICD dicabut atas permintaan Dwamena sendiri. Kematian Dwamena karena terjadi kolaps di lapangan, dan terjadi lagi henti jantung karena VT/VF tanpa pengamanan ICD.
Jika pada masyarakat luas atau kelompok umur tua penyebab kematian jantung mendadak adalah serangan jantung (penyakit jantung koroner/PJK), maka pada kelompok atlet usia muda (kurang dari 30 tahun) penyebab terjadinya VT/VF bukan karena serangan jantung (heart attack) atau PJK, melainkan yang paling sering karena hypertrophic cardiomyopathy (HCM). Yakni, suatu kelainan genetik berupa penebalan otot jantung, yang secara mikroskopik ditemukan adanya disarray (tidak teratur) dalam susunan sel otot jantungnya. Angka prevalensi di masyarakat sekitar 1:500. Umumnya diderita laki-laki. Diagnosis bisa ditegakkan dengan pemeriksaan echocardiogram.
Penyebab yang kedua terbanyak adalah arrhytmogenic right ventrikular cardiomyopathy (ARVC). Penyakit ini juga bersifat genetik. Sebagian jaringan otot jantung diganti oleh jaringan lemak. Diagnosis pasti ditegakkan dengan magnetic resonance imaging (MRI) yang diperuntukkan khusus untuk jantung (Cardiac MRI). Masalahnya, sebagian besar dari atlet yang meninggal mendadak di lapangan, pemeriksaan kesehatan sebelumnya normal-normal saja.
Dari tiga contoh atlet di atas, hanya Dwamena yang beberapa tahun sebelumnya diketahui ada masalah di jantungnya. Dwamena gagal dalam tes kesehatan sewaktu mau pindah ke klub Brighton pada 2017.
Bisa Dicegah dan Ditolong
Kematian jantung mendadak pada atlet mestinya bisa dicegah dan ditolong. Pertama, harus ada tim medis yang terlatih melakukan RJP. Termasuk ketersediaan alat bantu napas sederhana ambu bag dengan portable oxygen serta alat kejut listrik defibrilator portable. Bila tenaga medis bukan seorang yang paham benar mengenai masalah VT/VF, seyogianya menggunakan alat defibrilator otomatis (automatic external defibrillator/AED).
Akses ke lapangan harus cepat, tidak boleh ada hambatan. Wasit pertandingan harus paham masalah ini, karena kolaps atlet di lapangan mengancam jiwa atlet (life threatening). Bila korban tidak ada napas dan tidak ada nadi, harus segera dilakukan RJP. AED segera terpasang dan petugas harus mengikuti perintah AED. Walaupun tidak ada jaminan korban akan tertolong, tetapi bila akses cepat, dilakukan oleh tim medis terlatih dengan alat lengkap seperti di atas, sebagian besar korban akan tertolong.
Mestinya tim medis akan melakukan RJP sampai korban hidup atau meninggal. Membawa korban ke rumah sakit ketika korban belum mendapat pertolongan yang tepat, jelas akan berakibat fatal. Belajar dari kematian Zhang, ke depan, kematian seperti ini mestinya bisa dicegah. Pada era sekarang, setiap detik terekam dengan baik, dan dengan sangat cepat akan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Kegagalan dalam menolong korban seperti ini menggambarkan ketidaksiapan penyelenggara, kurangnya koordinasi antara tim medis dan petugas lapangan.
Kegagalan menangani atlet yang kolaps di lapangan dalam laga internasional akan mencoreng muka kita. Mestinya ada yang bertanggung jawab. Mudah-mudahan kematian jantung mendadak dari seorang atlet di lapangan tidak terjadi lagi di kemudian hari.
Muhammad Munawar dokter spesialis jantung di RS Jantung Binawaluya, anggota MKEK IDI, mantan Ketua Perhimpunan Dokter Kardiovaskular Indonesia (PERKI)
(mmu/mmu)