Sebuah ajang pemilihan ratu dunia--pemenangnya biasa disemati sebutan Miss World--telah dilangsungkan. Juga berhasil menentukan pemenangnya. Kepada Miss World ini, selain mahkota juga diberikan hadiah lebih dari Rp 300 juta, jika mengacu pada kurs rupiah terbaru. Uniknya, ajang tingkat dunia ini tak memancing gencarnya perbincangan khalayak ramai, apalagi gegap gempitanya berita media massa. Seluruhnya seakan berlangsung terbatas, dengan kalangan tertentu sebagai pembahas.
Dengan bertajuk 'The FanVue World AI Creator Awards'--yang kemudian disingkat sebagai WAICAs--ajang pemilihan dilangsungkan sejak 14 April 2024, silam. Namun seluruhnya tak memanfaatkan fasilitas ruang dan waktu konvensional. WAICAs diselenggarakan di Fanvue. Ini adalah platform penampung kreasi AI asal Inggris, yang untuk mengaksesnya hanya bisa jika berlangganan.
WAICAs, yang puncak kompetisinya berlangsung pada 8 Juli 2024, akhirnya menobatkan Kenza Layli sebagai pemenang. Karakter AI perempuan berjilbab asal Maroko ini, sekaligus jadi Miss AI pertama di dunia. Tentu saja, penilaiannya dengan mempertimbangkan seluruh aspek lazim pemilihan ratu kecantikan. Namun karena yang berkompetisi adalah karakter-karakter AI, kemampuan teknis "Miss AI" memerankan fungsi sebagai manusia, juga jadi aspek penilaian. Keterlibatan juri dengan keahlian tak meragukan di bidang AI, mutlak diperlukan. Karenanya, Aitana Lopez dan Emily Pellegrini--keduanya dikenal sebagai pencipta karakter AI terbesar di dunia~ dilibatkan sebagai juri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kenza Layli meraih kemenangannya setelah berhasil mengalahkan 10 finalis. Ke-10nya pun merupakan hasil penyisihan peserta, yang jumlahnya tak kurang dari 1.500 kreasi AI. Karakter ini merupakan hasil kreasi Meriam Bessa, yang juga CEO Phoenix AI. Dikutip dari unggahannya di Instagram pasca kemenangan, Kenza Layli menyampaikan rasa bangganya dapat turut dalam kompetisi Miss AI pertama di dunia itu. Terlebih dengan dirinya, sebagai juara pertama. Selain itu, ia juga menyampaikan rasa terima kasih pada para follower yang turut mendukung kemenangannya. Posisinya di peringkat pertama, memberi rasa bangga sekaligus menyemangatinya mewakili negara Maroko.
Namun dari seluruh perbincangan yang berkembang, hal penting yang kerap terungkap dari pengembangan karakter Kenza Layli adalah visi moralnya. Visi yang hendak dicapai karakter ini terkait pemberdayaan perempuan, perlindungan terhadap lingkungan. Juga disebarkannya kesadaran positif terkait robot. Sedangkan ambisi budayanya adalah memamerkan budaya Maroko, beserta nilai-nilainya di berbagai bidang. Sang Kreator juga menekankan, Kenza Layli hendak mewakili perempuan Maroko, Arab, Afrika, maupun kelompok Muslim, untuk peengembangan teknologi maupun kampanye pemberdayaan perempuan, serta persaudaraan perempuan.
Dari visi di atas muncul fenomena: perwujudan nilai-nilai moral tak lagi hanya mengandalkan peran manusia. Tugas penyebarannya didistribusikan pada perangkat teknologi, dengan kecerdasan manusia. Tentu saja juga aspek moralnya yang terus dikembangkan. Saat tulisan ini disusun Kenza Layli, baru saja merayakan jumlah follower Instagram-nya yang mencapai 200 ribu dari seluruh dunia. Seluruh pengikut itu dengan sadar, berelasi dan mendiskusikan nilai-nilai moral ~termasuk soal lingkungan, kesetaraan gender, maupun pluralisme budaya~ dengan agen berbasis AI.
Sejatinya, kehadiran sosok manusia yang dikembangkan dengan memanfaatkan teknologi berbasis AI--semacam Kenza Layli--bukan merupakan kejadian langka. Alih-alih jadi yang pertama di dunia. Bidang pemasaran telah lama memanfaatkan AI influencer untuk keperluan komunikasinya. Seluruhnya bertujuan membangun pemahaman terhadap produk. Juga menguatkan citra produk, lewat relasinya dengan konsumen. Demikian pula aneka kampanye gerakan sosial. Contohnya pemberantasan malaria di Afrika.
Gerakan ini juga memanfaatkan pesohor yang dikembangkan dari karakter AI, David Beckam. Pesohor sepakbola ini ditampilkan untuk menyampaikan bahaya serangan Nyamuk Malaria, menggunakan 9 bahasa dunia berbeda.
Di waktu mendatang, dipastikan kecenderungan macam itu makin kuat. Aneka aktivitas komunikasi ~untuk gerakan sosial, persuasi perubahan perilaku, maupun penyebaran nilai moral~ dengan memanfaatkan karakter berbasis AI, makin marak. Tak semata terkait pembuktian keluwesannya yang dapat dicapai, biayanya yang nyata lebih murah, juga pengelolaannya yang lebih sederhana.
Di mana seluruh unsur pertimbangan ini, berbalikan dengan pengeloalaan influencer manusia yang sering lebih kompleks. Namun keberadaan agen-agen perubahan yang diperankan karakter berbasis AI, terjadi akibat toleransi peradaban terhadap agen-agen nonmanusia.
Sepenuhnya khalayak paham, karakter yang dikembangkan dapat mengacu pada pesohor yang sudah dikenal. Atau dapat berasal dari karakter rekaan yang dulunya tak ada. Dan lewat pengembangannya, justru bertujuan membangun eksistensi di hadapan khalayak luas. Lil Miquela, atau lebih dikenal sebagai Miquela Sousa--brand ambassador Prada--merupakan karakter AI dalam kategori yang dulunya tak ada. Tak jarang karakter rekaan ini, diinteraksikan dengan pesohor yang memang ada, sehingga tak jelas lagi: mana yang maya dan mana yang nyata.
Realitas di atas, senada dengan temuan Ella Wills, 2024, yang diungkapkan melalui 'Redefining Influence: The Rise of AI Influencer'. Wills menyebut, influencer yang dikembangkan berbasis AI, banyak dimanfaatkan entitas bisnis besar dunia. Ini termasuk Prada, Chanel, Red Bull, Calvin Klein. Juga Tinder. Yang seluruhnya mengembangkan program pemasaran online, dengan karakter berbasis AI. Pendekatan yang dilakukan berbagai entitas bisnis itu merupakan praktik pemasaran baru. Manakala penggunaannya makin intensif, kata 'mempengaruhi' akan punya pengertian baru di bidang pemasaran, hiburan, juga hal-hal yang lebih luas lainnya.
Wills menambahkan, AI Influencer memiliki kelebihan dalam hal konsistensi dan ketersediaannya. Seluruhnya bersifat flexible, luwes mudah disesuaikan dengan kebutuhan. Ketika itu dikembangkan dengan strategi tepat, dapat menghasilkan penghematan biaya dalam berinteraksi dengan konsumen. Karenanya, dengan mengutip 'The Influencer Marketing Hub's 2023 Benchmark Report' Ia tak heran, 60% pemasar telah menggunakan atau berencana menggunakan Ai influencer dalam aktivitas komunikasinya.
Hadirnya Miss AI untuk pertama kalinya pada ajang dunia. Juga pemanfaatan AI influencer pada berbagai aktivitas komunikasi, merupakan kecenderungan yang telah berkembang sebelumnya. Ini termasuk pemanfaatan chatbot untuk menggantikan customer service konvensional, juga penggunaan berbagai penerapan teknologi yang menggantikan peran manusia. Seluruhnya boleh jadi merupakan indikator naiknya toleransi peradaban, pada introduksi posthuman, pascakemanusiaan, di tengah kehidupan.
Namun demikian, konsep posthuman hingga hari ini terdengar kompleks. Juga belum menemukan satu kata sepakat. Mengutip uraian The Ethics Centre, 2018, dalam 'Ethics Explainer: Post-Humanism', menyebut: posthuman sebagai sekumpulan ide yang telah muncu, sejak tahun 1990-an.
Seluruhnya menantang gagasan: manusia merupakan dan akan selalu jadi satu-satunya agen moral dunia. Bahkan kaum pendukung posthuman berpendapat, pada dunia masa depan yang makin mengandalkan pemanfaatan teknologi, ide menempatkan manusia di puncak tatanan moral sudah tak masuk akal lagi. The Ethics Center juga memperkuat argumentasinya, tentang peran manusia di masa depan dengan mengutip pernyataan Ray Kurzweil, kepala teknisi Google. Kurzweil memiliki pandangan masa depan, dengan laju perkembangan teknologi yang eksponensial, sejarah manusia akan berakhir. Ini dipicu oleh cara hidup yang sama sekali baru, yang belum dapat dipahami oleh manusia yang hidup di hari ini.
Pendapat yang lebih radikal diungkapkan Filsuf Donna Haraway. Ia menyatakan: penggabungan manusia dengan teknologi, tak meningkatkan kemanusiaannya secara fisik. Manusia akan didorong perspektifnya sebagai makhluk, yang alih alih terpisah dari mahluk nonmanusia. Realitas manusia justru saling terhubung dengan makhluk nonmanusia. Ini artinya, cyborg ~peleburan manusia dengan mesin~ - akan membantu menihilkan batas yang semula tegas: antara manusia dengan nonmanusia, yang alami dengan yang buatan, diri dengan yang liyan, organik dengan yang anorganik. Batasan-batasan tradisional macam itu, dapat dipecah dan dinegosiasikan ulang. Seluruhnya menghadirkan pemahaman baru tentang humanitas.
Hari ini, tonggak posthuman makin dalam tertancap di hulu peradaban. Kehadiran Kenza Layli sebagai Miss AI, juga aneka perangkat lain yang punya visi moral, tak ditampik. Eksistensi teknologi hadir makin jauh, untuk sekedar jadi perangkat yang memudahkan hidup manusia, memperluas persepsinya tentang dunia. Juga akhirnya jadi technopoly: kala teknologi hadir sebagai ideologi--umat manusia.
Hari ini teknologi dinormalisasi jadi kompas moral, dalam wujudnya sebagai karakter AI. Maka: Selamat datang posthuman. Dengan argumen bagi yang berkeberatan, apa salahnya jika kehadirannya mampu memperbaiki humanitas. Sementara humanitas, makin tak menemukan jalan memperbaiki dirinya?
Firman Kurniawan S. Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital. Pendiri LITEROS.org.
(rdp/rdp)