Membaca Arah Transformasi Kebijakan Pengelolaan Lobster

Kolom

Membaca Arah Transformasi Kebijakan Pengelolaan Lobster

Didik Agus Suwarsono - detikNews
Selasa, 23 Jul 2024 09:17 WIB
Budidaya Lobster
Foto: KKP
Jakarta -

Ruang publik kembali ramai dengan diskursus kebijakan pengelolaan lobster yang digagas Pemerintah melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 7 tahun 2024. Sejumlah kekhawatiran yang muncul, tentu saja dapat dipahami, mengingat kita pernah punya memori buruk kebijakan pengelolaan Benih Bening Lobster (BBL).

Dengan tanpa bermaksud mengabaikan berbagai persoalan yang masih terjadi pada level implementasi, jika kita membaca secara seksama keseluruhan muatan pengaturan pengelolaan lobster dalam Peraturan Menteri tersebut, sejatinya ada semangat perbaikan dan upaya transformasi pengelolaan melalui penataan hulu hilir ekosistem bisnis lobster.

Sebelum mengurainya, saya ingin memulai tulisan ini dengan menyajikan referensi empiris tentang kekhususan karakter dan ekosistem BBL di Indonesia. Dalam banyak referensi, tingkat kemampuan bertahan hidup (survival rate) BBL termasuk rendah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kematian alami BBL di Indonesia sangat tinggi, salah satunya disebabkan karena habitat BBL di Pantai Selatan Jawa, Bali, Lombok, dan Sumbawa, dianggap kurang ideal sebagai habitat BBL karena memiliki topografi yang curam, dan jalur sempit terumbu karang (Gardner et al., 2006; Herrnkind and Butler, 1994; Phillips et al.,2003a, dalam Priyambodo, 2020).

Belum lagi tingginya tingkat kematian BBL karena menjadi mangsa dalam rantai makanan di ekosistem laut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di wilayah perairan Lombok, survival rate BBL bahkan diperkirakan kurang dari 0,01% (Priambodo 2020).

ADVERTISEMENT

Secara matematis, artinya dari 10.000 BBL, diperkirakan hanya 1 ekor saja yang dapat bertahan hidup sampai dengan dewasa. Dalam konteks ini, maka kita harus melihat kegiatan penangkapan BBL sebagai upaya menyelamatkan sumber daya BBL. Mengutip kalimat para ahli Lobster, "catch them before they (BBL) die".

Pertanyaannya, penangkapan seperti apa yang dapat menjamin keberlanjutan BBL? Peraturan Menteri ini memberikan beberapa acuan dasar tata kelola penangkapan BBL yang mempertimbangkan aspek kelestarian sumber daya BBL.

Pertama, penangkapan BBL dilaksanakan berdasarkan kuota [Pasal 2 ayat (2)]. Hal tersebut mengandung pesan penting bahwa prinsip kehati-hatian, dan pendekatan ilmiah sangat dikedepankan dalam pengelolaan BBL. Kuota penangkapan BBL ditetapkan sebesar 419.213.719 ekor dari total estimasi potensi BBL sebesar 465.793.021 ekor.

Kedua, kegiatan penangkapan juga dilakukan oleh nelayan kecil yang terdaftar dalam kelompok nelayan berdasarkan rekomendasi Dinas Kabupaten/Kota [Pasal 2 ayat (6)]. Hal yang mencerminkan upaya mengendalikan terhadap fishing effort.

Ketiga, kegiatan penangkapan BBL yang dilakukan pun diwajibkan untuk menggunakan alat tangkap yang bersifat pasif dan ramah lingkungan [Pasal 2 ayat (8)]. Hal ini tentu dimaksudkan untuk menjaga agar kelestarian BBL dan lingkungannya dapat terjaga.

Tidak cukup di situ, komitmen untuk untuk serius menata hulu juga ditunjukkan dengan penuangan kewajiban untuk melaporkan hasil tangkapan BBL [Pasal 2 ayat (9)]. Hal ini tentu penting sebagai instrumen kontrol terhadap sumber daya BBL di perairan Indonesia. Melalui pelaporan data yang baik, kebijakan penangkapan BBL dapat dilakukan secara berkelanjutan.

Perbaikan tata kelola juga dilaksanakan melalui sejumlah perbaikan bisnis proses pembudidayaan BBL. Untuk pembudidayaan yang dilaksanakan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, sejumlah kemudahan dan pengintegrasian dilakukan dengan sektor hulu, di antaranya: BBL berasal dari hasil tangkapan nelayan kecil [Pasal 3 ayat (2) huruf a].

Hal ini tentu dimaksudkan agar BBL yang ditangkap nelayan kecil dapat diserap oleh industri budidaya, dengan kata lain, Pemerintah tidak ingin pembudidaya mengalami kesulitan benih. Selain itu, pembudidaya lobster juga harus memiliki perizinan berusaha pembesaran crustacea laut [Pasal 3 ayat (2) huruf b]. Ini tentu harus dilihat sebagai upaya menata industri budidaya lobster baik pada skala usaha mikro, kecil, menengah maupun besar.

Melalui mekanisme perizinan ini kemudian prinsip-prinsip budidaya yang baik dan berkelanjutan dapat diterapkan. Pemerintah juga mendorong pentingnya aspek ketertelusuran (traceability) melalui keharusan surat keterangan asal bagi BBL yang akan dibudidayakan [Pasal 3 ayat (2) huruf c].

Ketertelusuran ini tentu penting untuk menjamin pelaksanaan kuota penangkapan BBL, dan memastikan penangkapan BBL dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Upaya transformasi yang bermuara pada upaya meningkatkan kualitas pembudidayaan BBL juga dilakukan melalui sejumlah perbaikan aspek teknis yang terkait dengan: (a) lokasi pembudidayaan yang harus sesuai dengan rencana tata ruang dan/rencana zonasi [Pasal 5 ayat (1)]; (b) daya dukung lingkungan perairan yang sehat [Pasal 5 ayat (2)], (c) sarana dan prasarana seperti: pakan, obat dan wadah yang sesuai dengan ketentuan teknis dan peraturan perundang-undangan [Pasal 5 ayat (4)], (d) penanganan penyakit yang mengedepankan sistem pencegahan, pengobatan, pemusnahan dan pemulihan lingkungan budidaya [Pasal 5 ayat (5)], (e) penanganan limbah yang memenuhi prinsip cara budidaya ikan yang baik [Pasal 5 ayat (6)], dan (f) penebaran kembali (restocking) yang dilakukan paling sedikit 2% dari hasil panen [Pasal 5 ayat (7)].

Semua hal tersebut, sejatinya menggambarkan secara jelas arah pembudidayaan BBL yang berorientasi pada keseimbangan dan keberlanjutan aspek ekologi, sosial dan ekonomi.

Bagaimana untuk pembudidayaan yang dilakukan di luar wilayah Negara Republik Indonesia? Jika membaca berbagai statement dan penjelasan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait dengan kebijakan ini, yang bisa kita tangkap adalah upaya belajar dan transfer teknologi dari negara yang lebih dulu memiliki kapasitas dan kapabilitas pembudidayaan BBL (seperti Vietnam), upaya mengembangkan budidaya di dalam negeri melalui skema kerja sama dan investasi, serta upaya menaikkan posisi tawar Indonesia sebagai bagian penting dalam global supply chain perikanan lobster.

Selain itu, Pemerintah tampaknya juga tidak ingin sumber daya BBL keluar dari Indonesia secara cuma-cuma melalui berbagai praktik penyelundupan BBL yang masih marak terjadi. Berbagai pertimbangan-pertimbangan tersebut yang tampaknya dengan penuh kehati-hatian kemudian dituangkan dalam kebijakan pembudidayaan BBL di luar wilayah negara Republik Indonesia.

Pasal 6 ayat (1), mengatur pembudidayaan dilakukan oleh investor yang melakukan Pembudidayaan BBL di Indonesia dengan ketentuan: (a) pemerintah asal investor telah menandatangani dokumen perjanjian dengan pemerintah Indonesia; (b) adanya permintaan jumlah kuota BBL dari pemerintah negara asal investor dengan permohonan tertulis; (c) investor harus melakukan kerja sama dengan badan layanan umum yang membidangi perikanan budidaya; (d) investor harus memiliki dokumen penunjukan dari pemerintah asal investor; (e) investor memperoleh BBL untuk kegiatan pembudidayaan dari badan layanan umum yang membidangi perikanan budidaya yang telah menandatangani dokumen perjanjian; (f) investor membentuk perseroan terbatas berbadan hukum Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan; (g) investor memiliki tenaga ahli Pembudidayaan lobster (Panulirus spp.) pada Segmentasi Usaha Pendederan dan Pembesaran; dan (h) investor membuat surat pernyataan kesanggupan melakukan pelepasliaran lobster (Panulirus spp.) sebanyak 2 (dua) persen dari hasil panen dengan berat minimal 50 (lima puluh) gram per ekor. Berbagai persyaratan di atas tentu akan menjadi penyaring (filter) agar kebijakan ini dipergunakan sebagaimana mestinya, yaitu untuk mengembangkan pembudidayaan BBL di Indonesia.

Selain itu, Pengeluaran BBL dari wilayah negara Republik Indonesia untuk dibudidayakan dilakukan melalui tempat Pengeluaran yang telah ditetapkan oleh badan yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang karantina Ikan [Pasal 6 ayat (2)]. BBL yang dikeluarkan pun, harus memenuhi persyaratan diantaranya: (a) Sertifikat kesehatan, (b) surat keterangan asal BBL, dan (c) telah membayar pungutan sumber daya alam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau penerimaan negara bukan pajak [Pasal 6 ayat (5)].

Hal ini tentu merupakan komitmen untuk menyediakan BBL yang sehat, memenuhi unsur ketertelusuran dan memberikan keuntungan bagi Negara.

Dalam tata niaga BBL ini, Pemerintah akan mendorong peran penting Badan Layanan Umum yang akan memiliki kewenangan dalam bekerja sama dengan investor, menetapkan harga patokan penjualan BBL, menerbitkan surat keterangan asal, dan memungut pungutan sumber daya alam dan/atau penerimaan negara bukan pajak. Hal lainnya yang tentu menjadi bagian penting dalam transformasi pengelolaan lobster ini tentu saja peran pengawasan.

Pengawasan terhadap penangkapan, pembudidayaan dan distribusi akan dilakukan oleh Pengawas Perikanan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 17).

Upaya pengenaan sanksi administratif bagi pelaku pelanggaran dalam bentuk: (a) peringatan/teguran tertulis; (b) paksaan pemerintah termasuk penghentian, penyegelan dan tindakan lain; (c) denda administratif; (d) pembekuan perizinan berusaha; dan (e) pencabutan dokumen perizinan berusaha, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (4), tentu menegaskan keseriusan dan komitmen Pemerintah, bahwa tidak ada kata kompromi bagi para pelaku pelanggaran di bidang pengelolaan lobster.

Dengan berbagai pendekatan tata kelola yang didesain dari hulu sampai dengan hilir, rasanya kita perlu menyediakan ruang dan kesempatan bagi Pemerintah untuk melakukan perbaikan tata kelola lobster.

Paling tidak kita bisa melihat arah yang jelas dari transformasi kebijakan ini, dan tentu sudah tugas bersama untuk mengawasi dan memastikan implementasi kebijakan pengelolaan lobster ini membawa kebermanfaatan secara ekologi, sosial dan ekonomi.

Didik Agus Suwarsono, Senior Analis Pusat Kajian dan Pemberdayaan Kelautan dan Perikanan (PUSARAN)

(anl/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads