Sejak 2017, sistem PPDB sejatinya tak lagi mempertimbangkan prestasi. Kalau pun diberikan ruang, porsinya sangat kecil sekali, hanya maksimal lima persen. Sementara pertimbangan berdasarkan zonasi mencapai 90 persen. Pada PPDB sistem zonasi, nilai tidak dijadikan pertimbangan utama dalam kelulusan. Sayangnya, kebijakan ini ternyata mengusik banyak pihak, terutama anak-anak berprestasi.
Protes pun menyeruak tatkala banyak anak berprestasi gagal PPDB. Anak berprestasi ini seakan-akan merasa paling berhak untuk mendapatkan sekolah. Mereka pun protes tatkala tidak lulus. Dari tahun ke tahun, kuota zonasi terus menciut, dari 90 persen kini tinggal 50 persen. Sementara jalur prestasi diperbesar, dari lima persen kini mencapai hingga 50 persen.
Meski kuota sudah diperbesar, jalur prestasi kembali menuai masalah di PPDB tahun ini. Prestasi jadi-jadian dan sertifikat abal-abal menjadi temuan kecurangan di banyak tempat. Sebenarnya, kenaikan kuota jalur prestasi ini, secara tidak langsung, mengkaburkan maksud dan tujuan penerapan sistem zonasi. Jika dibiarkan, maka PPDB akan kembali menggunakan merit-based system, alias balik ke sistem lama berdasarkan Nilai Evaluasi Murni (NEM).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya menduga, PPDB bisa jadi akan kembali ke sistem lama. Dugaan ini tercermin dari sebagian suara orangtua yang kecewa dan juga pernyataan Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf. Saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Eselon 1 Kemendikbudristek (9/7), Dede Yusuf melontarkan opsi perubahan mekanisme PPDB ke seleksi berbasis NEM. Ia juga memberikan opsi lain, yaitu pembangunan sekolah negeri baru, atau pelibatan sekolah swasta saat PPDB.
Arogansi Sistem Prestasi
Menurut saya, pilihan opsi tersebut masih gelap gulita dan membingungkan. Setidaknya, ada tiga kerancuan atas tawaran itu. Pertama, kembali ke sistem NEM adalah langkah mundur dan banyak pihak yang terdiskriminasi. Saat ini pendidikan dasar dan menengah sudah menuju public education system. Ini sudah bagus, meskipun masih banyak lubang di sana-sini. Jadi, jangan dikembalikan lagi ke pola lama yang melihat dan menilai anak dari sisi kemampuan akademik saja, alias berbasis NEM.
Jika ini dilakukan, pendidikan kita akan mundur, karena masih membeda-bedakan anak berdasarkan prestasi akademik. Bagaimana nasib anak yang nilai akademiknya buruk? Mereka pasti terabaikan dan tambah tertinggal. Padahal, semua anak adalah hebat dan berprestasi sesuai dengan kemampuan dan bakat yang dimiliki.
Kedua, melanggengkan sistem seleksi. Pada poin ini, petaka pelanggaran hak anak terbuka lebar. PPDB dengan sistem seleksi alias sistem gugur adalah bertentangan dengan semangat pemenuhan hak semua anak untuk mendapatkan pendidikan. Sebab, semua anak punya hak yang sama. Tidak boleh ada seleksi dan kompetisi rebutan kursi (non-rivalry) di pendidikan dasar dan menengah. Semua anak harus terlayani secara berkeadilan. Sejak kapan pemenuhan hak anak itu boleh diseleksi dan dibeda-bedakan?
Persamaan hak dan perlakukan sebagai warga negara ini dijamin oleh UUD 1945, Pasal 31. Jadi, tugas pemerintah adalah memfasilitasi dan membiayai semua anak-anak Indonesia yang ingin bersekolah. Apalagi, pemerintah punya program Wajib Belajar 12 Tahun. Pemerintah jangan hanya menyuruh anak untuk bersekolah. Tapi kenyataannya, begitu mendaftar sekolah, malah masuknya susah, harus diseleksi dan ada yang tidak lulus, bangkunya kurang, atau sekolahnya malah tidak ada. Jadi, pemerintah harus menjamin semua kebagian bangku sekolah (non-excludable).
Menghitung Daya Tampung
Ketiga, problem daya tampung sekolah tak cukup. Sebenarnya, daya tampung sekolah sudah cukup. Daya tampung yang kurang itu terlokalisasi di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) yang memang punya kendala infrastruktur dan kondisi geografis. Sementara di daerah pada umumnya, yang bukan 3T, daya tampung sekolah sudah mencukupi. Menjadi kurang, karena PPDB hanya melibatkan sekolah negeri, dan tidak melibatkan sekolah swasta.
Yang belum jelas adalah pernyataan pelibatan sekolah swasta yang dilontarkan oleh Dede Yusuf dan juga diamini oleh Kemendikbudristek saat RDP, itu skemanya bagaimana? Publik menangkap bahwa belum tampak jelas skema pelibatannya seperti apa. Kalau pelibatan sekolah swasta seperti yang terjadi saat ini, seperti di Jakarta, maka tidak akan menyelesaikan masalah. Sebab, jumlah sekolah swasta yang dilibatkan sangat minim.
Kasus di Jakarta, pelibatan sekolah swasta saat PPDB, hanya menampung sekitar empat persen dari total kebutuhan. Ini yang bermasalah. Mestinya, yang dijadikan baseline datanya adalah jumlah calon peserta didik. Jadi, perlu pemetaan yang terukur: siapa, berapa, dan di mana calon peserta didik akan bersekolah. Lalu, pemerintah daerah menyediakan bangku sekolah (di negeri dan swasta) sejumlah calon peserta didik.
Realitas ketimpangan jumlah calon peserta didik dan kekurangan daya tampung di sekolah negeri ini melahirkan banyak kecurangan saat PPDB. Kenapa ini berlarut-larut? Karena Permendikbud No.1 tahun 2021 tidak mewajibkan kepada pemerintah daerah untuk menyediakan bangku sekolah sejumlah calon peserta didik. Beleid itu hanya memperbolehkan pemda untuk berkolaborasi dengan sekolah swasta. Mestinya, peraturan tersebut tidak hanya memperbolehkan, tapi mewajibkan kepada pemda untuk bekerja sama dengan sekolah swasta untuk menyediakan daya tampung sekolah sejumlah calon peserta didik.
Masalah menjadi tambah rancu ketika ada opsi pembangunan gedung sekolah negeri yang baru. Berapa biaya yang dibutuhkan dan berapa lama dapat diselesaikan? Ini pertanyaan yang butuh diskusi panjang kali lebar. Padahal, persoalan pemenuhan hak untuk mendapatkan pendidikan ini sudah di depan mata dan mendesak untuk diselesaikan. Karena itu, opsi ini tidak cukup solutif untuk mengatasi problem kesenjangan yang tengah terjadi.
Zonasi Tanpa Rebutan Kursi
Supaya berkeadilan untuk semua, menurut saya kebijakan PPDB dengan sistem zonasi harus dilanjutkan dengan tanpa seleksi, atau tanpa kompetisi rebutan kursi. Zonasi sekarang menjadi kisruh karena menggunakan sistem seleksi untuk mengakali kekurangan daya tampung. Ke depan, untuk kesetaraan akses, pemerintah harus menjamin semua anak dapat jatah bangku sekolah. Tidak perlu lagi manipulasi dan maladministrasi untuk mendapatkan kursi, karena semua sudah dapat jatah.
Ada dua alasan utama mengapa sistem "zonasi tanpa rebutan kursi" harus segera diterapkan. Pertama, penerapan zonasi dalam pemerataan akses akan berdampak pada percepatan penurunan angka anak tidak sekolah, yang kini jumlahnya masih jutaan. Ketika jumlah calon peserta didik sudah didata dan dipastikan mereka dapat jatah bangku sekolah, maka tidak perlu lagi sistem seleksi untuk memperebutkan bangku sekolah. Buat apa diseleksi, kan semua pasti masuk dan dapat jatah bangku sekolah. Jadi sistem zonasi ini memudahkan anak untuk dapat memanfaatkan fasilitas sekolah di dekat rumah.
Kedua, penerapan zonasi harus dibarengi dengan pemerataan mutu. Jika terjadi ketimpangan mutu sekolah, orang tua akan mendaftarkan sekolah anaknya di sekolah favorit, meskipun jauh dari rumah. Maka, PPDB akan tetap karut-marut. Karena itu, kebijakan sistem zonasi ini menuntut pemerintah untuk melakukan pemerataan mutu, supaya persepsi dan fakta sekolah favorit tidak ada lagi.
Zonasi harus dijadikan instrumen untuk mempermudah pemetaan kualitas dan strategi intervensi untuk pemerataan mutu. Dengan begitu, ketika daya tampung tercukupi dan mutu sekolah sudah merata, maka orang tua pasti happy karena anaknya dijamin pemerintah dapat sekolah yang berkualitas.
Ubaid Matraji Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI)