Rekan saya seorang penerima beasiswa pernah bercerita, dalam sebuah forum penerima beasiswa S2 (awardee) dari salah satu lembaga pemberi beasiswa yang dihadirinya, ada sosok awardee yang bertanya mengenai nasib mereka pascalulus nantinya. Apa garansi yang diberikan oleh pemberi beasiswa agar mereka tetap bisa mengabdi melalui profesi yang layak dan linear dengan disiplin ilmu yang mereka pelajari semasa studi S2?
Apa jaminan yang bisa mereka pegang agar tidak terhindar dari ancaman status precariat (pekerjaan tidak ideal) atau bahkan pengangguran? Singkatnya pertanyaan dari awardee itu langsung dipertanyakan balik oleh pihak pemberi beasiswa. Kepastian profesi atau pekerjaan yang layak dan sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki awardee pascalulus bukanlah tanggung jawab mereka. Sebaliknya, itu menjadi tanggung jawab awardee sendiri.
Toh para awardee ini sudah dibiayai pendidikannya, sudah seharusnya merekalah yang menjadi agen perubahan sosial dan bisa mandiri pascalulus nantinya. Pertanyaan dari awardee tersebut secara konteks dan tujuannya memang salah kamar. Pertanyaannya dilempar kepada pihak yang kurang tepat. Tentu saja pemberi beasiswa tidak bertanggung jawab atas kepastian karier awardee ke depannya, karena mereka adalah pemberi beasiswa, bukan pemberi pekerjaan.
Tapi, secara empiris dan realitas sosial-ekonomi, pertanyaan sang awardee tidaklah salah. Apa yang ditanyakannya merupakan kekhawatiran universal jika dilihat dari kondisi pasar kerja saat ini. Selain lulusan sarjana yang masih berebut kesempatan kerja, lulusan pascasarjana juga punya problem yang sama. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2024 menyebutkan, ada total 7,2 juta pengangguran terbuka. Dari angka tersebut, 5,65 persen di antaranya adalah lulusan S1, S2, dan S3.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seolah menguatkan data dari BPS, survei konsumen yang dilakukan oleh Bank Indonesia pada Maret 2024 mengungkap bahwa lulusan pascasarjana masuk menjadi golongan yang mencatat penurunan Indeks Keyakinan Konsumen terdalam. Indeks ini mengukur tingkat keyakinan terhadap kondisi ekonomi enam bulan mendatang dibanding saat ini. Itu artinya, para lulusan pascasarjana tidak memiliki optimisme terhadap kondisi ekonomi dalam negeri saat ini, khususnya terhadap penciptaan dan ketersediaan lapangan kerja.
Sangat Terbatas
Dalam bursa kerja, kesempatan kerja yang dikhususkan bagi pascasarjana juga sangat terbatas. Para lulusan pascasarjana hanya memiliki pilihan berkarier secara jelas sebagai akademisi. Hal itu pun harus mereka hadapi dengan realitas seleksi kampus yang kental dengan perekrutan berdasarkan asas relasi dan kekerabatan.
Sementara di sektor Industri, lebih sering membuka kesempatan bagi lulusan S1 dan tingkatan di bawahnya untuk berkompetisi. Di kota besar seperti Bandung misalnya, menurut data BPS Maret 2024, lowongan kerja untuk lulusan pascasarjana hanya 91 lowongan dari total 5067 lowongan kerja. Tentu untuk daerah industri seperti Cikarang, Karawang, Bekasi, atau sejenisnya lebih berminat dengan lulusan S1 ketimbang S2. Hal itu karena di daerah tersebut lebih membutuhkan tenaga produksi dan teknis ketimbang tenaga dengan area skill manajemen dan tingkatan di atasnya. Posisi tersebut lebih sering diisi oleh tenaga asing.
Seretnya lowongan pekerjaan untuk lulusan S2 didasari pada sikap sektor industri yang menganggap lulusan S2 over-qualified, baik dari segi kemampuan, kualifikasi, dan gaji atau insentif. Dalam banyak kisah, ketika individu lulusan S2 ini mencoba menurunkan standarnya dan ikut bersaing dalam bursa kerja yang berisi lulusan S1 dan di bawahnya, mereka acap langsung tereliminasi.
Upah Minimum Kota (UMK) yang seharusnya dijadikan standar minum dalam memberikan insentif kepada pekerja dalam praktiknya jadi standar maksimum yang diberikan oleh industri. Hal itu yang membuat industri memilih mencari lulusan di bawah S2 karena dapat diberi insentif sesuai UMK, bahkan di bawah UMK.
Minimnya Keberpihakan Pemerintah
Salah satu indikasi yang menjadi akar masalah mengapa lulusan S2 seperti tidak disambut baik di ekosistem kerja dalam negeri adalah orientasi pemerintah yang hanya berfokus pada industri hulu, spesifiknya pada industri padat karya dan bahan mentah. Di sektor jasa pun, hanya menyerap SDM yang terampil di teknis dan lapangan.
Nafsu untuk menarik modal dan investasi asing ke dalam negeri menyebabkan pemerintah melonggarkan regulasi dan ekosistem pasar kerja yang terkesan eksploitatif, terlebih pasca disahkan UU Cipta kerja. Pemerintah ingin modal dan investasi asing mengalir deras ke dalam negeri dengan berpangku pada SDM yang terbatas pada aspek teknis dan produksi.
Minimnya keberpihakan pemerintah juga dapat dilihat dari pelitnya dukungan terhadap ekosistem kerja yang berorientasi pada riset dan pengembangan berkelanjutan. Hal itu dapat dilihat dari alokasi dana riset yang tidak menyentuh angka satu persen dari PDB nasional. Pada 2023, anggaran riset Indonesia hanya diambil Rp 2,2 triliun dari APBN. Mirisnya total dana tersebut hanya diberikan kepada BRIN dengan komposisi lebih dari 60 persennya habis digunakan untuk keperluan operasional. Bahkan BRIN sendiri masih menambal biaya tersebut dari sumber anggaran lainnya.
Lembaga riset lain yang tugasnya mendukung pengembangan sektor ekonomi dan sosial dipaksa mengais-ngais anggaran kepada pihak swasta. Hal inilah yang membuat lembaga riset acap dipertanyakan independensinya. Iklim riset yang sedemikian pacekliknya tentu membuat para lulusan S2 makin khawatir. Memang dalam karier, tidak semua lulusan S2 harus berkecimpung di dunia riset. Tapi perlu disadari, ekosistem riset yang baik akan melahirkan sektor industri yang berorientasi pada keberlanjutan.
Sektor itulah yang menjadi ladang ideal bagi para lulusan pascasarjana. Tidak heran apabila ada lulusan pascasarjana luar negeri yang dibiayai dengan skema beasiswa sering enggan kembali ke Indonesia. Mereka sadar bahwa skill mereka tidak sepenuhnya dibutuhkan oleh industri di dalam negeri. Paradoksnya, dalam beberapa kesempatan, pemerintah bahkan Presiden sendiri justru mengeluhkan persentase lulusan pascasarjana di Indonesia yang masih kurang dari satu persen.
Rela Menjadi Precariat
Dalam kacamata pemerintah, lulusan pascasarjana diminta untuk menjadi agen perubahan dan pencipta lapangan kerja. Tuntutan tersebut bagi sebagian lulusan pascasarjana menjadi landasan untuk membuat ekosistem kerja sendiri, istilahnya adalah sociopreneur. Mereka menciptakan wadah kerja sendiri kemudian berfokus pada fenomena sosial kemasyarakatan yang selaras dengan disiplin ilmu yang mereka kuasai.
Tapi kembali lagi, menjadi sociopreneur tidaklah mudah terlebih persoalan pendapatan atau insentif. Sebagian dari lulusan pascasarjana ini harus rela menjadi pekerja precariat. Menjalani pekerjaan yang tidak sesuai dengan kualifikasi dengan standar insentif seperti jaminan kesehatan dan sosial yang di bawah standar minimum.
Ya, pekerjaan seperti itu harus tetap mereka jalani. Beban objektivikasi masyarakat atas gelar yang mereka miliki jadi hantu yang membebani pikiran mereka. Siapa juga yang mau menerima predikat pengangguran dengan gelar S2? Pemerintah harusnya sadar bahwa para lulusan S2 ini bukan tanpa usaha dan hanya berpangku tangan. Cara terbaik agar kompetensi mereka ini tidak mubazir adalah dengan serius mengembangkan industri yang berorientasi pada hilirisasi yang keberlanjutan.
Muhamad Iqbal mahasiswa Pascasarjana Sains Ekonomi Islam Universitas Airlangga