Kolom

AI dan Sapiens yang Rapuh

Waode Nurmuhaemin - detikNews
Selasa, 16 Jul 2024 15:10 WIB
Foto: REUTERS/Albert Gea
Jakarta -

Pada awal abad ke-21, umat manusia memasuki sebuah era di mana perkembangan teknologi melesat dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Teknologi informasi, bioteknologi, dan kecerdasan buatan (AI) telah mengubah cara kita hidup, bekerja, dan berinteraksi. Di balik kemajuan yang mencengangkan ini, terdapat sebuah ancaman yang semakin nyata: kerentanan spesies Homo sapiens dalam menghadapi kekuatan AI yang terus berkembang, dampaknya terhadap pekerjaan manusia, dan ambisi besar untuk menjelajahi dan menjajah Mars.

Sejak Revolusi Kognitif sekitar 70.000 tahun yang lalu, Homo sapiens telah mendominasi bumi. Kekuatan kita terletak pada kemampuan untuk bekerja sama dalam kelompok besar dan menciptakan narasi-narasi kolektif yang memungkinkan terbentuknya budaya dan peradaban yang kompleks. Namun, pada era AI, narasi kolektif ini sedang diuji dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya.

AI memiliki potensi untuk merevolusi hampir setiap aspek kehidupan manusia. Di bidang kesehatan, AI dapat mendiagnosis penyakit dengan akurasi yang melebihi dokter manusia. Dalam dunia bisnis, AI mampu mengoptimalkan proses produksi dan logistik dengan efisiensi yang mengagumkan. Bahkan dalam seni dan hiburan, AI mampu menciptakan karya-karya yang menyaingi, atau bahkan melampaui, kreativitas manusia.

Namun, di balik semua kemajuan ini, ada risiko besar yang mengintai. Salah satu dampak paling nyata dan langsung dari revolusi AI adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang terjadi di berbagai sektor industri. Terbaru adalah PHK masal yang menimpa karyawan BATA Indonesia dan juga Tokopedia sarta banyak perusahaan start up lainnya. AI tidak hanya menggantikan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat manual dan repetitif, tetapi juga mulai mengambil alih pekerjaan-pekerjaan yang sebelumnya dianggap membutuhkan kecerdasan manusia, seperti analis data, pengacara, dan bahkan dokter.

Pergeseran ini menciptakan ketidakpastian yang besar bagi jutaan pekerja di seluruh dunia. Mereka yang terkena dampak PHK massal sering menemukan diri mereka tidak memiliki keterampilan yang diperlukan untuk pekerjaan baru yang muncul. Ini memperburuk ketidaksetaraan ekonomi yang sudah ada, di mana segelintir orang yang memiliki keterampilan tinggi dan akses ke teknologi terus meningkat kesejahteraannya, sementara sebagian besar lainnya tertinggal.

AI, dengan kemampuan analitiknya yang luar biasa, mampu mengidentifikasi efisiensi dan mengurangi biaya tenaga kerja. Dalam konteks ekonomi global yang kompetitif, perusahaan-perusahaan terpaksa mengadopsi teknologi ini untuk tetap bertahan. Hasilnya adalah gelombang PHK massal yang melanda industri-industri tradisional, dari manufaktur hingga pelayanan pelanggan, dari sektor keuangan hingga transportasi.

Lebih dari itu, AI dapat memperkuat dan memperbesar bias yang sudah ada dalam masyarakat. Algoritma AI belajar dari data yang diberikan, dan jika data tersebut mencerminkan bias dan ketidakadilan, maka AI akan memperkuat bias tersebut. Misalnya, sistem pengenalan wajah yang dikembangkan dengan data yang tidak beragam cenderung gagal mengenali wajah-wajah dari kelompok etnis tertentu, memperkuat diskriminasi yang sudah ada.

Sementara itu, di tengah ketidakpastian yang disebabkan oleh revolusi AI, manusia juga sedang berusaha untuk memperluas keberadaan mereka di luar bumi. Ambisi untuk membangun koloni di Mars telah menjadi salah satu proyek paling ambisius dalam sejarah manusia. Elon Musk dengan SpaceX, serta berbagai badan antariksa nasional seperti NASA dan ESA, berlomba-lomba untuk mewujudkan mimpi ini.

Kolonisasi Mars bukan hanya tentang eksplorasi ilmiah; ini juga merupakan upaya untuk memastikan kelangsungan spesies Homo sapiens. Dengan tantangan yang dihadapi bumi, seperti perubahan iklim, sumber daya alam yang menipis, dan ancaman konflik global, Mars dilihat sebagai sebuah peluang untuk menciptakan peradaban baru yang dapat menjadi cadangan bagi umat manusia.

Namun, proyek kolonisasi ini bukan tanpa tantangan. Kehidupan di Mars akan membutuhkan teknologi yang sangat maju, termasuk AI, untuk mengatasi lingkungan yang keras dan tidak ramah. Dari sistem penunjang kehidupan hingga agrikultur di luar angkasa, AI akan memainkan peran kunci dalam memastikan kelangsungan hidup manusia di planet merah tersebut. Tetapi, ketergantungan pada AI ini juga mengingatkan kita pada kerentanan yang sama: apakah kita akan menciptakan sebuah peradaban baru yang lebih adil dan manusiawi, ataukah kita akan mengulangi kesalahan yang sama dengan yang kita lakukan di bumi?

Di dunia di mana AI semakin mendominasi, Homo sapiens perlu menegaskan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang mendasari peradaban kita. Pendidikan, misalnya, harus lebih menekankan pada pengembangan empati, kreativitas, dan pemikiran kritis—kualitas-kualitas yang sulit direplikasi oleh mesin. Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk memastikan bahwa perkembangan AI tidak mengorbankan martabat dan kesejahteraan manusia.

Selain itu, perlindungan sosial yang kuat menjadi semakin penting. Skema-skema seperti jaminan pendapatan dasar universal mulai mendapatkan perhatian sebagai cara untuk memastikan bahwa semua orang dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka di tengah gelombang otomatisasi yang terus meningkat. Investasi dalam pelatihan ulang dan pendidikan berkelanjutan juga krusial untuk membantu para pekerja beradaptasi dengan perubahan pasar tenaga kerja.

Pada akhirnya, masa depan AI dan kolonisasi Mars adalah masa depan Homo sapiens. Bagaimana kita mengelola dan mengarahkan perkembangan teknologi ini akan menentukan apakah kita dapat tetap menjadi tuan rumah di planet kita sendiri ataukah kita akan menjadi korban dari ciptaan kita sendiri. Dalam menghadapi ancaman AI, dampak PHK massal, dan ambisi menjajah Mars, kita harus selalu mengingat bahwa teknologi hanyalah alat, dan nilai sejati terletak pada bagaimana kita menggunakannya untuk meningkatkan kehidupan semua manusia.

Waode Nurmuhaemin doktor manajemen pendidikan dan kolumnis

Simak juga 'Saat Apple Tunda Peluncuran 3 Fitur AI di Eropa, Kenapa?':






(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork