Rupiah terus tertekan terhadap dollar Amerika hingga per 26 Juni 2024 telah menembus angka Rp 16.441,35 per 1 US$. Hal ini dikonfirmasi langsung dalam beberapa waktu terakhir oleh pemerintah yang disebabkan oleh situasi eksternal global dalam ketidakpastian sehingga membuat bank sentral Amerika (FED) menaikkan tingkat suku bunga untuk meredam inflasi. Di sisi lain persoalan rupiah melemah bukanlah hal yang baru; Indonesia pernah mengalami hal serupa di titik terendah saat krisis moneter 1998 yang menyentuh angka Rp 16.800.
Meskipun nilainya hampir berdekatan, peristiwa ini belum bisa dikatakan Indonesia akan terancam krisis keuangan. Hal ini dikarenakan penurunan nilai tukar rupiah terhadap dollar terjadi secara bertahap, tidak fluktuatif dalam jangka pendek seperti pada akhir 1997 yang semula Rp 5.400/US$ menjadi Rp 16.800/US$ pada Juni 1998. Artinya, penurunan nilai tukar sebesar 211,1% terjadi secara signifikan dalam enam bulan periode berjalan.
Namun, bukan berarti Indonesia akan terbebas dari persoalan krisis dalam beberapa tahun ke depan jika pemerintah tidak memiliki strategi pamungkas untuk melakukan revaluasi terhadap mata uang rupiah di tengah tantangan global.
Perkembangan Rupiah
Saat ini mata uang rupiah menempati posisi terendah kelima di dunia setelah Rial Iran, Dong Veitnam, Kip Laos, dan Sierra Leone Leone. Dampak dari terus menurunnya nilai tukar rupiah membuat harga minyak, pangan, dan energi yang relatif lebih mahal dari sebelumnya. Nilai dollar yang terus terapresiasi membuat neraca pembayaran internasional bisa berdampak defisit. Hal ini dikarenakan ketiga sektor tersebut berkontribusi tinggi untuk mengimpor minyak, pangan, dan energi.
Tambahan biaya impor yang dilakukan membuat pemerintah harus cepat bergerak mengendalikan fiskal untuk mempertahankan daya beli masyarakat terhadap BBM dan kebutuhan komoditas pangan dalam negeri tetap dengan paritas daya beli sebelumnya. Sebab, ketiga sektor tersebut memberikan dampak besar bagi peningkatan ekspektasi inflasi dalam jangka pendek.
Sejak 2001 hingga 2011 nilai tukar rupiah terhadap dollar relatif stabil pada masa pemerintahan Presiden Megawati (2001-2004) dan periode pertama pemerintahan Presiden SBY (2004-2009). Memasuki periode kedua SBY (2013 dan 2014) nilai tukar rupiah terus terdepresiasi ke angka Rp 12.000/US$ yang semula berkisar R p9.000/US$ pada 2010-2012. Selanjutnya, masa awal pemerintahan Presiden Jokowi (2014-2019), rupiah terus terdepresiasi hingga akhir 2019 menembus angka Rp 14.000/US$ yakni terdepresiasi sebanyak Rp 2.000/US$.
Terakhir, pada ujung masa pemerintahan Presiden Jokowi periode kedua (2019-2024) nilai kurs rupiah terhadap dollar Amerika telah mencapai angka 16.400/US$ atau terdepresiasi sebanyak Rp 2.400 per US$. Jika dibandingkan dalam tiga kepemimpinan setelah Reformasi, rupiah terdepresiasi paling besar pada masa pemerintahan Presiden Jokowi dan SBY. Masa pemerintahan Megawati, meskipun singkat tiga tahun, rupiah stabil karena Indonesia masih dianugerahi sektor minyak sebagai primadona ekspor global dalam kemampuannya mengekspor minyak sehingga nilai tukar relatif stabil.
Proyeksi Nilai Rupiah
Kemampuan Indonesia dalam optimalisasi sumber daya ekonomi dan teknologi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di atas 5% masih relatif tertinggal dibandingkan negara-negara G-20 lainnya. Masih tingginya kebijakan ekonomi yang kurang efisien seperti tingginya korupsi, tingginya disparitas antarwilayah, rendahnya produktivitas pekerja membuat Indonesia terus terjebak dalam 30 tahun terakhir sebagai middle income trap.
Masih tingginya eksplorasi sumber daya ekstraktif membuat mata uang rupiah akan terus terdepresiasi dalam lima tahun ke depan. Optimalisasi sumber daya dengan digitalisasi masih relatif lambat dan masih tingginya ketergantungan terhadap kebutuhan impor membuat pemerintah Indonesia belum ada tanda-tanda keseriusan menguatkan ekonomi untuk rupiah terapresiasi. Oleh karena itu, diperlukan terobosan kebijakan ekonomi dari pemerintah dan penciptaan lapangan kerja bagi penduduk usia produktif akan menguatkan perekonomian Indonesia dalam menyambut take off tahun 2030 sebagai negara high income level.
Strategi Menguatkan Rupiah
Strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintahan baru dalam menguatkan rupiah terhadap dollar Amerika adalah meningkatkan surplus neraca perdagangan secara signifikan. Pemerintah perlu membatasi impor secara serius terhadap komoditas pangan yang sejatinya petani Indonesia dapat melakukan swasembada pangan dan energi.
Oleh karena itu diperlukan kebijakan pro poor dan pro growth dengan memperhatikan kesejahteraan petani lokal, memberikan subsidi produksi pertanian yang cukup, memastikan harga pasar produk lokal kompetitif terhadap produk impor membuat ketahanan pangan domestik dapat dicapai. Selain itu, pemerintah harus fokus meningkatkan ekspor produk lokal dan memperbaiki neraca pembayaran internasional yang masih tinggi sisi defisitnya serta mengatasi korupsi di pusat hingga daerah.
Dion Saputra Arbi ekonom Universitas Gadjah Mada
(mmu/mmu)