'Spill the Tea' Bahasa Gaul Gen Z
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

'Spill the Tea' Bahasa Gaul Gen Z

Jumat, 05 Jul 2024 15:40 WIB
Dewi Ayu Larasati
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
A ten and thirteen year old girls speaking on tin can telephones, The string spells
Ilustrasi: Getty Images/Spiderstock
Jakarta -

Orangtua saat ini mungkin perlu berpikir keras untuk memahami bahasa anak sekarang yang terkesan membingungkan dan agak sulit dimengerti. Bahasa yang muncul dari kalangan Gen Z umumnya didominasi bahasa gaul yang bersifat kiasan dan tidak memperhatikan kaidah tata bahasa EYD.

Sebagai informasi, Generasi Zoomer atau yang akrab dikenal sebagai Gen Z, menurut David Stillman dan Jonah Stillman (2018) merupakan generasi yang lahir pada rentang 1995 hingga 2012, disebut juga generasi net atau generasi internet, karena mereka lahir pada era kemunculan internet. Prensky dalam Cansever & Erol (2019) menyebut mereka sebagai digital native yaitu generasi pertama yang tumbuh, beraktivitas, serta berinteraksi dengan teknologi internet dan media sosial.

Paparan teknologi yang masif tersebut tidak hanya mempengaruhi pola tumbuh kembang Gen Z yang sangat tergantung dengan gadget atau gawai, namun di satu sisi juga berpengaruh dalam pembentukan tren bahasa yang mereka gunakan. Dalam percakapan sehari-hari, Gen Z sering menggunakan bahasa gaul yang terkesan unik bahkan asing di telinga. Hal ini terbilang cukup kreatif. Namun bagi generasi sebelumnya, istilah-istilah dari bahasa gaul yang mereka ciptakan terbilang aneh serta sulit dipahami.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seperti misalnya untuk hanya mengatakan, "Oke, aku baik-baik saja, tidak masalah teman-teman, santai. Tapi apa iya dia perempuan yang rumit? Koreksi jika saya salah."

Gen Z akan menggunakan kalimat yang berbelit-belit sebagai berikut, "Okey-dokey, w (gue) hunky-dory, no biggie YGY (ya gaes ya), sans. Tapi affah iyh (apa iya) dia ceri (cewek ribet)? CMIIW (correct me if I'm wrong)."

ADVERTISEMENT

Untuk menemukan makna dari gaya bahasa gaul ala Gen Z yang penuh modifikasi tersebut, generasi tua setidaknya harus mengkonfirmasi langsung pada mereka, apa maksud dari kalimat itu. Bahkan akan lebih baik jika generasi tua meminta bantuan Google atau kamus daring untuk menemukan padanan katanya. Langkah ini tentu sangat dibutuhkan untuk menghindari kesalahpahaman dalam berinteraksi dengan Gen Z, karena kosa kata yang diproduksi berbeda bagi lintas generasi.

Tidak Ada yang Salah

Dari zaman ke zaman, tren bahasa gaul atau slang selalu berubah-ubah mengikuti perkembangan zamannya. Begitu pula dengan bahasa gaul yang digunakan generasi muda yang tergolong Gen Z. Oleh karena itu, tidak ada yang salah dengan penggunaan bahasa gaul Gen Z. Karena beda era, beda pula tren bahasa gaul yang digunakan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Syam, dkk (2017) bahwa "salah satu sifat bahasa adalah berubah. Perubahan itu bisa karena pemakainya, baik karena kesepakatan atau keterbiasaan."

Bahasa gaul atau slang pada dasarnya muncul sebagai bentuk ekspresi identitas kelompok sosial tertentu agar berbeda dengan kalangan lainnya. Hal ini menjadi salah satu cara untuk mempertahankan solidaritas mereka dan menghadirkan perasaan eksklusivitas. Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Bernard Spolsky dalam bukunya Sociolingusitics (1998) bahwa the importance of language in establishing social identity is also shown in the case of slang. One way to characterize slang is as special kinds of 'intimate' or in-group speech. (Pentingnya bahasa dalam membangun identitas sosial juga ditunjukkan dalam kasus bahasa gaul. Salah satu ciri bahasa gaul adalah bersifat khusus dan rahasia).

Di Indonesia, fenomena bahasa gaul muncul pada 1980-an. Bahasa gaul tersebut dikenal dengan "bahasa prokem" (Zaid, dkk, 2021). Bahasa prokem awalnya merupakan bahasa pergaulan yang digunakan oleh kalangan preman. Istilah preman merupakan kata serapan dari bahasa Belanda vrij-man yang berarti orang bebas (Arrianie, 2021). Namun makna preman sering memiliki konotasi negatif di dalam masyarakat. Sehingga J.D. Parera (2014) menyebut preman sebagai "orang atau sekelompok orang yang mengganggu ketertiban umum di pasar-pasar, stasiun kereta api atau bus, atau di tempat-tempat umum dengan perbuatan yang tidak menyenangkan masyarakat."

Preman yang keberadaannya dianggap meresahkan masyarakat itu tentu menjadi incaran aparat keamanan atau kepolisian. Oleh karenanya, untuk mengecoh atau mengelabui aparat kepolisian, komunitas preman membuat kosakata gaul yang dikenal dengan istilah "prokem". Jika dilihat dari asal usul bahasanya saja, kata prokem itu sendiri berarti preman, di mana awalan pr- disisipkan -ok, dilanjutkan em, dan -an dihilangkan.

Dengan adanya bahasa prokem, sesama kelompok preman saat itu dapat merahasiakan isi obrolan mereka. Karena hanya kelompok mereka saja yang mengerti kata sandi tersebut. Namun karena terlalu sering menggunakan bahasa gaul ini di tempat umum, orang-orang yang tidak berada dalam kelompok tersebut mulai mengamati bahasa mereka, dan lama kelamaan mengerti maknanya. Masyarakat umum pun akhirnya ikut-ikutan menggunakan bahasa prokem dalam kehidupan sehari-hari.

Pada 1990-an juga muncul tren bahasa gaul yang dipelopori oleh pembawa acara dan komedian Debby Sahertian. Bahkan bahasa gaul khas 1990-an itu sempat dibukukan dalam Kamus Gaul. Bahasa yang sempat nge-hits pada masanya itu, menurut Debby Sahertian awalnya berasal dari "bahasa rahasia" kaum transgender di Medan. Oleh karena itu, bahasa gaul tersebut pada mulanya hanya dipahami oleh komunitas transeksual yang umumnya berprofesi sebagai pegawai salon kecantikan.

Menjamurnya bintang idola atau artis di industri hiburan Tanah Air yang kerap mengadopsi istilah "waria" ini membuat bahasa gaul tersebut semakin menjadi "primadona". Bahasa gaul yang awalnya berlaku dan hanya dipahami komunitas transgender, lama kelamaan mulai diketahui dan bahkan diikuti oleh masyarakat luas.

Pesatnya perkembangan teknologi informasi pada era 2000-an yang ditandai dengan adanya beragam perangkat canggih fenomenal seperti telepon seluler serta internet telah membuat generasi masa kini atau Gen Z mengubah pola komunikasi mereka menjadi lebih kekinian. Gen Z yang akrab dengan aneka platform media sosial yang terkoneksi ke seluruh penjuru dunia semakin intens mengadopsi dan menciptakan istilah baru sebagai bahasa gaul mereka untuk berinteraksi di jagad maya.

Bahkan selalu ada bahasa gaul terbaru di media sosial, seperti di Twitter, Instagram, dan TikTok. Kosa kata gaul yang diciptakan oleh Gen Z tersebut, tentunya menjadi sebuah identitas bagi mereka. Ini adalah cara mereka untuk mengeskpresikan diri, hingga tak jarang bahasa gaul ini bersifat eksklusif.

Kosa Kata Gaul Gen Z

Kosa kata gaul Gen Z sebagian besar merupakan bahasa gaul yang dibentuk melalui proses penyingkatan (abbreviation) dan penyerapan (borrowing). Ada juga kosa kata yang merupakan bentuk plesetan, kebalikan dari kata asli, bermakna kiasan, serta kosakata yang sama sekali baru.

1. Singkatan, Akronim, dan Pemenggalan Kata

Bahasa gaul Gen Z yang kerap menggunakan singkatan, selain dilatarbelakangi oleh laman media sosial yang terbatas, di satu sisi juga menunjukkan karakter Gen Z yang suka hal praktis. Sebagai contoh, kata YTTA merupakan singkatan dari 'Yang Tau Tau Aja', YGY singkatan dari 'Ya Gaes Ya', serta PHP singkatan dari 'Pemberi Harapan Palsu'.

Bahasa gaul yang memiliki bentuk akronim di antaranya, mantul 'mantap betul', gercep 'gerakan cepat', gaje 'gak jelas atau enggak jelas', mager 'malas gerak', pansos 'panjat sosial', baper 'bawa perasaan', salfok 'salah fokus'.

Sementara itu, bentuk pemenggalan seperti pada kata halu dari kata 'halusinasi'. Ada juga kata sans dari kata 'santai'.

2. Kata Serapan atau Kata Pinjaman

Kosa kata pinjaman dari bahasa Inggris sangat banyak dijumpai dalam bahasa gaul Gen Z, sebagai contoh, kata bestie 'sahabat atau teman', healing 'ketenangan jiwa', serta flexing 'pamer'.

Ada juga kata pinjaman dari bahasa Inggris yang berbentuk singkatan seperti, FOMO singkatan dari Fear Of Missing Out, merujuk pada orang yang takut ketinggalan berita, CMIIW singkatan dari Correct Me If I'm Wrong (koreksi jika saya salah), serta BRB singkatan dari Be Right Back (aku akan segera kembali).

Berikut kata serapan bahasa Inggris yang berasimilasi dengan bunyi-bunyi dalam bahasa Indonesia seperti, plis (please) deh, selow (slow), ilfil (ilang feeling), piss (peace), suer (swear), serta nolep (no life).

3. Plesetan

Plesetan adalah ragam bahasa yang sengaja dibelok-belokkan (Waridah 2013:246). Plesetan sering mewarnai gaya bahasa remaja. Di kalangan remaja, bentuk-bentuk plesetan itu dapat dimanfaatkan untuk membangun rasa kebersamaan dengan suasana pembicaraan yang segar dan kocak (Santoso, 2002).

Dalam bahasa gaul Gen Z, plesetan terdapat dalam kata santuy 'santai', edun 'edan atau gila', serta gemay 'gemas'.

4. Kebalikan dari Kata Asli

Kalangan Gen Z juga gemar membalik kata-kata dalam berkomunikasi. Hal ini ternyata bisa membuat suasana percakapan makin santai dan terkesan lucu. Sebagai contoh, kata 'woles' merupakan kebalikan dari kata 'selow' atau santai. Kata 'kuy' merupakan kebalikan dari kata 'yuk'. Kata sabi kebalikan dari kata 'bisa'. 'Kane' kebalikan dari kata 'enak', serta 'Ngab' yang merupakan kata kebalikan dari 'Bang'.

5. Kosa Kata yang Memiliki Makna Kiasan

Kata kiasan biasanya digunakan untuk memberikan warna atau nuansa pada bahasa sehingga lebih hidup dan menarik. Dalam hal ini bahasa gaul Gen Z cukup banyak menggunakan kiasan. Sebagai contoh, kata 'salty' secara literal dalam bahasa Inggris berarti garam, namun memiliki makna kiasan yaitu geram atau kesal. Istilah ini digunakan untuk mengekspresikan rasa frustrasi atau ketidakpuasan terhadap suatu hal.

Ungkapan 'spill the tea' jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti tumpahan teh. Tetapi, ungkapan ini memiliki makna kiasan yaitu memberitahukan sesuatu yang bersifat sensitif atau rahasia. Bisa juga diartikan bergosip.

6. Kosa Kata Baru

Kalangan Gen Z kerap menciptakan berbagai kosakata baru yang unik, yang menjadi cikal bakal bahasa gaul. Sebagai contoh, kata 'gabut' merupakan kata untuk menggambarkan pada perasaan yang tidak jelas dan tidak tahu harus berbuat apa. Lalu ada juga kata 'lebay' yang memiliki arti berlebihan, kata 'songong' yang berarti sombong, kata 'unyu' yang berarti imut atau menggemaskan, dan lain sebagainya.

Dengan mengetahui perkembangan bahasa yang ada di sekitar kita, khususnya bahasa gaul kekinian dari kalangan Gen Z, tentu bagi lintas generasi akan lebih mudah beradaptasi dan berinteraksi dengan Gen Z. Namun di satu sisi, penggunaan bahasa sejatinya bukan hanya sekadar untuk mengeskpresikan diri, tetapi juga alat komunikasi yang butuh keseimbangan dalam suasana, ruang , dan waktu. Dalam hal ini penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara yang sesuai kaidah kebahasaan juga harus tetap menjadi perhatian semua.

Dewi Ayu Larasati akademisi, pemerhati masalah sosial dan budaya

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads