Orang Swasta dan Kekuasaan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Orang Swasta dan Kekuasaan

Selasa, 02 Jul 2024 13:00 WIB
Andremirza Willandra Fahmi
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Aksi Gibran Rakabuming Raka bagi buku bersampul Jan Ethes di salah satu SD di Kota Solo pada 7 Desember 2023 lalu.
Wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka dengan aksi blusukannya (Foto: Tara Wahyu NV/detikJateng)
Jakarta -

Saat diwawancara siniar Total Politik, Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo dan Wakil Presiden terpilih, mengeluhkan kinerja birokrasi di Solo, kota yang ia pimpin. Ia menilai bawahannya acap lamban dan tak solutif dalam merespons keluhan warga. Menurut Gibran, latar belakangnya sebagai pengusaha membuatnya tak sabar dengan para birokrat. Saya kan orang swasta. Beda cara kerjanya, beda mindset-nya.

Politik Indonesia memang bergelimang stereotip. Salah satu stereotip lawas, misalnya, mendalilkan bahwa politisi dari militer berarti tegas, nasionalis, tidak bertele-tele. Sebaliknya, politisi sipil rentan dicap oportunis dan mudah ingkar janji. Belakangan ada stereotip baru: pejabat dengan latar belakang pengusaha mestilah "bisa kerja", inovatif sekaligus efisien, dan yang paling penting, solutif. Sementara pejabat non pengusaha cenderung tidak kompeten dan cuek dengan persoalan warga.

Presiden Joko Widodo merupakan contoh sekaligus promotor terdepan stereotip baru ini. Tak betah memantau dari kantor, mantan pengusaha mebel ini 'jemput bola' melihat situasi lapangan, dan --disaksikan khalayak-- memberi instruksi pada bawahannya. Tak ayal, stereotip "pengusaha bisa kerja" dan "kerja artinya blusukan" pun menjalar beriringan dengan momentum politiknya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meroketnya pamor orang swasta ternyata mencerminkan pergeseran dramatis latar belakang pejabat publik hari ini. Selama satu dekade terakhir, jumlah pengusaha di kancah politik meningkat pesat.

Dominasi Orang Swasta

Selama Orde Baru, kursi menteri hampir selalu diberikan ke jajaran militer atau birokrasi. Para pengusaha dianggap inferior dibanding kedua golongan itu, antara lain karena stereotip rasial bahwa kelompok pengusaha sebagian besar merupakan keturunan Tionghoa. Baru pada 1980-an Presiden Suharto menunjuk pengusaha ke dalam kabinet.

ADVERTISEMENT

Demokratisasi mengubah tren ini. Jumlah pengusaha meningkat terus di tiap kabinet era Reformasi. Penelusuran Eve Warburton, pengamat politik Australia National University, terhadap 596 penunjukan menteri sejak 1968 dalam artikelnya, Private Power and Public Office: The Rise of Business Politician in Indonesia (Critical Asian Studies 2024, Vol. 56 No. 2) menunjukkan peningkatan mencolok, khususnya pada era Joko Widodo.

"Orang swasta" sekarang ada di mana-mana. Di Kabinet Kerja 2014 – 2019, 35% menteri punya rekam jejak pengusaha. Di Kabinet Indonesia Maju 2019 – 2024, persentase tersebut melonjak jadi 51%. Di tingkat lokal, KPK melaporkan 45% kandidat di Pilkada 2020 punya riwayat pengusaha. Di pilpres kemarin, ketiga ketua timses pemenangan calon presiden juga pengusaha.

Persentase ini belum menggambarkan penetrasi pengusaha ke lingkup eksekutif secara utuh. Menteri pengusaha kerap memboyong staf dari sektor privat untuk membantu mereka. Alasannya sama seperti Gibran: lebih mudah bekerja dengan orang swasta ketimbang birokrat.

Menurut Warburton, ada sejumlah faktor penyebab peningkatan ini. Pertama, ongkos politik yang mahal membuat parpol giat merekrut dan menjalin hubungan dengan para taipan. Hubungan ini tak berhenti di masa kampanye. Politisi, terutama yang tidak mendiami 'lahan basah', butuh dana cukup untuk "melayani konstituen" dengan pelbagai proyek agar tidak disalip rivalnya.

Ongkos mahal juga mendasari perekrutan para pengusaha sebagai timses. Bukan hanya untuk cari dana, tapi juga sebagai figur yang dinilai terbiasa mengelola uang dalam jumlah besar.

Kedua, faktor selera 'ideologis'. Presiden Jokowi menunjuk para pengusaha ke dalam kabinet lantaran ia menganggap mereka punya karakteristik serupa dirinya: sanggup kerja cepat. Deretan menteri ini --antara lain Nadiem Makarim, Erick Thohir, Sandiaga Uno, Luhut Panjaitan-- dianggap sebagai representasi citra itu.

Para menteri-pengusaha ini pun terampil 'memainkan' peran yang diberikan. Di berbagai kesempatan tak jarang mereka jadi motivator anak muda yang ingin memulai bisnis seraya mempromosikan nilai-nilai inovasi dan kerja keras. Ragam tips dan motivasi ini disambut hangat, khususnya oleh kelas menengah.

Selera ini juga tercermin dari branding Jokowi bersama keluarganya. Sebelum terjun ke politik, Gibran dan Kaesang terlebih dahulu diperkenalkan sebagai pengusaha muda. Sehingga ketika akhirnya masuk politik, rekam jejaknya sebagai orang yang "bisa kerja" sudah tertanam di benak publik.

Meski demikian, tak menutup kemungkinan penunjukan menteri-pengusaha ini juga dilandasi keinginan merawat hubungan dengan elite superkaya semata-mata karena sumber daya yang dimiliki, dan untuk menopang kepentingan setelah tak berkuasa. Kemungkinan ini lebih disorot Warburton.

Menurutnya ada perbedaan jenis pengusaha yang direkrut pada awal pemerintahan Jokowi dan sekarang. Pengusaha yang direkrut pada awal cenderung murni profesional di sektor privat. Sementara yang muncul belakangan lebih cocok disebut sebagai oligark, politisi-taipan, yang menurut definisi Jeffrey Winters dalam Oligarchy (2011) menggunakan kekayaan untuk meraih kekuasaan politik demi menambah kekayaan yang dimiliki.

Namun, sambung Warburton, pergeseran latar belakang politisi ini lebih tepat dipandang sebagai puncak dari proses "privatisasi jabatan publik".

Orang Swasta dan Kita

Tidak ada yang salah dengan orang swasta yang berpolitik. Namun, meluasnya stereotip bahwa pejabat ideal adalah pengusaha, atau setidaknya bisa berpikir layaknya pengusaha, menutupi risiko yang timbul dari dominasi mereka di jabatan publik.

Selain persoalan mendasar perihal kepengurusan negara yang tidak sama dengan perusahaan, ada risiko konflik kepentingan. Prinsipnya, pejabat publik tak boleh punya kepentingan langsung dari kebijakan yang ia buat. Mengapa? Karena akan mempengaruhi kualitas kebijakannya; seorang suporter klub sepakbola tak boleh jadi wasit di pertandingan klub jagoannya, sama halnya pedagang bensin tak sepatutnya ikut mengatur harga BBM.

Tiga tahun terakhir ada sejumlah dugaan konflik kepentingan mencuat dari sekitar Istana. Mulai dari perkara bisnis PCR sampai kendaraan listrik. Semua berawal dari status pejabat publik yang abu-abu: berbisnis iya, memerintah juga iya. Hal ini terbenam saat reputasi politisi-pengusaha terus membumbung lantaran telanjur dicap "bisa kerja".

Dominasi swasta juga mengisyaratkan gejala yang lebih serius: politik elektoral makin eksklusif. Saat hanya pengusaha sukses yang mampu terlibat kompetisi politik, maka warga lain hanya kebagian posisi suporter atau jadi pemirsa tayangan motivasi politisi-pengusaha.

Tren orang swasta di pemerintahan baru masih perlu ditunggu: apakah meningkat, bertahan, atau justru dibatasi. Prabowo Subianto, politisi prajurit yang menangguk suara dari stereotip yang berbeda, mestinya punya 'selera ideologis' yang berbeda pula. Atau, malah sebaliknya, hubungan dirinya dan Jokowi membuatnya mengadopsi pendekatan serupa?

Apapun itu, dominasi swasta di sekitar kekuasaan sepertinya belum akan mengendor dalam waktu dekat.

Andremirza W. Fahmi peneliti dan pengamat komunikasi politik, sedang menempuh studi Pascasarjana Ilmu Politik

Simak juga 'Saat PDIP Tak Khawatir Cawe-cawe Jokowi di Pilkada':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads