Memetik Pelajaran dari "Keberhasilan" Timnas
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Memetik Pelajaran dari "Keberhasilan" Timnas

Minggu, 30 Jun 2024 11:15 WIB
Frangky Selamat
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi Sukses
Ilustrasi: Shutterstock
Jakarta - Selalu ada pelajaran yang dipetik dari sebuah keberhasilan, juga kegagalan. Jika lolosnya timnas Indonesia ke babak ke-3 Kualifikasi Piala Dunia Zona Asia dipandang sebagai keberhasilan karena telah mencatat sejarah, pertama kalinya lolos ke babak ketiga, tentu banyak yang bisa dimaknai.

Perlu dicatat, keberhasilan itu tidak lepas dari program naturalisasi pemain yang berdarah sebagian Belanda atau negara lain seperti Inggris. Program yang sejauh ini lumayan berhasil mengangkat Indonesia menuju ke jajaran tim elit Asia dan menaikkan peringkat FIFA ke ranking 134 setelah sekian lama terjerembab di peringkat ke-175 pada September 2021.

Pemaknaan itu bisa dalam berbagai bidang. Selain olahraga sendiri, juga bisnis, pendidikan, atau menyentuh kehidupan masyarakat dengan berbagai aspek yang terkait. Bisa berarti dangkal, namun sering menyangkut keseharian atau kebiasaan yang makin membudaya.

Pertama, jalan pintas untuk meraih prestasi itu ada tetapi untuk jangka pendek. Proses, sementara dapat diabaikan. Cara instan bisa diandalkan. Dalam jangka panjang, proses yang sepatutnya harus dijalankan. Keberlanjutan tercipta dengan membangun sistem yang mumpuni.

Dalam dunia bisnis, cara-cara instan dapat dilakukan, seperti jurus ATM (amati, tiru, modifikasi) atau pada tingkat negara dengan kebijakan mobil nasional pada 1996. Menggandeng KIA dari Korea Selatan untuk membangun jenama otomotif nasional Timor, dengan mengimpor CBU (completely built up) dengan komitmen akan membangun industri manufaktur nasional. Apa daya, program dijalankan pada saat yang tidak tepat dan bertentangan dengan regulasi WTO saat itu.

Di bidang lain, cara instan lazim ditemukan termasuk dalam bidang pendidikan. Ingin menjadi sarjana tapi menggunakan jasa "konsultan". Layaknya makan makanan instan, sesekali tidak apa dan nikmat juga, namun terlalu sering bisa meracuni tubuh. Demikian pula dalam kehidupan, kebanyakan cara instan digunakan akan merusak mentalitas karena membiasakan diri mengambil jalan pintas.

Kedua, cara instan bisa berhasil jika mampu memadukan dengan sumber daya yang lain, yang tersedia. Kehadiran pemain hasil naturalisasi mampu menghasilkan sinergi yang baik jika ada sosok yang mampu memimpin dengan arahan yang tepat. Dibutuhkan pemimpin yang disegani dan menerapkan aturan main yang adil bagi semua pelaku tanpa diskriminasi.

Ketiga, sembari mengambil langkah instan namun terus berbenah menyiapkan sistem yang mampu melahirkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Kompetisi nasional harus dibenahi agar dapat setara dengan standar dunia. Jika terpaksa menggunakan sumber daya asing, tenaga lokal harus segera dibenahi dan dipersiapkan dengan lebih baik. Tidak terbuai dengan cara "mudah".

Keempat, lingkungan harus mendukung cara instan. Di Indonesia sepertinya cara ini mulai mewabah. Kalau ada jalan pintas mengapa harus berproses panjang, mungkin begitu cara berpikirnya. Ironisnya masih banyak juga yang berpikir, kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah. Demikian carut marut kondisi yang terjadi. Penuh ambiguitas. Kemenduaan yang didasari pada kepentingan sesaat dari pihak-pihak yang berkepentingan.

Kelima, hasil akhir masih menjadi ukuran untuk keberhasilan, bukan pada proses yang dijalani. Sebagian orang mungkin mulai menyangsikan bahwa proses tidak akan membohongi hasil. Atau hasil lebih penting tanpa memedulikan proses. Banyak orang yang lebih peduli pada hasil tanpa mau tahu proses yang terjadi.

Di tengah pergeseran nilai di dalam masyarakat, belum lagi pejabat publik yang masih menjadi role model (panutan) bagi sebagian orang, namun tidak memperlihatkan perilaku yang patut dicontoh, karena menomorsatukan hasil apapun caranya, orang-orang yang masih peduli pada proses, harus tetap keras menyuarakan kebenaran yang hakiki.

Dalam kondisi demikian lembaga pendidikan menjadi satu-satunya harapan untuk memberikan dasar kepercayaan bahwa proses menjadi hal yang utama. Sekolah sebagai pusat pembenihan calon-calon pemimpin bangsa yang meyakini bahwa untuk mencapai tujuan harus melalui proses berjenjang yang diawali dengan perencanaan yang tepat.

Fondasi bangsa dalam jangka panjang dan berkelanjutan terletak pada mentalitas yang mempercayai proses yang dibangun pada sistem yang kokoh. Pemimpin yang bervisi jangka panjang, memikirkan kepentingan rakyat dan bebas dari nuansa korupsi, kolusi dan nepotisme. Adakah negara yang tiba-tiba maju dan hebat karena melalui jalan pintas? Rasanya, sejarah tidak pernah mencatat itu. Yang ada malah sebaliknya.

Singkat kata, untuk mencapai hasil yang bagus, tidak ada tawar-menawar untuk proses yang mesti dijalani. Tentu tidak hanya kerja keras, tapi juga cerdas. Tidak juga menjadi "bodoh" karena terbiasa melalui cara gampang dengan proses instan. Indonesia adalah bangsa pejuang, budaya instan tidak Indonesia "banget".

Frangky Selamat dosen Prodi Sarjana Manajemen Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Tarumanagara, Jakarta

Simak Video 'Kualifikasi Piala Dunia 2026 Babak 3: Indonesia Segrup dengan Jepang-Arab Saudi':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads