Menimbang Kembali Narasi "Political Outsider"
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menimbang Kembali Narasi "Political Outsider"

Rabu, 26 Jun 2024 15:30 WIB
Andremirza W. Fahmi
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jokowi meninjau Pasar Pusat Perbelanjaan Mentaya, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.
Presiden Jokowi yang memasuki kancah politik Indonesia sebagai seorang
Jakarta - Presiden Joko Widodo sedang menghitung hari jelang akhir masa jabatannya. Namun pengaruhnya justru tidak berkurang, seperti yang selama ini umum terjadi pada pemimpin di masa transisi. Tingkat kepuasan publik masih di kisaran 75-80%. Proyek kolosalnya, Nusantara, melaju tanpa hambatan. Presiden terpilih ingin melibatkannya di pemerintahan mendatang. Anak-anak dan menantunya menduduki posisi politik signifikan.

Diukur dari parameter mana pun, ini pencapaian luar biasa bagi seorang political outsider, julukannya saat melangkah ke panggung nasional 12 tahun silam. Seorang berlatar menengah ke bawah, bukan ketua umum partai, dan tak punya kekayaan melimpah. Inilah sumber popularitasnya, di luar insting politik yang tajam, yang mendorongnya memenangi tiap kompetisi politik.

Seorang presiden dua periode jelas bukan lagi outsider. Anak-anaknya pun tak bisa menggunakan label ini sebagai branding-nya. Politisi lain, meskipun berupaya mengimitasi branding "outsider", belum pernah mendekati popularitas Jokowi. Siapa yang akan mewarisi julukan political outsider di pemilihan ke depan? Ini belum bisa dijawab sekarang. Yang lebih menggelitik, mengapa ia begitu memikat pemilih dan politisi? Selain itu, apakah branding sejenis masih akan relevan bagi pemilih?

Pesona Political Outsider

Sejak krisis 2008, gelombang populisme belum juga mereda. Amerika Serikat, Eropa, hingga Asia disinggahi tanpa terkecuali. Definisi populisme masih jadi bahan perdebatan. Menurut Cas Mudde, pengamat politik dari University of Georgia, populisme secara sederhana adalah ideologi yang memisahkan masyarakat ke dalam dua kubu yang berseteru, yakni rakyat yang selalu dirugikan versus elite korup yang mengeruk kekayaan.

Antagonisme ini tak muncul dari ruang hampa. Populisme menjamur saat ada yang buntu dalam politik, entah lembaga negara yang penuh skandal, reformasi hukum yang mandek, atau ketimpangan sosial-ekonomi. Populisme umumnya mengangkat persoalan rakyat yang diabaikan elite. Contohnya, akibat perekonomian lesu, isu hangat di Eropa adalah imigrasi; warga cemas terhadap imigran yang dianggap mencuri pekerjaan 'pribumi', membawa kriminalitas, dan seterusnya.

Celakanya, solusi yang ditawarkan sering tidak sejalan dengan hak asasi manusia, yang di kemudian hari justru merugikan 'wong cilik'. Steven Levitsky dan James Loxton (2013) memaparkan tiga ciri seorang populis. Pertama, anti-establishment atau mencitrakan diri berseberangan dengan institusi, elite, dan politisi lain. Kedua, seorang outsider dan pendatang baru di politik. Ketiga, seorang populis rajin menjalin hubungan personal dengan masyarakat.

Inilah asal usul political outsider sebagai ujung tombak populisme. Seorang pendatang yang "bersih" dari jejaring politik lama, sehingga tak bisa disalahkan atas kebuntuan hari ini. Orang luar yang dipercaya dapat menunaikan janji demokrasi dan mengembalikan proyek kebangsaan ke jalur yang semestinya.

Ini terjadi sepuluh tahun lalu. Masyarakat yang terbiasa dengan pejabat formal-berjarak, sontak terpikat dengan politisi berpotongan kurus, berparas seperti warga kebanyakan, dan tampak rileks berbaur dengan mereka. Cover Majalah Tempo memotretnya tengah memeriksa kayu memakai kemeja dan singlet. Branding politiknya jitu dan sederhana: Jokowi adalah kita.

Brand populisme Jokowi yang lebih subtil, informal, dan tidak meledak-ledak, terutama dibandingkan dengan kontestan politik lain saat itu, Prabowo Subianto, juga disambut publik. Di kalangan menengah, ia mempesona dengan janji membenahi birokrasi, memberantas korupsi, dan membangun infrastruktur. Sisanya adalah sejarah.

Personalisasi Politik

Di luar selera personal, ketertarikan terhadap outsider didorong oleh fenomena personalization of politics, yakni proses di mana bobot politik individual meningkat seiring berjalannya waktu, sedangkan sentralitas kelompok politik makin surut ke belakang.

Dalam Personalization of Politics and Electoral Change, Diego Garzia (2014) menyebut personalisasi politik sebagai dampak dari perubahan hubungan timbal balik antara aktor demokrasi kiwari: pemilih, parpol, dan media. Perubahan ini dimulai dari modernisasi media massa, khususnya televisi.

Dalam kerjanya, jurnalisme televisi lebih mendahulukan individu (ketua partai, juru bicara) ketimbang organisasi. Sebab, televisi sebagai medium visual lebih mudah mengkomunikasikan informasi politik melalui figur yang tampak ketimbang melalui barang abstrak seperti parpol, manifesto, atau ideologi. Perkembangan ini makin menonjolkan hal yang tidak berkaitan dengan program politik seperti kepribadian, gestur, dan penampilan.

Contoh personalisasi politik adalah debat kandidat. Bermula sebagai eksperimen di tengah Pemilu Amerika Serikat 1960, sekarang debat kandidat sudah jadi bagian tak terpisahkan dari pemilu. Dari debat, intonasi bicara, pakaian, hingga mimik wajah dicerna pemilih sebagai informasi yang terkadang lebih penting daripada program yang disampaikan.

Meski sebenarnya sedang dipinggirkan, perubahan ini tak bisa ditolak parpol, karena ia membutuhkan televisi sebagai sarana komunikasi dengan pemilih. Mau tak mau, ia harus menyesuaikan model kampanye dan pendekatan komunikasi politik dengan kebutuhan baru ini.

Faktor lain yang mendukung adalah partisan dealignment, atau proses di mana individu, seiring waktu, makin tidak antusias dalam dukungannya terhadap partai politik. Survei preferensi pemilih di Eropa Barat sepanjang 1961-2018 menyimpulkan bahwa selama dekade terakhir, warga yang memilih partai karena kedekatan telah jatuh hingga 40%, dari yang sebelumnya di kisaran 70%. Temuan ini mendukung dugaan bahwa para pemilih makin berjarak dari partai politik.

Hilangnya rasa partisan terhadap partai menghasilkan ruang yang diisi para pemimpin politik sebagai penentu sikap pemilih. Hal serupa terjadi disini. Pada 2019, survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Australian National University (ANU) mengamati bahwa tingkat pemilih Indonesia yang punya identifikasi personal dengan partai politik hanya 12%. Para pemilih jauh lebih bergantung kepada figur yang kemudian menentukan apa kebijakan yang mereka dukung atau tentang.

Ada banyak penyebab kenapa pemilih lebih tertarik merapat ke individu ketimbang organisasi. Salah satunya terletak pada parpol yang tidak bisa "memasarkan diri" mengikuti zaman dan meningkatkan kualitas interaksinya dengan masyarakat. Walhasil, kehadirannya makin dinilai tak relevan.

Partai politik Indonesia rutin menduduki posisi buncit sebagai lembaga yang paling tak dipercaya publik menurut survei Indikator Politik Indonesia. Tambah lagi, dari survei LSI -ANU terhadap kader partai dan anggota DPRD 31 provinsi pada 2018, terlihat bahwa partai politik Indonesia pada dasarnya tidak punya perbedaan, baik dari ideologi maupun afiliasinya dengan isu dan gagasan tertentu. Rata-rata partai berada di tengah-tengah, kadang di kiri, lain kali bergeser ke kanan.

Diferensiasi antarpartai hanya tampak di isu identitas --apakah sebuah partai menerima Islam sebagai landasan agenda politik atau tidak. Ini dilema pemilih setiap pemilu. Tidak ada partai yang mengusung alternatif. Terobosan dari partai hanya di seputar tawaran politik identitas. Tanpa ada pilihan lain, tiada yang bisa dilakukan selain mencari figur paling simpatik.

Imajinasi Political Outsider

Personalisasi politik, perkembangan teknologi media, dan penurunan kualitas partai politik adalah lahan subur bagi figur populis, termasuk mereka yang mengklaim diri sebagai political outsider. Media massa juga sadar akan popularitas narasi underdog untuk membingkai perjalanan sang outsider.

Sayangnya tidak ada jaminan seorang outsider bisa bekerja optimal. Begitu terpilih, ia berhadapan dengan kenyataan politik yang tak sesederhana orasi, penuh tarik ulur dan tukar tambah kepentingan. Seorang outsider --terlebih yang tak berpartai, tanpa kekayaan, tanpa afiliasi-- akan terombang-ambing kekuatan yang tak bisa ia kontrol.

Pilihannya, kompromi atau terlempar. Jika kompromi, maka ia harus mengakomodasi kepentingan yang tak sejalan dengan janjinya. Risiko lain, saat populis outsider memanfaatkan dukungan terhadapnya untuk menabrak prosedur demokrasi dan check and balance. Sejarah mencatat banyak sekali kediktatoran yang dirintis seperti ini.

Sebagai klaim politik, political outsider hanya tanda bahwa calon yang dimaksud tak punya pengalaman --label yang jadi usang begitu pemilu dimenangkan. Jika politik dimaknai sebagai tindakan yang-kolektif, maka political outsider justru apolitis. Ia wujud wishful thinking warga yang kurang berdaya untuk mengupayakan bersama jalan keluar dari kebuntuan. Maka dititipkanlah cita-cita pada individu --satria piningit yang tak mungkin bisa mengurai persoalan puluhan tahun dalam semalam.

Meski demikian, aspek yang membuatnya berisiko bagi demokrasi justru menjadikannya awet dan selalu relevan. Makin kecil ruang bagi masyarakat untuk mengoreksi kekuasaan, dan makin lama institusi demokrasi berjalan di tempat, selama itu pula para outsider dinanti-nanti.

Andremirza W. Fahmi peneliti dan pengamat komunikasi politik

(mmu/mmu)

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads